Satu minggu kemudian, Arina tak kuasa menahan air mata bahagianya. Rasa haru membuncah menyelimuti kehidupannya, sebab sesuai janji Alvaro, pria itu sungguh datang bersama keluarganya. Alvaro datang melamar dan ‘meminta’ Arina secara resmi. Alvaro juga menawarkan pesta untuk acara pertunangan. Sampai-sampai, Arina yang diam-diam menyimak dari balik pintu ruang keluarga selaku ruang pertemuan keluarganya dengan keluarga Alvaro, buru-buru masuk kamar.
Arina mengunci diri dan kembali mematut dirinya di cermin rias. Ia mendapati pantulan dirinya yang terlihat begitu cantik mengenakan kebaya sabrina lengan panjang yang warnanya nyaris menyerupai kulitnya. Dengan sanggulan sederhana berikut rias tipis yang menyelimuti, Arina tampak sangat anggun tak ubahnya Tuan Putri dari keraton kerajaan Jawa. Arina sampai terpesona pada dirinya sendiri. Wanita itu tak percaya jika dirinya bisa secantik sekarang.
“Selamat, Rin! Selangkah lagi!” ucap Arina pada dirinya. Arina menyemangati dirinya sendiri. Di antara air mata yang masih berlinang, Arina tersipu dan berangsur menyeka air matanya menggunakan tisu yang ia ambil dari meja rias. Ia menyeka air matanya dengan hati-hati. Tak lupa, ia juga segera merapikan riasnya, sebuah kebiasaan yang awalnya tidak bisa ia lakukan, dan kini sudah menjadi rutinitasnya.
Bertepatan dengan suara Anita Arini Subekti--mamah Jio yang terdengar dari depan pintu dan meminta Arina untuk keluar, Arina yang baru selesai memperbaiki riasannya, menjadi gugup dan berdebar-debar. Sungguh, Arina sampai gemetaran saking gugupnya.
“Cepetan! Atau jangan-jangan, kamu malah lagi molor, ya? Woy … hari ini kamu lagi dilamar!” semprot Anita dari luar.
Arina hanya tersipu karenanya. Apalagi, untuk urusan marah-marah memang sudah menjadi keahlian Anita.
Tanpa menjawab dan memang sengaja agar Anita semakin sibuk mengomel, Arina beranjak dari duduknya. Ia yang kali ini mengenakan setelan kebaya berikut jarit berwarna putih keemasan, kembali mematut dirinya untuk terakhir kalinya, sebelum ia menemui Alvaro sekeluarga. Arina ingin tampil maksimal dan menorehkan kesan terbaik untuk pertemuan kali ini.
Tepat ketika Arina akan berlalu, sebuah telepon masuk dari Tito, mengalihkan fokus Arina. Arina menatap heran layar ponselnya yang masih menyala dan menampilkan kontak penelepon dan boleh dibilang sangat jarang menghubunginya kecuali untuk urusan yang sangat penting.
“Angkat, enggak, sih? Tapi aku harus segera ke depan biar Mas Al enggak semakin nunggu?” Arina sampai menggigit kuat bibir bawahnya yang dihiasi gincu merah menyala.
Meski tidak menjawab telepon tersebut, tapi Arina sengaja menekan tombol tolak yang membuatnya bisa mengirim pesan darurat otomatis. Arina berniat akan menghubungi balik Tito yang tak lain merupakan sahabat baik dari Windy sahabatnya yang juga rekan satu profesinya. Bahkan berkat bantuan Windy yang bekerja di ‘Start Gold Vision’ selaku PH yang mengontrak karya Arina menjadi sebuah film, Arina bisa merambah ke dunia perfilman melalui karya tulisnya.
****
Semakin dekat dengan ruang keluarga, jantung Arina semakin berisik. d**a Arina bergemuruh terlepas dari Arina yang mendadak kebelet pipis bahkan mules.
“Ya ampun, kok setegang ini, sih?” Sudah berulang kali Arina menghela napas pelan, demi meredam kekacauan yang justru meminta menjadi kawan. “Ayolah … malam ini saja. Aku mau acaranya santai. Aku ingin tampil semaksimal mungkin!” batin Arina.
Anita yang memiliki tubuh lebih pendek sekaligus berisi dari Arina, dan kebetulan sampai menggandeng Arina, langsung mendengkus. “Rin … kok bau busuk? Kamu, kentut, ya?”
Arina langsung menoleh dan tersenyum tak berdosa pada sang kakak. “Sabar, Mbak! Ini efek tegang. Perutku sampai mules banget. Dan aku pengin ke belakang. Berhenti dulu … berhenti dulu!”
“Ya Alloh, bocah ini!” Anita sengaja menjauhi Arina sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangannya di depan hidung. “Ya Alloh … cantik-cantik, kentutmu busuk banget, Rin! Sampai mau muntah gini! Uuuwe!”
Arina melirik tak berdosa pada sang Kakak yang ada di belakangnya di mana mereka berjarak sekitar dua meter. “Memangnya di dunia ada, kentut wangi, Mbak? Mbak ini!” gerutunya.
Anita merengut sebal kepada adiknya yang untungnya malam ini terlihat sangat cantik. Dan andai Arina tidak secantik sekarang, sudah ia pastikan, ia akan menoyor kepala gadis itu layaknya biasa. “Ya sudah. Sekarang, kamu berani enggak kentut begitu di depan Al sekeluarga?” tantangnya.
Arina langsung murung sekaligus bersedih. “Yang ada, aku gagal lamaran lha, Mbak, gara-gara kentut!”
Setelah drama kentut itu berlalu, akhirnya Arina kembali dituntun Anita untuk menemui Alvaro sekeluarga. Ada beberapa bingkisan berupa parsel buah, aneka makanan, termasuk seperangkat pakaian berikut aksesorinya dan tentunya untuk Arina. Bahkan saking banyaknya, sebagiannya sampai ditaruh di lantai. Hanya pakaian berikut aksesori dan pastinya perhiasan berupa cincin pengikat berikut sebuah amplop saja yang diletakan di meja, selain suguhan dari keluarga Arina untuk ke lima keluarga yang menyertai kedatangan Alvaro, dan semuanya laki-laki paruh baya.
Rombongan Alvaro kompak mengenakan batik, sedangkan batik yang Alvaro kenakan selaras dengan kebaya Arina. Sebab setelah meminta izin di malamnya setelah mereka merayakan ulang tahun sekaligus hari jadi hubungan mereka, lusanya mereka langsung mengunjungi beberapa butik sekaligus pusat perbelanjaan, hingga pilihan mereka jatuh pada pakaian yang sekarang mereka kenakan berikut aksesorinya.
Sepanjang Arina melangkah dan cenderung menunduk terlepas dari Arina yang kerap menggigit bibir bawahnya, gadis itu juga menyadari jika pria yang baru saja melamarnya terus saja memperhatikannya. Bahkan karena kesibukan Alvaro yang terus memperhatikan Arina, rombongan Alvaro dan merupakan paman sekaligus om Alvaro, menjadi sibuk menggoda Alvaro, hingga pria berwibawa itu menjadi tersipu. Sungguh, Alvaro terpesona dengan kecantikan Arina yang begitu sempurna lengkap dengan kesemampaian tubuh Arina dan Alvaro yakini telah banyak membuat wanita yang melihatnya iri. Tak ada hal lain selain pujian sekaligus rasa kagum yang juga turut diliputi rasa syukur, lantaran Tuhan akan menyandingkan mereka di pelaminan. Selangkah lagi, semuanya akan mereka rasakan.
Beruntung, acara lamaran sungguh lancar tanpa kendali. Meski hingga detik ini, jantung Arina tak hentinya berdetak kencang sebab sepasang mata pria pilihannya juga terus saja memandanginya. Dan setelah acara lamaran selesai, setelah Arina juga bersedia menerima lamaran Alvaro, acara dilanjutkan dengan acara makan-makan. Rombongan Alvaro dituntun untuk memasuki ruang makan yang telah disulap menjadi lebih luas dengan meja berikut kursi yang berbeda dari biasanya. Karena demi memberikan kesan terbaik, Pram sengaja menyewa meja dan kursi berikut dekorasi sederhana yang menghiasi ruang makan di sana, termasuk beberapa barang yang sengaja disisihkan agar keadaan ruang sederhana di saja menjadi lebih luas. Sedangkan untuk hidangan yang tersaji memenuhi meja merupakan racikan tangan Marwah yang dibantu Anita. Tentunya, mengenai rasa tidak diragukan lantaran ke dua wanita ayu itu sangat pandai memasak.
Alvaro yang menyadari kehadiran Arina tepat di belakangnya, menjadi tersipu seiring ia yang sengaja melirik tunangannya itu. “Mentang-mentang malam ini cantik banget, kamu sengaja enggak mau kenal aku, ya?” sindirnya.
Arina langsung kebingungan sekaligus tersipu sebelum tangan kanannya mencubit pinggang tunangannya. “Apaan, sih, Mas?” lirihnya tak lama setelah Alvaro menyeringai menahan sakit akibat cubitannya. Arina menggandeng sebelah pergelangan Alvaro menggunakan ke dua tangannya. Sedangkan yang bersangkutan masih terkikik dan tak kuasa menahan kebahagiaannya.
“Sumpah, malam ini kamu cantik banget!” puji Alvaro lirih dan memang sengaja berjaga dari kebersamaan. Ia bahkan tetap memandangi sekitar dan akan berkomunikasi dengan rombongan keluarganya yang langsung akrab dengan Pram.
“Ini belum apa-apa, lho, Mas!” balas Arina sengaja bergurau dan sukses membuat Alvaro sibuk mengendalikan tawanya.
Alvaro menatap Arina dengan senyum tertahan, sedangkan Arina yang masih menggandeng tangan Alvaro dan sampai menahan senyumnya, juga berangsur memberanikan diri untuk menatap Alvaro. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Alvaro yang sempat mengangguk justru berangsur mengakhiri tatapan mereka.
“Nanti saja?” lirih Alvaro.
“Memangnya, kalau sekarang, kenapa?” lirih Arina penasaran. Ia menengadah dan membuatnya mengamati Alvaro.
“Takutnya kamu malu,” tukas Alvaro.
“Memangnya, Mas mau ngapain? Enggak, ah, aku enggak malu!” balas Arina makin penasaran sekaligus meyakinkan. Ia sampai mengeratkan genggaman tangannya terhadap Alvaro.
Alvaro langsung menatap Arina tak percaya. “Serius, aku boleh nyium kamu di hadapan mereka?” lirihnya. Ia dapati, Arina yang langsung syok bahkan menggeragap. Di mana, pipi putih Arina yang hanya terpoles rias tipis juga sampai ia dapati bersemu. “Nah, kan?” Kembali, Alvaro yang masih berbincang lirih, menertawakan ekspresi Arina yang baginya sangat lucu sekaligus menggemaskan.
Arina yang sempat terdiam bersama detak jantungnya yang semakin kacau efek dari ucapan Alvaro yang langsung membuatnya tak berkutik, kembali mengamati Alvaro. Dalam pengamatannya tersebut, diam-diam Arina mengagumi ketampanan Alvaro yang menjadi berkali lipat dari biasanya, hanya karena pria itu mengenakan kemeja lengan panjang batik.
Kemudian, lantaran yang lain berangsur duduk, Alvaro juga menarikkan kursi untuk Arina dan membantu calon istrinya itu untuk duduk layaknya biasa. Sedangkan Alvaro sengaja duduk di sebelah Arina yang bersebelahan dengan Pram. Terlepas dari semuanya, keluarga besar Arina hanya berisi orang tua, juga Anita dan Dito suaminya. Alvaro sudah cukup mengenal orang tua Jio itu dengan baik, apalagi dalam beberapa kebersamaan, mereka juga kerap menghabiskan waktu bersama.
Keluarga Alvaro tampak sangat menikmati hidangan makan malam yang memenuhi meja panjang kebersamaan mereka. Nasi liwet buatan Marwa berikut ayam dan bebek bakar maupun yang digoreng memang paling juara. Apalagi ditambah aneka sambal yang Marwa racik tak kalah istimewa berikut rebusan sayur berikut lalapan segar. Tanpa terkecuali, lauk-pauk pelengkap seperti tahu dan tempe goreng, juga peyek kacang dan udang. Semuanya mendapat pujian yang sempurna. Bahkan mereka berkilah, andai makan di hamparan daun, pasti seperti sedang menikmati sajian di surga.
“Kamu pinter cari istri, Al. Sudah cantik, pinter masak lagi!” puji Om Alvaro yang kebetulan duduk di sebelah Alvaro.
Arina sekeluarga termasuk Alvaro kompak diam dan refleks melirik Arina.
Sambil melongok om Alvaro, Arina berkata, “aku belum bisa masak, Om! Ini semua masakan mamah sama kak Nita,” sesalnya.
Pria yang cukup memiliki garis wajah sama dengan Alvaro tersebut kebingungan. “Masakan mamah sama kakakmu saja enak, kamu pasti bisa lebih enak, lah, Rin!” pujinya kemudian dan langsung membuat ke empat pria yang menjadi rombongannya dan Alvaro, bersorak setuju.
Arina tersenyum getir sambil mengangguk. Memasak, salah satu hal yang sangat sulit ia takhlukkan, tapi sepertinya, dalam waktu dekat, Arina harus lebih getol untuk belajar.
“Enggak usah dipikirin,” bisik Alvaro tepat di sebelah telinga sambil mengunyah pelan makanan di dalam mulutnya. Bisa Alvaro pastikan, pembahasan mengenai memasak langsung membuat Arina tertekan. Bahkan kini saja, raut bahagia seolah sirna dari wajah cantik calon istrinya.
Meski sempat terdiam, Arina berangsur menatap Alvaro. “Aku mau belajar masak, Mas!” bisiknya yakin seiring senyum ceria yang kembali menyelimuti wajahnya.
Alvaro yang sempat tak percaya, menanggapi kesungguhan Arina dengan senyuman penuh cinta. “Pelan-pelan saja,” bisiknya.
Arina dan Alvaro telanjur larut dengan obrolan mereka tanpa terusik oleh kehebohan keluarga mereka yang membahas banyak hal. Sebab, kebersamaan sekarang memang langsung membuat keluarga mereka akrab. Mereka tak ubahnya keluarga dekat yang baru bisa bertemu karena berbagai kesibukan berikut jarak yang telah memisahkan.
Bersambung ….