Suara gemericik air yang mengalir menerpa wajah dan tubuh Valencia, ia mengusap dengan lembut gelembung-gelembung sabun keseluruh tubuhnya. Sambil bersenandung mengikuti lirik lagu yang diputar melalui ponselnya. Bernyanyi mengikuti lagu yang dinyanyikan Lewis Capaldi.
So before you go, was there something I could've said to make your heart beat better?
Tak lama ia selesai bersenandung, selesai juga mandinya. Valencia masih santai menjalani hari-harinya seperti biasanya, ia akan berangkat kuliah. Valencia seorang mahasiswi di Monarch University semester akhir dan lagi menyusun skripsinya, sebentar lagi akan wisuda.
Valencia memoleskan bedak tipis keluaran merk MAC di wajahnya dan memulaskan lipstik berwarna peach di bibirnya agar tidak terlihat pucat. Ia tak perlu terlalu banyak memoles berbagai macam make up. Wajahnya memang sangat cantik sehingga mampu membuat banyak mata pria memandangnya.
Walau Valencia sudah berusia 23 tahun, tapi sampai sekarang ia belum memiliki kekasih berbeda dengan Regina sahabatnya sering berganti-ganti kekasih. Ia memikirkan Regina yang sekarang entah berada di mana, ada perasaan khawatir bergelayut di hatinya.
"Regina ke mana ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Valencia mengambil ponselnya mencoba menghubungi Regina, tapi hanya suara operator seluler yang menjawabnya pertanda ponsel Regina tidak aktif. Berkali-kali ia mencoba menghubungi dan hasilnya juga sama tidak aktif.
"Mungkin Regina lagi ada masalah kali ya atau lagi pergi sama pacarnya."
Valencia mengendari mobil sedan kesayangannya yang berwarna merah dengan santai. Ia memutar lagu dari mp3 sounds system terdengar lagu savage is love dan ia ikut melantunkan lirik lagu tersebut dengan tanpa beban.
Setelah 30 menit ia berkonsultasi dengan dosen pebimbingnya tak sengaja bertemu Ansell Indra Wijaya, kakak angkatan yang juga baru selesai konsultasi dengan dosen pebimbing yang lain.
"Hai Val," sapa Ansell.
"Hai Ansell," balas Valencia.
"Kamu sebentar lagi lulus ya?"
"Iya Sell."
"Gimana kalau kita makan siang sambil berbincang-bincang."
"Hmm boleh."
Valencia dan Ansell berada di kantin kampus, mereka saling bercanda. Valencia merasa nyaman berbicara dengan Ansell.
"Kenapa kamu baru konsultasi sekarang?" tanya Valencia.
"Aku ga sama kaya kamu mahasiswi rajin, aku itu bolak-balik ke Jakarta—Sidney ngurus perusahaan keluargaku," jawab Ansell.
"Wah kamu hebat juga yaa Sell masih kuliah dan kerja."
"Bukan hebat, tapi terpaksa juga, hahaha. Papa ku sudah tua, aku anak tertua dengan tiga bersaudara. Jadi aku yang nantinya meneruskan bisnis keluarga."
"Berarti kamu CEO di perusahaanmu sendiri?"
"Iya dong, tapi sayangnya aku ini calon CEO single."
"Masa kamu belum punya pacar?"
"Belum gadis yang aku tunggu itu ga peka-peka loh padahal sering ketemu."
"Siapa? Aku jadi penasaran."
"Dia cantik, anak desain interior, ramah, pintar, dan dia sudah aku suka dari dulu."
"Anak desain interior? Angkatan berapa?"
"Seangkatan dengan kamu."
"Trus ciri-cirinya selain yang kamu sebutkan tadi apa aja?"
"Ciri-cirinya yang paling mudah itu dia sekarang ada dihadapanku."
Valencia terdiam. Dihadapan Ansell hanya ada dirinya, berarti yang pria ini sukai adalah dirinya.
"Maksud kamu, aku?"
"Iya Val. Aku menyukaimu dari awal kita bertemu saat kamu masih jadi mahasiswi baru di kampus. Saat kita dekat aku ragu menyampaikan perasaannku, apalagi kamu begitu terkenal di kalangan mahasiswa yang lainnya, tapi sekarang aku ga bisa menutupi lagi perasaanku. Kita sudah mau lulus, aku ga mau kehilangan kesempatan ini."
Valencia melihat Ansell dengan tak percaya. Ia sama sekali tak menduga pria asal Indonesia ini menyukainya.
"Valencia, maukah kamu menjadi kekasihku. Aku berjanji akan menjagamu dan selalu setia padamu."
"A–aku bingung Sell. Aku tak pernah menyangka kamu menyukaiku."
"Kamu boleh memikirkan dulu jawabanmu, ga harus buru-buru kok. Tapi, hanya sampai dua bulan kamu memikirkan jawabannya. Masih ada waktu selama 2 bulan kamu memutuskan menerima cintaku atau menolaknya."
"Kenapa sampai dua bulan?"
"Aku besok kembali ke Jakarta dan dua bulan lagi aku akan kembali untuk wisuda. Kamu juga wisuda barengan sama kau, 'kan?"
"Iya sih."
"Jadi jangan mati ponselmu, aku akan tetap menghubungi kamu untuk menanyakan kabar atau apapun tentang kamu. Yakinlah Val, aku benar-benar tulus dengan perasaanku ke kamu."
"Aku akan memikirkannya Ansell."
"Baiklah kamu pikirkan baik-baik ya, jika kamu menolakku katakan saja jangan ragu. Aku tidak ingin persahabatan kita rusak hanya karena kamu menolakku, aku akan mengerti hal tersebut, dan kamu akan selalu ada di hatiku."
"Terima kasih Ansell."
Valencia makan siang dengan Ansell menjadi canggung. Ansell menyadari hal tersebut dan ia merasa tak enak sendiri.
"Jangan canggung gitu dong, nanti cantiknya hilang," ujar Ansell mencoba mencair suasana canggung mereka.
"Eh, iya."
"Kalau nanti kamu sudah wisuda apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku berencana mencari pekerjaan di Alaskar Company. Mereka perusahaan properti mungkin membutuhkan seorang desain interior untuk perusahaan mereka."
"Ooh begitu. Kamu tahu ga perusahaan ku juga di bidang properti loh di Indonesia, jika kamu berminat bisa bekerja di perusahaanku, tapi kamu harus ke Indonesia."
"Terima kasih Ansell, kamu baik sekali. Akan aku pikirkan tawaran mu karena jauh juga di Indonesia."
"Deket kok Indonesia—Australia."
Ansell membicarakan tentang keanekaragamanan Indonesia, berbagai macam pulau dan pantai yang indah. Valencia mengetahui Bali, ia memang ingin sekali ke Bali bila saatnya tepat. Mereka terus berbicara sambil bercanda, kecanggungan yang tadi sudah tak ada lagi diantara mereka berdua. Walau sudah berbicara dengan tak canggung lagi, tapi Valencia merasa tak enak pada Ansell. Untuk sekarang ia memang belum bisa menerima cinta pria yang selalu baik padanya, tapi untuk esok hari ia belum bisa memutuskannya.
Setelah makan siang Valencia bersama dengan Ansell, ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Baru saja ia tiba terdengar suara bel berbunyi di pintu apartemennya. Ia berpikir mungkin saja Regina kembali dengan cepat membukakan pintu, tapi ternyata bukan sahabatnya yang berada di sana melainkan dua orang pria yang memakai jaket kulit berwarna hitam dan dua orang pria memakai baju polisi berwarna biru muda dengan rompi berwarna navy dan celana panjang juga yang berwarna navy yang lengkap dengan topi juga senjata api di saku sebelah kanannya.
"Selamat sore, apakah benar ini unit apartemen 201 dengan pemilik nona Jesslyn Valencia Agatha?" ujar salah satu pria dengan suara tegas yang memakai jaket kulit hitam.
"Iya," jawab Valencia bingung.
"Bisa kami masuk dan berbicara dengan nona Agatha?"
"Ooh silahkan," ujar Valencia bingung dan mempersilahkan 5 orang pria tersebut masuk ke dalam apartemennya.
"Ada apa ya Pak?"
"Apa benar mobil sedan merah dengan plat CD 778 ?"
"Iya itu mobil saya."
Saya sersan Gustav dari kepolisian Federal Australia dan ini surat tugas saya," ujar sersan Gustav memberikan surat tugasnya pada Valencia.
Valencia mengambil surat tugas tersebut dan membaca nama-nama pria berserta pangkat mereka masing-masing yang tertera di sana.
"Iya Pak lalu ada apa ya?"
"Dengan kebijakan hukum melaksanakan tugas untuk menangkap nona Agatha atas dugaan pelaku tabrak lari pada hari sabtu di jalan Richmond Road yang menyebabkan Angela Davina Alaskar meninggal dunia dan ini surat penangkapannya," ujar sersan Gustav menyerahkan surat penangkapan pada Valencia.
Valencia membulatkan matanya, ia sangat terkejut mendengar perkataan sersan Gustav. Tangannya bergetar saat menerima surat penangkapan tersebut.
"A–aku me–nabrak orang?" ujar Valencia tergagap dengan wajahnya pucat pasih, matanya menerawang kepalanya terasa pusing mendadak, dunia seakan berputar, ia terduduk lemas di sofa ruang tamu apartemennya.
"Nona Agatha, Anda berhak diam dan apa pun yang Anda katakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Anda juga bisa menjadi mendapatkan bantuan hukum dan didampingi oleh pengacara."
Valencia seakan tak dapat mendengar setiap perkataan pria yang ada di hadapannya, ia melihat pria tersebut komat-kamit mengucapkan tentang hak-haknya sebagai dugaan tersangka tabrak lari yang ia sendiri pun tak mengerti. Tak lama kemudian ia merasakan tubuhnya seakan melayang, ia lemas dan tak sadarkan diri di sofa berwarna cream tersebut.
Kelima orang polisi sangat kaget melihat kondisi Valencia, mereka segera membawa ke klinik terdekat. Dengan penjagaan ketat Valencia diperiksa oleh dokter yang berjaga di sana, tak lama kemudia Valencia sadarkan diri. Sersan Gustav melihatnya dengan tatapan berbeda. Valencia tiba-tiba mengeluarkan air matanya dan menangis.
"Aku tidak menabrak siapapun sersan Gustav, aku tidak melakukan itu," ujar Valencia dengan air mata mengalir di wajahnya.
"Maaf, nona Agatha bukti mengatakan sebaliknya. Di depan mobil Anda pun ada bekas bercak darah dan sedang dilakukan tes forensik untuk menganalisa darah siapa yang berada di sana."
"Aku tidak melakukannya dan apakah aku akan di hukum berat?"
"Nona sebaiknya ada tidak berkata apapun sampai Anda di dampingi oleh pengacara Anda."
"Apakah aku akan dibawa ke penjara?"
"Pengadilanlah yang menentukan hal tersebut nona Agatha."
Valencia tak sanggup berkata-kata lagi, setelah memastikan keadaannya sudah pulih. Pihak kepolisian federal Australia membawanya ke kantor polisi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.