Persiapan Pindah

1908 Kata
Hari Sabtu pagi, Sarah dan Reindra sudah siap hadir di rumah Mayang untuk membantunya mengemasi barang-barangnya. Sore ini juga Mayang akan pergi dari rumah yang seharusnya memang miliknya ini dan mengembalikannya kepada keluarga besar Bayu. “May, peralatan makan dan dapur ini semuanya mau lo tinggal?” tanya Sarah heran. “Bawa aja kali, May! Masa yang kayak beginian aja mau diminta balik sih, sama keluarganya Bayu?” “Gue udah bawa secukupnya kok, buat di kosan gue,” jawab Mayang. “Lagian kamar kos gue kan kecil, nggak muat juga kalau harus gue bawa semuanya.” “Ya tapi ini kan barang-barang yang pasti bakal lo perlukan meskipun cuma sesekali?” ucap Sarah bersikeras. “Masa lo nggak perlu blender, juicer, mixer, atau coffee maker ini sih? Rice cooker bawa lah, emangnya lo mau diet nggak makan nasi? Nih, air fryer mahal-mahal gini masa ditinggal? Udah, lo bawa aja, emang nanti lo nggak bakal goreng-goreng ayam atau ikan gitu, atau goreng tetangga lo yang berisik, misalnya?” Sarah tampak kesal melihat semua peralatan dapur lengkap yang tampak masih tertata rapi di meja tanpa ada tanda-tanda hendak dibawa oleh Mayang. Mayang terkikik geli disusul oleh Reindra yang terkekeh mendengar kalimat terakhir Sarah. “Sarah bener sih, May,” ucap Reindra, “menurut gue mendingan lo bawa aja semua peralatan elektronik ini. Ini bisa lo pake sewaktu-waktu. Lagian kan waktu itu kakak ipar lo bilangnya suruh kembaliin rumahnya aja, kan? Nggak sama isinya?” Mayang tampak berpikir-pikir setelah mendengar ucapan Reindra. Ia bukannya tidak memerlukan semua peralatan itu. Tetapi ia malas sekali untuk menghadapi kenyinyiran Jennifer jika ternyata nati ia menyadari bahwa sebagian barang-barang yang ada di rumah ini dibawa semua oleh Mayang. “Eh, May,” sela Sarah lagi, “selama lo tinggal di rumah ini, keluarganya Bayu udah berapa kali datang? Waktu kapan mereka datang?” Mayang berpikir sejenak, lalu menjawab, “cuma sekali. Waktu gue bikin acara empat puluh harian buat Mas Bayu.” “Nah, waktu itu, emangnya semua barang-barang ini,” ucap Sarah sembari melambaikan tangannya ke arah meja dapur, “lo taruh di sini? Dilihat sama mereka semua?” Mayang mengerutkan dahi lagi untuk berpikir. Kemudian menggeleng. “Nggak, semua peralatan itu dimasukkin ke dalam kitchen set sama pakde dan bude gue yang waktu itu datang untuk bantu nyiapin tempat buat para tamu. Itu gue keluarin setelah empat puluh harian, buat gue pakai. Kalau keluarga Mas Bayu sih datangnya pas udah mulai acara dan mereka nggak masuk-masuk sampai ke belakang sini.” “Nah!” seru Sarah gemas. “Ya udah, jadi kenapa harus lo tinggal semua ini? Toh mereka nggak ada yang tahu lo punya apa aja di sini? Yang mereka lihat paling lemari es sama TV yang di ruang makan ini, kan? Makanya, udah deh, lo bawa aja semuanya! Gila aja, masa barang-barang mahal gini mau lo kasih semua ke si Jennifer itu. Itu TV yang di kamar lo dibawa aja. Nih, bawa nih, set panci kaca anti panas, set penggorengan keramik, stein cookware, tupperware set banyak banget nih, lock n lock juga nih, bawa semua!” omel Sarah tanpa henti sambil tangannya sibuk mengumpulkan semua perlengkapan dapur yang bisa diraihnya di dalam laci-laci kitchen set besar itu. “Hmm. Ternyata lo keliatannya aja tomboy ya Sar, tapi sebenernya ngerti banget sama jenis-jenis perlengkapan rumah tangga sampai hapal merek-mereknya. Nggak nyangka gue, ternyata lo isinya cewek juga,” komentar Reindra usil. “Sialan! Gue cowok tulen, tau!” maki Sarah sembari mendelik pada Reindra namun tangannya tetap bergerak mengumpulkan semua barang-barang yang cenderung berhubungan dengan dunia kefeminiman. “Buset! Sesat banget dong gue waktu itu ya,” ucap Reindra dengan eskpresi ketakutan menatap Sarah, teringat bahwa dulu mereka pernah berpacaran. Mayang tertawa terbahak-bahak, tak tahan melihat kekonyolan kedua temannya ini. “Iya, iyaaa, gue bawa semua,” ucap Mayang segera agar Sarah tak makin emosi dan mengacak-acak rumahnya lebih lanjut lagi. Mayang tahu Sarah bukan sedang marah kepadanya, melainkan kepada keluarga Bayu terutama Jennifer yang dinilainya sangat menyebalkan meskipun ia belum bertemu langsung dengan orangnya. Sarah merasa hak-hak Mayang telah dirampas oleh keluarga Bayu. “Oke, sini gue yang kemasin,” ucap Reindra sembari meraih sebuah kardus besar yang sudah ia bawakan sebelum datang ke rumah Mayang. “TV lo gue ambil ya, yang di kamar.” “Iya. Thanks ya, Rein,” ujar Mayang. Mayang benar-benar bersyukur memiliki Sarah dan Rendra. Meskipun usia pertemanan mereka masih seumur jagung, namun keloyalan dan rasa solidaritas mereka sangat tinggi. Dan akhirnya sekitar menjelang jam makan siang, mereka telah selesai mengemasi barang-barang Mayang. Ketiganya duduk beristirahat di ruang tengah rumah yang cukup besar itu. “Eh, kita oder makannya online aja, ya? Lo berdua laper juga, kan? Gue traktir, nih. Kan kita udah nggak bisa masak apa-apa lagi, semuanya udah dimasukkin ke kardus,” ucap Mayang. “Setuju! Jangan lupa kopi dingin!” seru Sarah segera. Dan kemudian setelah memesan makanan dan minuman melalui aplikasi online, ketiganya mengobrol santai sembari menunggu datangnya pesanan mereka. “Eh, eh, May,” ucap Sarah tiba-tiba, “lo inget kan, si Dio yang kemarin nawarin property buat pemotretan majalah kita?” Mayang mengangguk. “Iya. Gimana, lo udah survey ke lokasinya?” tanya Mayang. “Udah,” jawab Sarah. “Emang keren-keren rumah dan villanya. Bangunannya emang udah lama, tapi terawat banget dan udah mereka retouch semua, jadi kayak baru. Bagus kok, gue suka. Banyak banget spot yang bisa buat background fotonya.” “Oh, syukur deh, kalau lo cocok. Kalau gitu tinggal bikin permohonan aja ke bagian keuangan, sekalian diskusi soal isi kontraknya,” ucap Mayang. “Ya tapi yang mau gue bilang ke lo bukan soal ituuu!” potong Sarah. “Lah? Soal apa emangnya?” tanya Mayang tak mengerti. “Si Dio itu,” ucap Sarah dengan nada sok misterius, “kayaknya naksir lo deh, May!” “Hah?” Mayang dan Reindra berseru bersamaan. “Serius? Masa sih?” tanya Mayang tak percaya. “Kata siapa, lo?” tanya Reindra ikut-ikutan tidak percaya. “Ya kata gue, barusan,” ucap Sarah sembari nyengir. “Jadi kemarin itu, pas gue pergi sama dia ke lokasi-lokasi rumah dan villanya yang di Jakarta sama di Bogor, dia nanyain lo terus, May!” “Nanyain gimana?” tanya Mayang. “Yaa … dia nanyain lo itu orangnya galak atau nggak sebagai atasan gue, terus lo udah lama atau belum kerja di majalah Style ….” “Ngapain nanyaian hal begituan, sih?” tukas Reindra memotong ucapan Sarah. “Itu kan awalnya, buat pembukaan aja. Basa basi,” sahut Sarah, “soalnya setelah itu dia mulai nanya hal yang lebih pribadi.” “Nanya apaan?” tanya Reindra cepat. “Kenapa jadi lo yang nggak sabaran sih?” gerutu Sarah kesal karena kalimatnya dipotong terus oleh Reindra. “Ya dia nanya, Mayang udah punya suami atau belum, punya pacar atau nggak, gitu.” “Terus lo jawab apa?” tanya Reindra lagi mendahului Mayang yang juga sudah siap membuka mulut untuk bertanya pada Sarah. “Ya gue jawab aja yang sejujurnya,” ucap Sarah sambil mengangkat bahu. “Gue bilang Mayang udah pernah nikah, tapi suaminya udah meninggal. Nggak apa-apa kan, May, gue bilang kalau lo udah pernah nikah?” Sarah menoleh ke arah Mayang meminta persetujuan. Mayang tertawa kecil. “Ya nggak apa-apa, lah. Kan emang gue udah pernah nikah. Masa janda mau ngaku perawan,” kata Mayang sembari terkikik. Sarah ikut tertawa. “Iya juga, ya. Hal kayak gitu ngapain harus bohong segala, coba,” ujarnya. “Iya. Lagian nggak ada yang salah dengan status janda,” ujar Reindra. “Zamannya udah beda sekarang.” Sarah mengangguk. “Kalau orang zaman dulu memang malu kalau menyandang status janda. Kayak tabu banget gitu. Jadi kadang-kadang meskipun suaminya suka nyiksa atau nggak nafkahin, tetep aja dia bertahan.” Mayang mengangguk. Dalam hati ia teringat akan pembicaraan dengan ibunya minggu lalu. Wajah menangis ibunya saat membicarakan soal bapak masih terbayang di ingatan Mayang. Mungkin apa yang ia dan teman-temannya perkirakan adalah benar bahwa sikap bapak sangat jahat terhadap ibu, tetapi ibu tak kuasa untuk minta cerai. Sehingga ibu sampai mengatainya ‘bukan manusia’. Betapa menyedihkannya hidup di era seperti itu, dan Mayang bersyukur dia hidup di masa yang lebih modern dan terbuka sehingga tidak perlu menahan perasaan seperti ibunya. “Oh iya, terus,” lanjut Sarah, “si Dio itu juga nanya, lo sukanya kegiatan apa May, di luar pekerjaan kantor.” “Maksudnya?” tanya Mayang sambil mengernyitkan dahi. “Ya maksudnya dia mau ngajak lo jalan kali,” sahut Sarah. “Gue bilang aja kita suka nongkrong bareng di kafe, denger live music, nonton bioskop, dan lain-lain.” Mayang tiba-tiba tertawa geli. “Kenapa ketawa lo?” tanya Reindra. “Nggak, lucu aja,” jawab Mayang. “Pak Dio itu kayaknya usianya lebih muda dari gue, deh. Dia nanya-nanya kayak gitu, tau nggak umur gue berapa, Sar?” “Dia nggak nanya sih, jadi gue nggak bisa ngasih tau,” kata Sarah, “ya kalau dilihat dari tampilannya kayaknya si Dio itu seumuran sama gue deh, dua satuan gitu. Atau maksimal se Reindra lah, dua tiga.” “Nah, lain kali kalau kalau Pak Dio nanya-nanya lagi, kasih tau aja kalau umur gue udah dua lima,” ucap Mayang. “Terus lo ngapain manggilnya Pak Dio? Kan dia masih muda,” ucap Sarah. “Ya kan dia klien perusahaan kita,” sahut Mayang, “masa harus gue panggil Bro, sih? Sok akrab banget gue.” “Ya udah, nanti aja kalau udah akrab baru panggil Bro. Mas Bro,” seloroh Sarah dengan wajah usil. Mayang tertawa terkekeh. Sebenarnya ia juga mengakui di dalam hati kalau Dio itu cukup tampan. Tetapi saat ini ia benar-benar belum mau memikirkan laki-laki. “Tapi lo emang nggak kayak udah dua puluh lima tahun, May,” ucap Reindra. “Apalagi kalau lagi nggak pake pakaian kantor. Kayak anak kuliahan aja gitu. Malah kelihatan lebih tua Sarah daripada lo.” “Heh, lo ada dendam apa sih sama gue, Rein?” tukas Sarah sambil melempar tisu bekas lap keringatnya ke arah Reindra. “Nggak ada dendam kok, adanya cuma penyesalan,” jawab Reindra kalem. Dan seketika ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak. Namun tawa mereka segera terhenti ketika terdengar suara panggilan di luar pagar. “Eh, orderan makanan kita, tuh!” seru Mayang. “Sini gue aja yang ambil,” ucap Reindra sembari bangkit dan berjalan keluar. Beberapa menit kemudian ketiga sahabat itu sudah mulai menikmati santap siang mereka. Menu mie ayam pangsit yang berpadu tidak serasi dengan kentang goreng keju dan ayam bakar, mereka habiskan secara bar-bar hanya dalam hitungan waktu beberapa belas menit saja. Kemudian ditutup dengan air dingin dari lemari es Mayang dan masing-masing segelas kopi dingin. “Perasaan kita tadi kegiatannya nggak capek-capek amat deh, kok kayaknya laper banget gue,” ucap Sarah keheranan sendiri dengan selera makannya. “Sama gue juga. Cepet banget tadi speed gue ngabisin ini semua,” komentar Reindra menunjuk bekas-bekas kemasan makanan mereka yang sudah kosong dan berserakan di hadapan mereka. “Ada jinnya kali nih rumah,” ucap Sarah asal. “Jin laper.” Reindra terkekeh. Namun Mayang tidak. Ia teringat kejadian beberapa malam lalu. “Eh … kalian ….” ucap Mayang setengah berbisik sembari melirik ke kiri dan ke kanan, “ada yang pernah lihat hantu nggak, sih?” Sarah dan Reindra sontak menoleh ke arah Mayang. “Hah? Hantu …?” Mayang mengangguk. “Iya. Hantu … orang yang udah meninggal.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN