“P-pacar, Arina?” ucap Alvaro kebingungan dan refleks mengangkat kedua tangannya sebagai bentuk dari kewaspadaannya akibat serangan yang Pram lakukan.
Bersamaan dengan itu, Alvaro mendapati Arina yang muncul dari belakang Pram. Bisa ia pastikan, wanita itu tak kalah bingung, tapi Arina juga buru-buru menuntun Pram untuk menepi dan segera menurunkan moncong senapannya dari d**a Alvaro.
“Dia bukan pacar kamu?” Pram terheran-heran, kebingungan sembari mengikuti tuntunan sang putri menjauhi Alvaro dan menurunkan moncong senapannya.
“B-bukan, Pah … Mas Alvaro ini petugas bank!” jelas Arina yang telah sukses menjauhkan Pram dari Alvaro. Tak lupa, ia juga memberikan kartu pengenal milik Alvaro yang telah ia simpan dan membuat pria itu datang bertandang.
Pram mengamati kartu pengenal milik Alvaro. Benar, Alvaro bekerja di sebuah bank yang tempatnya ia hafal. Jarak cabang bank tempat Alvaro bekerja, hanya sekitar setengah jam dari rumahnya jika ditempuh mengenakan motor.
“Terus, ngapain kamu ke sini? Keluarga saya, ada yang hutang ke bank?” lanjut Pram masih memelotot menatap sangar Alvaro.
Arina kembali kebingungan, tapi ia buru-buru menepis anggapan Pram. Ia berangsur mengambil kartu tanda pengenal Alvaro dari Pram dan memberikannya pada yang bersangkutan. Segera, ia menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Mengenai apa yang membuat Alvaro datang, dan bermula dari kejadian ATM milik Arina yang tertelan. Di mana yang ada, Alvaro-lah yang telah menolong Arina maupun Jio.
Kemudian, penjelasan itu dilanjutkan oleh Alvaro yang langsung memperkenalkan diri kepada Pram dengan sangat santun.
“Anda, sudah menikah? Kalau Anda memang sudah menikah atau pun akan menikah, tolong cepat hapus nomor anak saya dari ponsel Anda, agar tidak terjadi kesalahpahaman karena saya tidak mau terjadi fitnah yang membuat nama baik anak saya tercemar,” ucap Pram.
Alvaro langsung melirik Arina sebelum akhirnya kembali menatap Pram. “Saya, belum menikah, Pak. Tapi saya juga akan menikah.”
“Ya sudah, hapus nomor Arina dari ponsel Anda, sekarang juga. Saya benar-benar harus memastikannya secara langsung, agar di antara kita tidak terjadi salah paham. Agar nama baik putri saya maupun Anda, juga tidak tercoreng,” balas Pram lagi.
“Saya pastikan, saya tidak akan membiarkan itu terjadi, Pak. Dan jika itu sampai, saya akan bertanggung jawab. Bapak bisa memegang ucapan saya!” balas Alvaro yang masih menyikapi Pram dengan tenang. Meski tidak bisa ia pungkiri, apa yang Pram lakukan sukses membuatnya tegang bahkan syok.
Pram mengangguk setuju. “Ya sudah. Hapus nomor Arina sekarang juga!”
Alvaro tak berkutik seiring bibirnya yang juga seketika mengatup rapat-rapat. Dan ketika ia mengalihkan pandangannya pada Arina, wanita itu tersenyum masam sambil mengangguk sungkan kepadanya. Arina yang telah mengenakan piama panjang warna merah muda juga berangsur menunduk gelisah dan terlihat jelas merasa sangat sungkan kepadanya.
“Ya sudah, Pak. Baiklah ….” Alvaro berangsur mengeluarkan ponselnya dari saku dalam jaket hitam yang ia kenakan dan membuatnya melepas resleting bagian d**a jaket tersebut.
“Kenapa Anda begitu enggan menghapus nomor Arina, padahal Anda sudah akan menikah?” todong Pram lagi sembari mengarahkan moncong senapannya pada wajah Alvaro.
Alvaro kembali syok, sedangkan Arina buru-buru membelakangi Alvaro dan berangsur menurunkan moncong senapan milik papahnya agar tidak mengarah pada wajah Alvaro.
“Pah ... sudah lah. Jangan diperpanjang. Kami beneran enggak ada hubungan. Sudah, ya? Mas, sudah enggak apa-apa. Saya benar-benar minta maaf. Maaf banget pokoknya buat keadaan ini,” ucap Arina yang mengalihkan tatapannya kepada Alvaro sambil tetap menahan moncong senapan milik Pram.
“Tapi, Pak?” Alvaro melongok dari balik tubuh Arina seiring ia yang kembali menghadap Pram.
“Ada apa lagi?” tegas Pram masih menyikapi Alvaro dengan sangar.
Alvaro sungguh kehilangan nyali lantaran Pram terus memperlakukannya bak lawan.
Lantaran Alvaro menjadi hanya diam, Arina pun menuntun pria itu untuk keluar agar tidak terus dipermasalahkan oleh Pram. “Maaf, Mas. Bukan bermaksud mengusir, tapi daripada Mas pusing menghadapi papahku, lebih baik Mas pulang saja. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf untuk semuanya, apalagi kejadian enggak mengenakan ini. Maaf banget pokoknya. Tapi, maksud papahku baik, kok.”
Alvaro menatap santun kedua manik mata Arina. Mata besar berbulu mata lentik yang begitu indah itu terlihat jelas menampung banyak rasa sungkan sekaligus tidak nyamanan. “Iya, aku tahu. Tapi, maksud saya ke sini juga baik.”
Arina yang menyimak ucapan Alvaro dan turut menatap pria itu berangsur mengangguk-angguk. Wanita itu berangsur menakupkan ke dua tangannya di depan wajah dan lagi-lagi, hanya kata maaf yang mampu terucap dari bibir tipisnya.
“Ya sudah. Saya pulang. Tapi, saya mau permisi dulu sama papah kamu,” ujar Alvaro yang kemudian melongok dari sela pintu yang terpaksa ia tinggalkan akibat dituntun, lebih tepatnya digiring paksa untuk keluar dari rumah sederhana di hadapannya, oleh Arina.
“Pak, saya pamit. Maaf jika kedatangan saya telah membuat keributan,” ucap Alvaro yang sampai menakupkan ke dua tangannya di depan wajah sebagai permintaan maafnya, layaknya apa yang tadi Arina lakukan kepadanya. Dan lantaran dari balik Pram juga turut disertai wanita paruh baya yang rupanya mirip Arina, ia juga melakuka hal yang sama kepada wanita itu, meski ia hanya tersenyum sopan sambil terus mengatupkan ke dua tangan di depan wajah.
Wanita paruh baya yang menyanggul rambutnya bak orang ‘dulu’ dan sampai mengenakan kacamata min, datang bersama Jio. Wanita itu dan tidak lain Marwa, tersenyum sopan sembari mengatupkan ke dua tangannya kepada Alvaro. Tak lupa, Alvaro juga tersenyum kepada Jio yang tampak bingung dengan keadaan sekarang.
“Tapi, Pak. Maaf. Jika saya ada niat baik untuk lebih dekat dengan Arina, boleh? Karena meski saya akan menikah, tapi saya juga belum menemukan calon yang pas. Sedangkan melihat Arina, saya seperti melihat masa depan,” lanjut Alvaro yang bertutur sesopan mungkin.
Hening. Tak ada jawaban yang langsung menimpali layaknya ucapan-ucapan sebelumnya. Baik Pram, apalagi Arina langsung bungkam kebingungan. Terlebih bagi Arina yang seketika sampai gemetaran.
“Kok jadi gini?” batin Arina yang tiba-tiba saja justru teringat kejadian ketika Zack mengungkapkan perasaannya, kepadanya, sewaktu mereka SMA. Kejadian yang selalu membuat Arina larut dalam kesedihan, dan biasanya hanya akan terjadi ketika hujan turun. Masalahnya, kenapa kejadian itu justru mendadak terputar tak lama setelah permintaan tulus yang Alvaro lakukan? Bahkan karena kenyataan tersebut pula, Arina memutuskan undur tanpa sepatah kata pun. Arina memilih melangkah cukup membungkuk ketika melewati kebersaman seiring kedua matanya yang berembun. Beruntung, air matanya yang langsung tak terkendali rebas setelah ia meninggalkan kebersamaan.
Arina segera memasuki kamarnya dan sampai mengunci diri di dalam sana.
****
“Sudah lah, Rin … lima tahun. Lima tahun sudah berlalu, tapi kamu masih saja mengingat kejadian itu.”
“Lagi pula … lagi pula mana mungkin Zack masih mengingatmu, sedangkan kamu tahu, dalam waktu yang sama pun, Zack bisa mengungkapkan perasaannya kepada banyak wanita?”
“Sudah lah … lupakan semua itu. Lupakan semuanya!”
Arina yang duduk di bibir tempat tidurnya menjadi mengamati cermin rias di dalam kamarnya dan kebetulan ada di depan sana. Di mana dengan sendirinya, langkah kecil membuat Arina berdiri di depan cermin. Arina mematut diri seiring bayang-bayang masa lalunya yang seolah-olah keluar dari tubuhnya hingga Arina yang dulu dan sekarang, menjadi bertatap muka bahkan berhadapan. Bedanya, ketika Arina yang sekarang tampak dipenuhi keanggunan justru menjadi semakin berlinang air mata meratapi penampilannya yang dulu, tidak dengan bayang-bayang masa lalunya yang tampak sangat ceria, meski jika dilihat dari fisik, sosok tersebut sangat kontras dari Arina yang sekarang. Bahkan, sosok berambut pendek dan berpenampilan sangat tomboy itu sampai berusaha menghapus air mata Arina yang sekarang.
“Arina, … meski penampilan selalu menjadi tolok ukur pertama seseorang, tapi apa gunanya sebuah penampilan jika hatimu dipenuhi penyakit hati seperti mereka-mereka yang selalu menghakimi penampilanmu dengan keji? Ayo lah. Kamu enggak seharusnya menutup kebahagiaan sendiri hanya karena trauma di masa lalu. Apalagi karena kejadian itu juga, kamu menjadi berani bertransformasi menjadi Arina yang sekarang?”
Arina mencoba keluar dari keterpurukan. Ia sungguh berusaha menyeka air matanya sendiri seiring bayang-bayang sosok masa lalunya yang beranjak menghilang dan terus memberikan senyum terbaik kepadanya. Boleh dibilang, Arina yang terus memandangi sosok tersebut memang sudah lupa, kapan terakhir kali ia bisa tersenyum seceria itu? Bahkan meski ia yang dulu hanya mengenakan seragam putih abu-abu dan membiarkan rambut pendeknya membingkai penampilannya yang apa adanya, ia yang dulu merupakan gadis pemberani yang sangat ceria. Berbeda dengan sekarang yang untuk mematut diri di depan cermin saja, enggan melakukannya lama-lama.
“Sebelum Zack kembali mengungkapkan isi hatinya, di mana Zack justru memintaku untuk menjadi pacar pura-puranya! Semuanya bermula dari itu. Jahat! Zack memang jahat!” Kembali, air mata yang sempat Arina hapus, menjadi berlinang tanpa bisa Arina kendalikan. Di mana bersamaan dengan itu, kedua tangan Arina juga mengepal kencang.
Zack … pemuda itu. Pemuda itulah penyebab semua luka yang menghantui Arina. Bahkan karena pemuda itu juga, Arina sampai trauma untuk melihat penampilannya sendiri. Bahkan semenjak itu juga, Arina menjadi menutup diri dan membatasi pergaulannya khususnya pergaulannya dengan lawan jenis. Di mana karena kejadian itu juga, Arina menjadi terbiasa hidup sendiri tanpa sedikit pun berpikir untuk mengenal apa itu cinta, di tengah usianya yang tentunya tak akan selalu muda.
Lima tahun. Kejadian itu sudah berlalu dari lima tahun lalu, sedangkan semenjak kejadian itu juga, Arina ikut hijrah ke Surabaya. Pun meski dua bulan terakhir, Arina sudah kembali lagi ke Jakarta lantaran Pram sudah pensiun dengan dinas negaranya.
“Lima tahun. Lima tahun sudah berlalu, Rin. Dan mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu terus-menerus menghukum dirimu sendiri?” hati kecil Arina bertanya dan menuntut kepastian di tengah kenyataan Arina yang menjadi menatap serius pantulan bayangan dirinya di cermin rias.
Bersambung ....