Mimpi Yang Berulang

1535 Kata
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian yang nyaman untuk tidur, Mayang dan Sarah berbaring dengan santai di tempat tidur besar di dalam kamar yang disediakan Dio untuk mereka. “Kamarnya besar banget, yah. Udah kayak kamar hotel president suite,” ucap Sarah. “Gue berasa jadi tamu penting, nih, di sini.” Mayang mengangguk sembari terkikik. “Iya. Kayaknya ini kamar paling besar yang ada di villa ini, deh. Soalnya kan kita tadi udah masuk ke semua kamar yang ada di lantai bawah. Dan nggak ada yang sebesar kamar ini. Kenapa Dio nggak tinggal di kamar yang paling besar ini, ya?” “Mungkin dia pindah ke kamar ujung soalnya sengaja nyiapin kamar ini buat lo, May. Dikasih servis yang paling bagus,” ucap Sarah usil. “Nggak gitu juga kali, Sar,” bantah Mayang sembari mendelik ke arah Sarah. “Lo nggak denger tadi Dio bilang apa? Kamarnya Dio tuh kamar yang ada di paling ujung sana. Lagipula kalau kamar ini adalah kamar yang biasa dipakai sama Dio, pasti akan kelihatan kalau ruangannya bekas ditinggali oleh seseorang. Mungkin ada barang-barang pribadi milik Dio yang masih tertinggal, atau bisa dilihat ornamen tertentu yang kelihatannya adalah hiasan tambahan. Tapi ini nggak, loh. Kayak kamar kosong yang dekorasinya rapi banget, dan nggak ada tambahan apapun. Ini juga salah satu kamar yang disiapkan buat pemotretan, kan?” “Oh iya. Bener juga,” sahut Sarah menyetujui. “Berarti emang Dio orangnya sederhana dan apa adanya. Dia nggak merasa perlu tinggal di kamar sebesar ini untuk dia sendiri. Percuma juga ruangan besar-besar cuma ditempati satu orang. Ya kecuali kalau nanti dia udah menempati kamar ini berdua sama lo. Kan perlu space yang luas buat sepasang manusia di dalam sini,” Sarah terkekeh sendiri setelah mengucapkan kalimat ejekannya pada Mayang. “Apaan, sih! Rese lo!” tukas Mayang yang langsung melempar bantalnya ke wajah Sarah. Tawa Sarah terdengar teredam di balik bantal besar yang menutupi wajahnya. Dan sedetik kemudian terjadilah perang bantal antara kedua perempuan yang sudah dewasa itu. Momen santai seperti ini jarang sekali mereka rasakan sehingga tanpa sadar sikap mereka kembali seperti remaja yang sedang menginap di rumah salah satu dari mereka dan mengadakan ‘pajama’s party’. Bercanda tawa sambil membicarakan cowok yang mereka sukai di sekolah. Tanpa diketahui oleh keduanya, di dalam kamar yang terletak di paling ujung, Dio yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya, tampak tersenyum sembari menatap ke arah langit-langit kamar. Ia merasa senang mendengar suara seruan-seruan heboh dari kamar yang ditempati Mayang dan Sarah meskipun samar-samar. Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini sejak kedua orang tuanya meninggal. Waktunya sehari-hari ia habiskan untuk memutar otak bagaimana caranya supaya bisa mempertahankan harta warisan orang tuanya agar tak habis begitu saja. Kedua kakaknya yang tidak mengerti soal bisnis dan sibuk mengurus keluarganya masing-masing hanya bisa menyerahkan padanya untuk mengolah asset keluarga milik bersama ini. Sejak mengenal Mayang dan teman-temannya, Dio merasa bersemangat kembali. Ia merasa seperti sedang kembali ke masa remaja, dikelilingi oleh orang-orang yang berwatak ceria seperti mereka. Apalagi di antara mereka ada Mayang, perempuan yang ia sukai. Dio sendiri merasa bingung dan heran sendiri, mengapa ia bisa sedemikian cepatnya merasa jatuh cinta pada Mayang. Sejak remaja dan beberapa kali berpacaran, dia tidak pernah merasa sesingkat ini untuk memastikan bahwa ia telah jatuh cinta pada seseorang. Tetapi dengan Mayang, bisa dikatakan ia telah jatuh cinta sejak pada pandangan pertama. Saat pertama ia bertemu Mayang di kantornya untuk mengajak kerjasama, Dio sudah menyukai Mayang. Sebagai seseorang yang memiliki jabatan cukup tinggi di sebuah perusahaan, sikap Mayang tergolong rendah hati dan terasa bersahabat. Sedikitpun tidak tampak kearoganan dan kesombongan di dalam dirinya. Mayang bisa membuat dirinya akrab dengan semua orang namun tetap dihormati. Mayang juga bukan tipe perempuan yang suka berdandan tebal dan bergaya menggoda saat bertemu dengan laki-laki. Itu adalah salah satu sikap Mayang yang disukai oleh Dio. Lagipula, tanpa Mayang berusaha menggodanya, Dio sudah jatuh cinta padanya. Mayang juga terlihat fleksibel dalam bersikap. Saat sedang berada di kantor ia bisa berikap profesional dan berwibawa, namun saat berada di luar kantor, ia bisa menyamai Sarah yang memang terlihat tomboy dan berkesan urakan. Kebanyakan relasi Dio dalam urusan pekerjaan selalu bersikap sok profesional bahkan dalam suasana santai sekalipun. Meskipun usia masih sangat muda, namun karena bidang pekerjaannya cukup serius, mereka seolah tidak ingin lepas dari label mereka sebagai 'eksekutif muda', sehingga terlihat selalu jaga image di manapun mereka berada. Suasana yang membuat Dio bosan dan tidak bertah berlama-lama berada bersama rekan bisnisnya. Yang jelas, Dio merasa senang sekali bisa memiliki teman-teman dekat lagi seperti dulu. Yang bisa diajak nongkrong gila-gilaan dan bercanda tidak jelas. Namun, khusus untuk Mayang, Dio sangat berharap bisa lebih dari sekadar teman akrab. Sementara itu di kamar lain yang tepat bersebelahan dengan kamar para perempuan, Reindra bisa mendengar dengan cukup jelas suara Mayang dan Sarah yang asyik bercanda-canda. Reindra hanya tertawa dalam hati membayangkan kedua temannya itu sedang saling bercanda seperti anak remaja. Reindra merasa ikut lega Mayang telah kembali ceria seperti dulu, sebelum ia kehilangan suaminya. Dalam hati Reindra berharap, jika Dio memang serius menyukai Mayang, hubungan mereka akan berjalan lancar dan tidak membuat Mayang bersedih lagi. Setelah beberapa menit saling lempar bantal dan bercanda di atas tempat tidur, Mayang dan Sarah akhirnya tertidur kelelahan dalam posisi yang tidak beraturan. Sarah tidur dalam posisi kepala berada di posisi yang seharusnya untuk kaki. Sedangkan Mayang tertidur dalam posisi telentang dan kepala sedikit terkulai di sisi tempat tidur. Mayang membuka matanya mendadak, seperti ada yang mengejutkannya. Dan Mayang lebih terkejut lagi, saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Jantungnya langsung berdebar dengan keras. Hutan ini lagi! Ia kembali lagi ke hutan ini! Mayang mengerjap-ngerjapkan matanya beebrapa kali, berharap pepohonan lebat di dalam kegelapan yang membentang di depan matanya menghilang. Tetapi tidak berhasil. Suara jangkrik yang berderik ramai terdengar di telinganya. Dan sekali lagi, suara gamelan itu. Suara alat musik gamelan Jawa yang sepertinya dimainkan dengan tidak teratur, berdenting dan berdentang dibawa angin hingga ke telinganya. Mayang bangkit dari tidurnya dan menoleh, berharap Sarah ada di sampingnya. Tetapi tentu saja tidak ada, karena ini adalah alam mimpi. Mimpi Mayang. Karena sudah kedua kalinya mengalami hal seperti ini, Mayang memutuskan untuk tidak panik dan kebingungan berusaha untuk bangun. Karena pada pengalaman sebelumnya, ia tidak akan bisa bangun jika belum menyelusuri jalan setapak itu. Kemudian, persis seperti yang Mayang lakukan sebelumnya, ia bangkit berdiri dan berjalan di keremangan malam. Ia melangkah tepat ke arah yang ditujunya pada mimpi sebelumnya, untuk mencapai jalan setapak itu. Tidak ada sedikitpun niat di dalam pikiran Mayang untuk berjalan ke arah lain. Karena selain berisiko ia akan kesulitan menemukan jalan setapak itu, ia juga ingin segera bangun dan keluar dari mimpi aneh ini. Kaki telanjang Mayang telah menemukan jalan setapak dengan tanah kering berbatu itu. Dengan segera Mayang berjalan menyusurinya. Suara gamelan yang terdengar dari kejauhan masih mengiringinya sepanjang perjalanan. Dan tibalah Mayang di tempat itu. Ia masih ingat titik tersebut. Semak belukar tebal di sebelah kirinya, dan akar pohon besar yang menonjol ke luar dari dalam tanah. Di mimpi sebelumnya, ini adalah titik terakhir ia berada di mana akan terdengar suara …. “Grrrrhhh!” Mayang menoleh cepat. Jantungnya berdebar. Persis seperti itulah suara geraman yang didengarnya pada mimpi sebelumnya. Mayang menunggu. Satu detik. Dua detik. Kenapa ia belum bangun juga? Bukankah pada mimpi sebelumnya, ia langsung terbangun saat geraman itu terdengar? “Grrggggrrhhh!” Suara geraman itu terdengar sekali lagi. Jelas sekali asal suara itu adalah dari balik semak tinggi di sebelah kirinya. Mayang menatap tak berkedip ke arah semak-semak itu. Makhluk apa kiranya yang membuat suara geraman seseram itu? Harimau? Singa? Babi hutan? Beruang? Tubuh Mayang kaku dan tegang, dalam waktu singkat harus memutuskan apakah ia harus lari dan melanjutkan perjalanan menelusuri jalan setapak, atau diam menunggu kemunculan makhluk yang menggeram di balik semak itu? Ia merasa bingung apakah harus merasa takut karena ini hanyalah sebuah mimpi. Seharusnya tidak ada yang bisa menyakitinya di dalam alam mimpi, kan? Tapi kalau ini hanya mimpi, mengapa terasa sangat nyata sekali? Dan sepasang mata merah menyala terlihat menatapnya dari balik semak lebat itu. Mayang membuka matanya dan langsung menarik tubuhna untuk bangun. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengamati pemandangan di hadapannya yang sudah kembali berubah menjadi dinding kamar di dalam villa milik Dio. Mayang menoleh ke samping, dan mendapati Sarah tengah tertidur pulas dengan mulut sedikit menganga, bahkan terdengar dengkuran halus keluar dari celah bibirnya. “Huuuft.” Mayang mengembuskan napas keras. Ia merasa lega karena akhirnya bisa keluar dari mimpi aneh tersebut. Ini sudah kedua kalinya Mayang mengalaminya. Mimpi aneh yang terasa nyata. Dan jalan ceritanya pun berulang. Hutan yang dimasukinya tadi adalah hutan yang sama dengan yang ada di mimpinya yang pertama, saat ia baru saja pindah ke kamar kost barunya malam itu. Mayang jarang sekali bermimpi. Paling tidak, mimpi yang ia ingat setelah terbangun dari tidurnya. Maka jika saat ini ia sampai dua kali mengalami mimpi yang sama, adalah hal yang sangat aneh baginya. Apalagi mimpi ini bisa diingatnya dengan sangat jelas bahkan hingga beberapa hari setelahnya. Mimpi yang bukan seperti mimpi, karena Mayang bisa merasakan tanah kering dan rerumputan tajam di bawah kakinya. Mayang turun dari tempat tidur, ingin mengambil air minum. Tenggorokannya terasa kering setelah bermimpi tadi. Ia beranjak keluar dari kamar menuju ke dapur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN