"Percayalah jika kita melakukan hal buruk. Sekecil apapun itu, kita pasti akan mendapatkan balasannya." Nara Lovata Edrea
***
Malam berlalu begitu lambat. Denting jam terus terdengar oleh Nara. Tidurnya malam itu sangat resah. Ia membolak-balikkan tubuhnya. Berharap tubuhnya bisa menemukan posisi yang nyaman untuk beristirahat.
"Huft ...," desah Nara yang sama sekali tidak bisa menemukan posisi yang nyaman untuknya.
Matanya kini terbuka lebar, memandang langit-langit kamar yang masih gelap. Hanya lampu tidur yang terus menyala redup.
"Aku kenapa sih?" desahnya lagi.
Setiap beberapa jam sekali ia terbangun dari tidurnya. Ini sudah yang ke 3 kali Nara terbangun dari tidurnya yang resah tersebut.
"Apa yang aku pikirkan!"
Nara mengusap kasar wajahnya. Ia memandang jam yang sudah menunjukkan dini hari. Ia pun memandang keluar dari ventilasi kamarnya. Matahari tampak belum menunjukkan dirinya.
Sekali lagi, Nara mencoba untuk kembali tertidur. Ia menarik selimutnya hingga menutupi setengah wajahnya. Sekuat tenaga ia memejamkan matanya.
Akan tetapi, untuk beberapa puluh menit selanjutnya ia tetap gagal untuk kembali tertidur.
"Huft ...," desah Nara lagi untuk kesekian kalinya, yang kemudian menyerah untuk bisa tertidur lagi.
Nara akhirnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia meneguk air mineral yang terletak tak jauh dari tempat tidurnya itu.
Sejujurnya, Nara masih tidak bisa tidur akibat mengingat wanita sexy yang mencium bibir Rei di depan matanya. Bayangan wanita itu terus terlintas di pikirannya. Hatinya menderu kencang. Berdebar tidak karuan. Emosinya juga seketika memuncak. Nara sangat tidak tenang.
"Sadarlah, Nara. Aku tidak berhak merasa kesal seperti ini."
Nara kembali mencoba mengembalikan kesadarannya. Ia harus sadar akan posisinya. Ia masih bukan siapa-siapa bagi Rei.
"Belum tentu juga dia memiliki perasaan yang sama denganku, kan? Bagaimana jika ia ramah karena memang dia orang yang baik dan ramah?"
Beberapa pertanyaan terus terlintas di benak Nara. Ia meragukan sikap baik dan lembut yang ditunjukan oleh Rei padanya. Jika di pikirkan dengan baik. Hal yang wajar jika Rei bersikap ramah pada dirinya. Mengingat dia adalah pemilik warnet tempat Rei bekerja.
"Benar, jangan-jangan hanya aku saja yang terlalu percaya diri." Nara akhirnya menyimpulkan jika ia tidak berhak untuk salah paham lebih jauh. Ia tidak mau jika pada akhirnya hubungan mereka kelak merenggang akibat kesalahpahaman dari sikap Rei yang lembut padanya.
Tidak hanya itu yang membuat Nara kepikiran. Pengakuan dari Rei sendiri membuatnya semakin yakin jika bisa saja selama ini dia tidak jauh berbeda dengan para wanita yang mendekati Rei. Wanita yang hanya menginginkan Rei tanpa adanya ketulusan. Wanita yang terpesona begitu saja pada sosok Rei.
"Atau malah dia yang memang lelaki hidung belang?" gumam Nara lagi yang kemudian mencoba mengingat segala tingkah laku Rei selama bekerja dengannya di warnet.
Nara berpikir keras untuk melihat sesuatu hal buruk yang mungkin terdapat dalam diri Rei. Tapi, itu semua sia-sia. Nara sama sekali tidak melihat hal yang mencurigakan dari sikap Rei. Meski ada para wanita di warnet. Rei justru terlihat kaku dan dingin. Meski ia tersenyum ramah pada para pengunjung warnet dan menjawab dengan baik seluruh pertanyaan yang di ajukan para pengunjung. Tapi, semua orang juga bisa melihat jika Rei hanya menjawab mereka sekadarnya saja. Ia sama sekali tidak memerlihatkan ketertarikan khusus pada wanita-wanita yang ia temui itu.
"Kecuali caranya memandangku," ucap Nara dengan suara lembutnya.
Plaaaakk ...
"Nara, sadar! Dari mana kamu mendapatkan kepercayaan diri seperti itu. Kamu bisa kualat jika seperti ini terus!"
Nara menampar kedua pipinya untuk menyadarkan dirinya dari pikiran konyolnya tersebut.
Kedua pipinya terasa panas akibat pukulan tersebut dan kini ia menyadari betapa menyedihkan dirinya yang bertepuk sebelah tangan pada sosok yang bisa saja tidak memiliki perasaan apapun padanya.
"Aku benar-benar akan kualat. Pasti akan terkena batunya."
Perasaan yakin itu muncul entah dari mana. Tapi, Nara sangat yakin jika ia pasti akan terkena masalah jika terus memikirkan yang tidak-tidak lagi tentang Rei.
Sekali lagi, Nara menatap ke arah ventilasi udara di kamarnya. Matahari tampaknya belum berniat untuk muncul. Nara yang menyerah akan pikiran konyolnya itu memutuskan untuk mandi saja. Ia ingin mendinginkan pikirannya yang sudah kotor tersebut.
"Aku harus mencuci otakku. Aku benar-benar harus menjernihkan pikiran," tekad Nara yang kemudian langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
Merasa waktu hingga matahari pagi masih lama sampai waktu menunjukkan dirinya. Nara pun mandi dengan riang. Ia memutuskan mengalihkan perhatiannya dengan memanjakan tubuhnya. Mulai dari menggosokkan body oil dan kemudian membalurkan lulur di tubuh indahnya. Hingga menyiram tubuhnya dengan penuh keceriaan.
Byuuuuur ....
"Hmmm ... Hmmm... Hmm..."
"Syalalala ... Lala ...."
Nara berdeham dan sesekali berdendang. Ia bernyanyi dengan riang dan tanpa beban. Bagaikan keajaiban. Mandi benar-benar berhasil mengalihkan pikirannya yang kotor tadi. Padahal sebelumnya ia tidak bisa tidur memikirkan berbagai hal tentang Rei.
"Wah, aku benar-benar kurang ajar. Bagaimana bisa aku mengaku cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi, bisa melupakannya begitu cepat hanya karena aku luluran dan mandi dengan riang."
Nara yang terkejut akan dirinya sendiri itu menggelengkan kepalanya. Ia pun membungkus tubuhnya dengan handuk.
"Hmmmm ...."
Sejenak Nara terdiam di depan pintu kamar mandi. Ia berdeham dengan matanya yang mendelik ke atas dan meletakkan kedua tangannya ke pinggang Nara. Ia berpikir dengan sangat keras.
"Aku lupa bawa baju ganti!" ucap Nara kemudian.
Sejak awal Nara memang sudah tidak konsentrasi. Ia hanya menarik handuknya dan langsung meluncur ke kamar mandi begitu saja. Tanpa membawa pakaian ganti.
"Hmm.. bukankah ini masih terlalu pagi. Aku rasa Rei pasti belum bangun. Muko juga pasti di bawah karena sif-nya belum diganti."
Merasa yakin jika waktu masih pagi dan tidak akan ada orang yang akan melihatnya. Dengan percaya diri. Nara keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk saja yang menutupi tubuhnya.
Bruuuuuks...
Tanpa disengaja, Nara menabrak seseorang. Begitu pintu kamar mandi itu ia buka. Membuat Nara terkejut dengan sosok yang kini ada di hadapannya tersebut. Ia bahkan hanya bisa terdiam tanpa bisa berteriak lagi dengan mulutnya yang menganga lebar.
"Na-nara ..." ucap Rei dengan matanya yang terbelalak lebar.
Tubuh mungil Nara hanya dibungkus oleh handuk putih. Aroma tubuhnya yang wangi tercium begitu segar. Air yang menetes dari rambut Nara juga terlihat dengan jelas. Terlebih, belahan tubuh bagian atas Nara yang kini tepat berada di hadapan Rei terlihat dengan sangat jelas.
"Hmmmm.. I-itu ...." Rei mulai terbata-bata akan ucapannya. Ia bingung mau mengatakan apa. Ia juga bingung harus melakukan apa selain memejamkan matanya.
"Ya Tuhan, Rezeki apa ini. Aku ingin melihatnya. Tapi, aku bingung harus melihat kemana!" benak Rei dengan resah.
"Aku sudah tutup mata!" teriak Rei pada akhirnya.
Akan tetapi, tidak ada jawaban apapun dari Nara. Nara hanya diam membisu.
"Nara, katakan sesuatu. Aku bingung harus apa, nih!" Rei berusaha untuk mendapatkan jawaban dari Nara.
Lagi-lagi, Nara tidak merespon ucapan dari Rei. Rei pun berpikir keras. Ia yakin jika saat ini bisa saja Nara sedang dalam keadaan kesal padanya. Tapi, di sisi lain. Mereka tidak mungkin berada di posisi itu terus untuk waktu yang lama.
"Na ... Ra ..." Rei mencoba memanggil Nara sembari membuka matanya dengan perlahan.
Greeeeep ....
Nara menutup mata Rei kembali dengan tangannya yang dingin. "Jangan lihat.."
"Baiklah," jawab Rei spontan.
"Pertama-tama lepaskan dulu pelukanmu!" ucap Nara dengan suaranya yang lembut ke telinga Rei.
Saat mereka bertubrukan di depan pintu kamar mandi tadi. Rei dengan sigap menarik tubuh Nara yang hampir jatuh tersungkur. Hingga ia harus berada di pelukan Rei dalam keadaan tubuhnya yang hanya menggenakan handuk saja.
"Aaaaah ... Maaf!"
Rei langsung melompat mundur. Ia menarik kedua tangannya dan mengangkatnya ke atas. Matanya kembali terbuka dan akhirnya ia menatap Nara dengan handuk putih di tubuhnya itu.
"Tutup matamu Rei!!" teriak Nara dengan wajahnya yang merah padam.
Nara pun mulai melangkah pelan, ia berusaha untuk kembali ke kamarnya dengan selamat.
"Rei, jangan buka matamu. Mengerti!" teriak Nara lagi memperingati Rei.
"Ah, aku benar-benar kena karma. Aku kualat karena terus memikirkan yang tidak-tidak!" benak Nara yang menyadari perbuatan konyolnya itu.
Lebih buruknya lagi. Di saat seperti ini. Nara malah berpikiran kotor tentang Rei. Sempat berharap Rei melihat tubuhnya dan menyukai tubuh mungilnya itu. Ia berharap jika kali ini Rei juga akan menganggapnya sexy layaknya gadis yang ia temui sebelumnya.
"Aku mikir apa sih! Tentu saja dia tidak boleh lihat. Sexy juga bukan berarti hanya menggenakan handuk. Dasar Nara bodoh!" umpat Nara pada dirinya sendiri di dalam hati.
Akan tetapi, pikiran kotornya itu lagi-lagi membuat Nara terkena batunya. Nara yang buru-buru menuju kamarnya itu tidak memerhatikan jalan. Ia sibuk memastikan Rei untuk tidak membuka matanya.
"Kyaaaaa ..."
Sudah jelas, jika jeritan dari Nara memancing Rei untuk membuka matanya.
"Nara!! Hati-hati ..."
Nara hampir tersungkur akibat tidak memerhatikan jalan. Pada akhirnya sudah bisa dipastikan jika Rei melihat Nara dengan sangat jelas.
"Aku tidak lihat apa-apa!" ucap Rei polos pada Nara yang masih terpaku tak jauh dari pintu kamarnya itu.
"Apanya yang tidak lihat apa-apa? Bukankah sekarang kamu melihatku?" kesal Nara bersungut-sungut.
"I-iya aku melihatmu!" ucap Rei polos dengan senyuman di wajahnya.
Seketika wajah Nara memerah. Ia pun tidak menyangka adegan konyol tersebut terjadi padanya. Nara akhirnya tidak bisa berkata apa-apa lagi dan membiarkan Rei melihat dirinya yang menyedihkan itu. Hingga Nara menutup pintu kamarnya dengan perlahan.
"Aku benar-benar kena batunya!" benak Nara dengan rasa malu yang sudah tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.