Teman Kost Yang Aneh

1512 Kata
Mayang tersentak bangun. Ia langsung terduduk. Suara geraman kasar itu masih sedikit tersisa di dalam kepalanya. Seperti suara binatang, tetapi entah binatang apa. Mimpi yang sangat aneh, dan terasa sangat nyata. Mayang mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa lengket, melirik ke arah jam di dinding. Pukul dua tepat. Ia kemudian meraih gelas di atas meja kecil di sisi tempat tidurnya, dan baru menyadari bahwa ia lupa mengisi tempat airnya sebelum masuk ke kamar tadi. Mayang turun dari tempat tidur, meraih botol air minum plastik kosong itu, lalu membuka pintu kamar dan keluar. Mayang menelusuri koridor sepanjang teras yang menghadap ke taman depan rumah kost. Kemudian berbelok ke sebuah bukaan sempit, di mana terdapat dapur bersama. Dapur itu tampak gelap, hanya sedikit disinari oleh cahaya lampu teras yang remang-remang. Mayang menuju ke tempat dispenser yang terletak di sudut ruangan, kemudian mulai mengisi botolnya. Setelah selesai, Mayang berbalik hendak kembali ke kamar. Dan ia terkejut. “Halo,” sapa seseorang bersuara berat yang tiba-tiba sudah berdiri tak jauh di belakangnya, di dalam keremangan. “Eh! Ha … halo,” balas Mayang sambil memegangi dadanya saking kagetnya. “Sori, kaget, ya?” ucap suara itu lagi. “Dinyalain aja lampunya kalau ke dapur. Tombolnya di sini.” Kemudian sosok itu mengulurkan tangan ke sisi ambang pintu, dan menekan tombol. Seketika itu juga ruangan dapur langsung terang benderang. Mayang mengerjap-ngerjap kesilauan karena matanya tiba-tiba tersorot oleh cahaya dari bohlam lampu di atas kepalanya. Sosok yang berbicara dengannya itu ternyata seorang gadis bertubuh kurus dengan rambut pendek. Wajahnya sedikit pucat dan tatapan matanya galak. Di tangannya terdapat sebuah botol plastik besar. Ternyata dia juga hendak mengambil air minum. “Lo yang baru masuk di kamar lima belas ya?” tanyanya. “Iya,” jawab Mayang mengangguk. Gadis itu maju dan mengulurkan tangannya pada Mayang. “Gue Adira. Panggil aja Dira.” Mayang menyambut jabatan tangan itu dan menyebutkan namanya. “Mayang.” “Gue di kamar sebelah lo. Nomor empat belas,” ucap Dira tanpa ditanya. Kemudian melangkah mendekati dispenser dan mulai mengisi botol minumnya. “Oh … iya,” sahut Mayang. “Ng … lo kerja?” “Iya,” jawab Dira. “Di asuransi. Bagian entry data klaim. Ngebosenin banget, ya?” Mayang tertawa kecil mendengar ucapan Dira yang tanpa ditanya langsung memberi informasi. Sepertinya Dira hanya galak di wajah dan gayanya saja, karena cara bicaranya terdengar bersahabat. “Kerjaan gue juga kadang ngebosenin,” jawab Mayang segera. “Lo kerja di mana emang?” tanya Dira sambil menutup botol airnya yang telah terisi penuh. “Di majalah Style,” jawab Mayang. “Wah, Majalah Style? Bagian apa?” tanya Dira. Wajahnya yang tadinya tanpa ekspresi, tampak sedikit berubah. “Pimpinan Redaksi,” jawab Mayang dengan nada suara diusahakan sebiasa mungkin. Ia tidak ingin terlihat sombong dengan jabatan yang cukup tinggi itu. “Hah? Serius lo?” tanya Dira sambil mengamati lekat-lekat wajah Mayang. “Iya, serius,” jawab Mayang yang merasa geli dengan sikap Dira. “Nggak ada tampang ya, gue?” ucap Mayang sambil sedikit terkikik. “Eh, nggak gitu maksud gue,” ucap Dira buru-buru. “Gue soalnya beberapa kali beli majalah Style, kan di bagian depan ada tuh foto-foto staff dan crewnya. Berarti ada foto lo juga, dong?” “Ada sih. Tapi di foto kan dimake up terus didandanin. Kalau liat gue asliya, ya begini ini. Ala kadarnya,” ucap Mayang. Kali ini giliran Dira yang tertawa. Ternyata gadis yang terlihat galak itu wajahnya bisa berubah ramah saat tertawa. “Yuk, balik ke kamar,” ajak Mayang yang langsung berjalan mendahului Dira. “Yuk,” jawab Dira sambil mengangguk, kemudian melangkah di belakang Mayang. Setelah beberapa langkah dan mereka hampir tiba di depan kamar Dira, tiba-tiba Dira bertanya. “Lo … udah pernah nikah ya, May?” Mayang terkejut dan menoleh. Itu adalah sebuah pertanyaan yang sewajarnya tidak ditanyakan oleh seseorang yang baru saja berkenalan. Bagi sebagian orang, hal itu dianggap terlalu kasar dan tidak sopan. Namun karena Mayang bukan tipe orang yang mudah tersinggung, ia tersenyum pada Dira dan menjawab. “Iya, udah pernah.” Dan Mayang menangkap sesuatu yang aneh di wajah Dira. Gadis itu tampak seperti sedang mengamati Mayang. Ia terdiam sesaat, kemudian baru melanjutkan berbicara. “Suami lo ….” “Meninggal, hampir dua bulan lalu,” jawab Mayang. “Ooh … maaf, ya,” ucap Dira. “Nggak apa-apa,” jawab Mayang ramah. “Ya udah kalau gitu met istirahat,” ucap Dira sambil membuka pintu kamarnya. “Met istirahat juga,” balas Mayang sembari melanjutkan langkah menuju ke kamarnya yang terletak di paling ujung koridor, bersebelahan dengan kamar Dira. Setelah mengunci pintu kamarnya, Mayang segera mengisi gelasnya dan meminum segelas penuh. Tenggorokannya terasa kering setelah tadi terbangun mendadak. Mayang kembali teringat mimpi anehnya tadi. Tanpa perlu berusaha keras, ia masih mengingat dengan jelas semua yang ia lihat di dalam mimpinya tadi. Tidak seperti mimpi biasa yang selalu sulit untuk diingat setelah kita bangun, mimpinya tentang hutan gelap dengan suara gamelan itu terekam dengan jelas dalam memorinya. Mayang bahkan masih bisa mengingat suara geraman keras yang ia dengar sesaat sebelum ia mendadak terbangun. Lalu, kenapa juga tadi Dira tiba-tiba menanyakan soal statusnya? Mayang tidak merasa tersinggung sama sekali karena selama ini ia adalah perempuan yang tidak pernah sungkan jika ada yang bertanya tentang status atau umur. Mayang merasa tidak ada masalah untuk menginformasikan tentang hal itu semua. Tetapi Dira baru saja berkenalan dengannya, bahkan belum sampai dua menit. Tapi tiba-tiba saja ia bertanya soal hal yang termasuk pribadi. Lagipula kalau dipikir-pikir, yang diucapkan oleh Dira tadi lebih seperti tebakan daripada pertanyaan. Dira seperti sudah dapat melihat kalau Mayang sudah pernah menikah, entah dari mana. Kalau bentuk tubuh, sepertinya sih bentuk tubuh Mayang tidak berubah sama sekali, karena ia belum pernah mengandung dan melahirkan. Lalu dari mana bisa terlihatnya? Memikirkan keanehan teman sebelah kamarnya itu, akhirnya Mayang kembali terlelap. Dan tidak bermimpi apa-apa hingga pagi tiba. Keesokan paginya, saat Mayang keluar dari kamar sudah lengkap dengan pakaian kerjanya, tampak Dira berjalan dari arah gerbang luar membawa sebuah plastik besar di tangannya. "Hei, May, udah mau berangkat? Cepet banget?" tanya Dira. "Hai, Dir. Iya, mau sekalian cari sarapan dulu di dekat kantor," jawab Mayang. "Eh, nggak usah. Nih, gue beliin bubur ayam buat sarapan. Suka nggak, bubur ayam?" tanya Dira sambil mengengkat sedikit kantung plastik di tangannya. "Loh, lo beliin gue bubur ayam?" tanya Mayang yang merasa heran. Dira mengangguk. "Gue pikir kan lo mungkin belum tau tukang jualan sarapan di sekitar sini. Jadi gue beliin sekalian. Gue nggak nyangka lo berangkatnya sepagi ini," ucap Dira dengan wajah tampak sedikit kecewa. "Eh, nggak kok. Gue nggak jadi berangkat cepet. Kita sarapan bareng dulu aja," ucap Mayang yang merasa tidak enak hati karena Dira sudah berbaik hati membelikannya sarapan. "Bener, nih? Lo nggak terlambat?" tanya Dira. "Bener," jawab Mayang sambil tersenyum. "Gue tuh masuk kerjanya jam setengah sembilan. Kan tadi gue udah bilang niatnya mau cari sarapan dulu." "Oh, iya. Ya udah kalau gitu gue ambilin sendok dulu di dapur. Kita makan di sini aja, yuk!" ucap Dira. "Oke!" sahut Mayang. Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk di teras kamar Mayang, menyantap bubur ayam yang masih mengepulkan uap panas itu. "Enak juga, ya, buburnya. Deket nggak tempat belinya?" tanya Mayang yang merasa bubur ayam tersebut cocok dengan lidah dan seleranya. "Deket, kok. Nih, dari sini lurus aja, terus nanti ada gang ke kiri, lurus aja dikit. Banyak tukang jualan yang lainnya juga, loh. Ada nasi uduk, lontong sayur, sama kue-kue jajanan pasar. Pokoknya banyak pilihan, deh!" jelas Dira. "Waah, asyik. Lo setiap hari beli sarapan di sana?" tanya Mayang. "Bukan sarapan aja. Makan siang kalau lagi libur sama makan malam tiap hari juga gue beli di sana. Kalau siang sama malam, tukang jualannya beda lagi. Jadi nggak bosen. Enak kan praktis, nggak perlu masak. Soalnya gue emang nggak suka masak, sih," ucap Dira cuek. Mayang tertawa. "Ya udah nanti malam kita beli makan malam bareng, yuk!" ajak Mayang, senang dengan keramahan Dira. "Ayok aja. Lo biasanya balik dari kantor jam berapa?" tanya Dira. "Kalau lagi nggak deadline kayak hari ini, jam lima atau setengah enam juga gue udah cabut dari kantor," jawab Mayang. "Oke. Kalau gitu jam tujuh aja nanti kita beli makannya. Soalnya gue bakal pulang telat nanti," kata Dira. "Loh, kenapa?" tanya Mayang. "Nah ini, gue aja sekarang belum mandi. Pasti nanti terlambat masuk kantornya. Jadi pulangnya agak sorean buat membayar keterlambatan hadir," jelas Dira. "Ooh, gitu," ucap Mayang sambil menyuap sesendok terakhir bubur ayamnya. Dan tiba-tiba Mayang teringat dia belum membayar bubur ayam yang dimakannya. "Eh, Dir, ini berapa tadi harganya?" tanya Mayang sembari menyambar tasnya untuk mengambi dompet. "Udah, nggak usah. Gue traktir. Mumpung gue lagi baik," jawab Dira asal saja. "Emang lo biasanya jahat?" tanya Mayang sembari terkikik. "Kadang-kadang," jawab Dira sembari nyengir. "Ya udah, berhubung udah abis sarapan kita, gue masuk dulu yah, mau mandi terus siap-siap." "Oke, gue juga mau siap-siap berangkat kalau gitu. Makasih ya, Dir, buburnya!" ucap Mayang. "Yup. Sama-sama," jawab Dira sebelum menghilang di balik pintu kamarnya. Dan Mayang pun beranjak untuk mengunci pintu kamarnya sebelum berangkat ke kantor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN