Pertanda

1513 Kata
Setelah mengembalikan kunci rumah ke keluarga Bayu melalui Jennifer, Mayang, Sarah dan Reindra mampir ke pemakaman tempat mendiang Bayu disemayamkan. Sarah dan Reindra yang tidak ikut masuk ke dalam area pemakaman, memilih untuk menunggu Mayang di luar gerbang pemakaman, agar Mayang bisa memiliki privasi.  Beberapa menit kemudian, Mayang sudah kembali ke mobil Reindra. “Udah, May?” tanya Sarah yang membukakan pintu untuk Mayang. Udara yang cukup panas membuat Sarah dan Reindra tetap berada di dalam mobil dengan pendingin udara diatur dalam volume maksimal. “Udah,” jawab Mayang, “yuk, langsung ke kosan gue aja, ya.” “Siap!” sahut Reindra dari balik kemudi. Sore itu dihabiskan oleh ketiga sahabat itu untuk menata semua barang-barang Mayang di dalam kamar kos berukuran empat kali empat meter itu. “May, lo nggak apa-apa tinggal di kamar ukuran segini?” tanya Sarah ragu, mengingat rumah Mayang yang baru saja mereka tinggalkan tadi berukuran sangat besar dibandingkan kamar yang akan ditempati oleh Mayang itu. “Ya nggak apa-apa, laah. Emangnya kenapa? Keliatannya kecil, ya?” Mayang balik bertanya pada Sarah. “Ya gue mikirin lo aja, takutnya lo lama-lama nggak betah tinggal di tempat kayak gini. Kan rumah lo yang tadi itu besar,” jawab Sarah. “Gue kan sebelumnya udah biasa tinggal di rumah yang kecil, Sar. Rumah pakde dan bude gue di Bekasi itu kecil, loh. Kamar gue juga sempit. Tapi yah, karena suasananya nyaman dan rumahnya asri, jadi gue betah aja,” ucap Mayang. “Iya juga, yah,” ucap Sarah. “Lagian kalau bosen di dalam kamar kan, Mayang masih bisa duduk-duduk di luar,” ucap Reindra sambil melambaikan tangan ke arah pintu keluar, di mana di teras masing-masing kamar kos ini diberikan dua buah kursi untuk duduk-duduk, menghadap ke arah taman penuh tanaman yang ada di luar sana. “Iya,” ucap Mayang menyetujui, “kayaknya juga di sini orangnya nggak pada berisik, deh. Jadi enak suasananya. Nah, kalau di teras juga bosen, ya gue pindah aja ke Kafe Daun. Beli kopi dua puluh ribu udah dapet suasana yang beda dan lebih ramai.” “Bener juga,” ucap Sarah. “Eh, selesai beresin kamar lo, kita ke Kafe Daun lagi, yuk! Pingin minum yang seger-seger, nih!” “Aduh iya, maaf! Lo haus ya, Sar? Sebentar ya, gue ambilin minum dulu. Di lemari es bersama itu pasti ada minuman dingin atau es batu,” ucap Mayang sembari mencari-cari gelas miliknya di antara bungkusan-bungkusan lain. “Eeh, udah nggak usah, May!” cegah Sarah. “Maksud gue nanti aja sekalian setelah kita selesai, kita ke Kafe Daun. Gue lagi pingin minum yang bersoda-soda gitu. Emang lo mau ambil minuman soda punya siapa di lemari es kosan? Lo kan belum punya stok minuman?” “Oh iya, ya,” ucap Mayang sambil terkikik. “Hampir aja gue ambil minuman punya orang lain.” “Paling yang milik bersama itu air mineral aja, kan, kalau di kosan kayak gini?” tanya Reindra. “Lainnya lo harus beli stok sendiri.” “Iya. Berarti gue harus belanja nih setelah ini,” ucap Mayang. “Untung supermarketnya nggak jauh.” “Nanti gue temenin. Setelah kita nongki cantik di Kafe Daun tapi, yah. Gue udah pingin makan quesadilla atau nggak potato wedgesnya yang kemarin gue liat di buku menu.” “Lo laper, Sar? Tadi katanya haus pingin minuman yang bersoda? Kenapa jadi ngomongin quesadilla sama potato wedges? Perasaan tadi kita baru makan, deh,” ucap Reindra sembari mendelik pada Sarah. “Ya kan sekalian,” ucap Sarah santai. “Masa minum doang, nggak makan. Lagian kita makan udah empat jam yang lalu, loh. Udah habis dicerna juga kali, makanan yang kita makan tadi.” “Oh iya ya, nggak terasa ya,” komentar Reindra yang langsung memerhatikan jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore lewat tiga puluh menit. “Iya sih, gue juga udah mulai ngerasa laper lagi, nih,” ucap Mayang. “Ya udah, kita sudahi aja beres-beresnya. Toh ini juga tinggal yang kecil-kecil gue bisa sendiri kok nanti.” “Oke, lah!” sahut Sarah dan Reindra. Sepuluh menit kemudian. Mayang, Sarah dan Reindra sudah sampai di Kafe Daun. Kafe tersebut tampak jauh lebih ramai dari biasanya karena memang saat ini adalah malam Minggu. Terlihat banyak pasangan-pasangan muda yang menempati meja-meja berkapasitas dua orang, dan rombongan remaja gaul yang menempati meja-meja yang lebih besar. “Yah, meja kita yang waktu itu udah ada yang nempatin,” gumam Sarah sambil melihat ke sudut tempat mereka bertiga duduk saat pertama datang ke sini. “Meja kita? Meja yang punya kafe kaliii,” seloroh Mayang, membuat Sarah tertawa geli. “Itu aja, tuh. Masih kosong,” ucap Reindra sembari menunjuk ke sudut lain. Tampak sebuah meja yang sepertinya baru saja ditinggalkan oleh pengunjung, sehingga masih ada bekas-bekas piring dan gelas kotor di atasnya. “Oh iya, yuk, situ aja!” sahut Mayang dan Sarah yang langsung bergegas menuju ke arah meja tersebut.  Di samping meja itu tampak seseorang yang mengenakan kemeja hitam dengan logo khas Kafe Daun memanggil salah seorang staff kafe yang berada tak jauh dari situ. Sepertinya ia adalah supervisor area atau manajer kafe. “Ben, ini tolong ya!” ucap laki-laki itu sambil memberi kode untuk membersihkan meja tersebut. “Ya, Pak!” sahut staff bernama Ben yang dipanggil tersebut dan langsung menghampiri meja yang sudah diincar oleh Mayang, Sarah dan Reindra. Laki-laki berkemeja hitam itu kemudian berbalik dan bicara, “Sebentar ya Pak, Bu, mejanya dibersihkan du ….” “Loh? Dio!” sapa Sarah dengan terkejut. “Lo di sini?” “Eh, Sarah? Iy ….” Pandangan laki-laki bernama Dio itu bergeser dari Sarah kepada Mayang. Dan sontak wajahnya memerah. “Eh, Bu … Bu Mayang … selamat malam ….” sapa Dio sambil sedikit membungkuk. “Eeh, Pak Dio,” sapa Mayang yang juga sedikit terkejut karena melihat Dio yang sore tadi baru saja dibicarakan ternyata sekarang ada di hadapan mereka, namun tetap tersenyum sopan pada Dio. “Ini kafe lo, Dio?” tanya Sarah langsung. “Iya Sar, ini kafe punya keluarga gue,” jawab Dio sambil tersenyum malu, ia merasa bingung hendak bicara dengan gaya formal atau gaya bebas. Di hadapannya ada Sarah yang sudah menjadi cukup akrab dengannya setelah pergi bersama untuk meninjau properti milik keluarganya, tapi juga ada Mayang yang adalah atasan Sarah yang baru sekali saja ia temui dalam kondisi formal. “Eh iya, ini mejanya sudah bersih. Silakan duduk, Bu, Pak,” ucap Dio sopan kepada Mayang dan Reindra yang memang belum pernah dikenalnya. “Oh iya kenalin nih, ini Reindra, reporter di Style,” ucap Sarah. “Halo, gue Reindra,” ucap Reindra sembari menjabat tangan Dio. “Saya Dio, Pak,” balas Dio dengan sopan. “Eh, kok gue dipanggil ‘Pak’ sih? Kenapa sama Sarah lo nggak panggil ‘Bu’? Tadi Mayang juga lo panggil ‘Bu’?” tanya Reindra dengan wajah usil. “Yaa … soalnya Bu Mayang kan Pimpinan Redaksi di Style, masa saya panggil nama aja, kan nggak sopan,” jawab Dio sopan. “Ya udah, mendingan sekarang kita semua santai aja, nggak usah pakai Pak dan Bu,” ucap Mayang akhirnya. “Kan kita sekarang juga udah jadi partner kerja. Iya kan, Dio?” “Nah, iya, gitu aja,” sahut Reindra setuju. Wajah Dio sedikit memerah mendengar Mayang memanggil namanya. Namun sikap profesionalnya langsung bisa menutupi perasaannya. “Baik, Bu. Eh, Mayang,” jawab Dio sambil tertawa ramah. “Oke, silakan pesan makanan dan minumannya.” Dengan sigap, Dio mengangsurkan dua lembar menu kepada Sarah dan Mayang. “Dio, lo sini aja, pilihin makanan buat kita!” ujar Sarah sambil menarik lengan baju Dio agar duduk di sebelahnya, berrhadapan dengan Mayang. “Heh, Sar, main tarik-tarik aja, lo!” tukas Reindra. “Si Dio kan lagi kerja!” “Eh, iya ya?” ucap Sarah baru sadar. “Maaf, lo lagi sibuk ya?” Dio tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Iya, kalau malam Minggu emang ramai, makanya gue juga harus turun bantuin anak-anak,” ucapnya sembari melambai kepada para staffnya yang disebut dengan ‘anak-anak’ tadi. “Oh, ya udah kalau gitu, kita pilih menu sendiri aja,” ucap Sarah sembari cengengesan. Mayang tahu Sarah berusaha mendekatkan Dio dengannya sehingga ingin sekali Dio duduk dengan mereka. “Nanti kalau udah nggak terlalu rame lagi, gue gabung sama kalian, ya,” ucap Dio. “Oke!” sahut Sarah, Mayang dan Reindra berbarengan. Setelah Dio pergi, Sarah langsung mencondongkan tubuh ke depan melewati meja dan berdesis keras. “Gilaaaa May, gilaa! Jodoh banget lo May ama dia! Ternyata Kafe Daun ini kafenya Dio! Pas banget kan, lokasinya deket sama kosan baru lo! Ini pertanda loh, May, pertandaaa!” Mayang tertawa geli melihat antusiasme Sarah. “Udah, sekarang kita pesen makanan sama minuman dulu. Bahas pertandanya nanti aja. Nanti kentang sama kejunya habis loh!” ucap Mayang mengingatkan. "Eh tapi Dio ganteng, kan?" desis Sarah masih belum puas. "Pesen duluuuuu!" balas Mayang ikut berdesis. “Tau lo Sar, berisik!” desis Reindra. Dan Sarah langsung beralih fokus pada buku menu di tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN