Menerima Bantuan

1677 Kata
Leo mengerti ketika Ara tampak ragu menerima uluran tangannya. Wajar saja, hanya dia yang mengenali Ara selama ini. Tidak dengan perempuan itu yang pastinya berpikir untuk menerima bantuan dari orang yang baru dikenalnya. Leo menarik kembali uluran tangannya. "Saya Leo Adicandra." Leo mengeluarkan kartu namanya dari dalam dompet. "Saya bukan orang jahat, kok. Jangan khawatir, saya hanya berniat membantumu karena merasa bersalah." Saat hendak menjawab ucapan lelaki di depannya, ponsel Ara berdering. Ada telepon masuk dari manajernya, Beni. "Lo masih di unit laki lo, Ra?" "Kenapa?" "Jangan keluar dulu dari sana. Di depan lobi sana, ada banyak wartawan karena ada artis yang tinggal di sana lagi dikejar-kejar juga." Ara tidak tahu bahwa ada banyak wartawan karena dirinya langsung turun ke lantai basement. “Gue pakai mobil.” “Di pintu keluar masuk parkiran, lo pikir nggak ada wartawan yang ngintai? Walau akses ke dalam sana susah dimasukin, yakin mereka akan ada di mana-mana. Mereka kan ngenalin banget mobil lo. Dah diem dulu di unit Arash, tahan-tahan dikit walau laki lo itu ngeselin.” Ara mengedarkan pandangan ke arah sekitar, lalu mengambil topi dari tangan Leo. “Saya pinjam.” Ara segera memakai topi tersebut. Leo mengangguk paham. Akhirnya Ara menerima bantuan Leo menuju unit apartemen lelaki itu. Ara kesulitan berjalan dan juga tidak ingin bertemu wartawan saat ini. Ara tak punya cara lain. Namun, orang yang baru dikenalnya saat ini, terlihat seperti orang baik-baik. Kembali ke unit Arash sepertinya tidak mungkin, hubungan mereka berdua sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Maaf, boleh pinjam jaket anda juga?” Ara menunjuk jaket yang sedang berada di tangan Leo. “Boleh… boleh.” “Ada masker?” “Di mobil saya, tapi dekat di sana.” Leo menunjuk mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mereka berdiri. “Mau menunggu sebentar?” “Oke.” Ara tidak khawatir akan bertemu dengan Arash jika ikut dengan lelaki itu. Suaminya itu berada di lantai 5 di tower ini. Lagi pula, sebelum keluar tadi, Ara mendengar bunyi ponsel Arash berdering. Dan Ara sekilas mendengar Arash menyebut nama Syafa sebelum dirinya beranjak pergi dari sana. Beberapa kali seperti itu, Syafa menelepon bahkan pada hari libur atau malam hari. Dan panggilan telepon itu bisa berlangsung lama. Ara ingat pada suatu saat Syafa menelepon dan Arash sedang makan malam bersamanya kala itu. Tentunya makan malam di tempat yang private sekali—agar tak siapa pun mengetahuinya. "Arabella?" Ara tersentak ketika lelaki yang berada di dekatnya itu kembali bersuara dengan tangan terulur kepadanya. Ara pun menyambut uluran tangan tersebut. Lelaki itu membantunya berdiri, hingga menuntunnya menuju ke arah lift. Jangan ditanya, detak jantung Leo berdebar begitu cepat saat menuntun Ara. Tidak menuntun sepenuhnya juga, dia hanya meminta Ara untu berpegangan kencang pada lengannya dan mereka berjalan pelan. Otomatis, Ara tidak akan merasakan debaran jantung Leo yang saat ini berpacu dengan cepat. Ketika tiba di apartemennya, Leo menyanggah pintu unitnya itu dengan sepasang sepatunya yang berukuran besar sesuai dengan ucapannya tadi. Dia benar-benar membuktikan ucapannya tadi—ingin membuat Ara merasa lebih tenang. "Duduk di sini dulu sebentar, saya mau telepon dokter langganan keluarga saya," ucap Leo meminta Ara untuk duduk di sofa, sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Setelah menelepon dokter, Leo ke arah pantry untuk mengambil minum untuk Ara. Leo tersenyum sembari mengambil beberapa minuman kaleng dan air mineral dari dalam kulkas. Tak disangka olehnya, jika seseorang yang disukainya dari dulu bisa ada di dalam apartemennya saat ini. "Saya nggak tahu kamu sukanya apa, tapi adanya ini di kulkas," ujar Leo meletakkan air mineral botol dingin, minuman soda, kopi botol dan lainnya di atas meja. "Atau kamu mau air mineral, teh atau kopi yang enggak dingin?" "Enggak usah, terima kasih. Ini aja, enggak usah repot-repot." "Oke." Leo mengusap tengkuknya. "Umm... saya mau mandi sebentar, ya? Paling dokternya datang dalam waktu 45 menitan. Apa kamu keberatan menunggu? Kalau iya, saya akan coba cari dokter yang lain yang bisa datang ke sini lebih cepat." Ara terdiam. “Tenang aja. Saya bisa jamin dokternya bisa jaga privasi,” ujar Leo seolah mengerti akan keterdiaman Hara. Walau baru kenal, dari cara berbicara lelaki itu dan bagaimana lelaki itu yang membuka sedikit pintu unit apartemennya, Ara semakin yakin kalau dia merupakan orang yang baik. Dan Ara yang sekilas tadi melirik kartu nama lelaki itu, di mana Ara bisa mengetahui kalau dia sekarang berada di unit apartemen salah satu direksi perusahaan e-commerce yang cukup ternama. Lima belas menit kemudian, Leo keluar dari kamar menggunakan celana khaki selutut dengan baju kaos berwarna hitam. Lelaki itu tampak lebih segar dan kadar ketampanannya bertambah dengan rambutnya yang masih agak basah. Ara terpesona sesaat, kemudian menggelengkan kepala. Ara telah banyak menemui banyak lelaki tampan termasuk lawan mainnya dalam sebuah film atau serial, namun tak seorang pun yang menarik perhatiannya sejak mengenal sosok Arash. Sampai detik ini, hanya suaminya seorang yang Ara lirik dan cintai tentunya. Leo duduk di sofa yang posisinya agak berjauhan dari Ara, kemudian dia meraih remot dan menyalakan TV. Ingin mengajak Ara berbicara, namun dia bingung. Ara tampak sibuk dengan ponselnya di tangannya, walau barusan sempat menoleh ketika dirinya baru saja keluar dari kamar. Sesekali, Leo mencuri pandang ke arah perempuan berparas cantik itu. Leo baru tahu, jika Ara sangat cantik ketika dilihat langsung. Setelah beberapa tahun, Leo baru melihatnya lagi hari ini secara langsung. Ara yang malam ini yang hanya menggunakan lipstick bibirnya tanpa polesan make up lainnya, tampak cantik alami. Mereka berdua saling diam, hingga setengah jam kemudian dokter yang dihubungin Leo tadi datang. "Gimana, Dok?" tanya Leo cemas melihat Ara yang meringis ketika kakiknya diperiksa oleh sang dokter. "Nggak apa-apa. Terkilirnya nggak begitu parah, tapi dia memang agak nyeri." Dokter langganan Leo tersebut beralih kepada Ara. "Jangan diurut, ya? Ini saya kasih perban aja buat sementara. Nanti setelah ini kalau kamu nggak betah, bisa kompress pakai air dingin selama 15 sampai 20 menit." "Kalau berbaring, angkat pergelangan kaki lebih tinggi dari d**a. Mengangkat kaki yang keseleo lebih tinggi dari d**a atau pinggul dapat mengurangi pembengkakan dan memar. Kamu bisa pakai bantal untuk mengganjal kaki saat berbaring di tempat tidur atau sofa." "Baik, Dok." "Untuk meredakan nyeri, kalau semisal masih nyeri, nanti bisa beli Ibuprofen atau Acetaminophen di apotik." Leo mengantar dokter tersebut sampai ke depan pintu. Lalu, kembali ke tempat Ara berada. "Mau saya antar pulang? Karena sepertinya kamu masih kesakitan." Ara menggeleng. "Saya telepon manajer saya aja. Tapi, boleh tunggu di sini sebentar?" "Boleh, enggak masalah." Nunggu lama sampai besok pun juga nggak apa-apa, Ra. "Mau saya bantu kompress pakai air dingin?" tanya Leo ragu-ragu. "Enggak usah, saya bisa melakukan sendiri nanti." Mereka berdua kembali membisu. Baik Ara mau pun Leo masing-masing sibuk dengan pemikiran mereka sendiri. Ara memilih untuk pura-pura sibuk dengan ponselnya karena bingung mau berbicara apa, Leo pun samanya. Memecah keheningan, Leo bersuara lebih dulu. "Kita belum berkenalan secara resmi. Saya Leo dan kamu... " "Sepertinya kamu udah tahu siapa saya," balas Ara terkekeh. "Kamu bisa panggil saya, Ara." "Oke, Ara." Walau sebenarnya Leo sudah tahu dari dulu nama panggilan perempuan itu. "Sorry, saya sampai lupa nanyain. Saya ajak kamu ke sini untuk diperiksa sama dokter, sedangkan kamu... apa kamu tinggal di sini juga apa bukan? Saya baru lihat kamu di kawasan apartemen ini soalnya." "Saya dari unitnya teman, di lantai 5." Tentu saja Ara berbohong, karena Arash yang masih tidak ingin siapa pun tahu mengenai status mereka. Mengingat hal itu, Ara kembali bersedih. "Ooh. Apa mau saya antar ke unit teman kamu? Nginep di sana aja dulu, dari pada pulang ke apartemen kamu." “Arabella?” Leo memanggil nama perempuan itu lagi ketika dilihatnya perempuan itu tampak melamun, tak menyahuti ucapannya. "Dia lagi sibuk banget tadi, makanya saya pulang. Nggak mau ngerepotin orang." Ara terkekeh miris di dalam hatinya setelah mengatakan itu. Arash yang sama sekali tidak mencegah kepergiannya tadi. Suaminya itu yang selalu beralasan sibuk bekerja. Jika Ara balik lagi ke sana dalam keadaan kaki yang sakit pun, Ara tidak yakin Arash akan peduli. Lebih buruknya, Arash akan mengira jika dia tengah berakting cari perhatian kepada lelaki itu. "Saya udah hubungin manajer saya barusan, nggak lama lagi dia bakalan nyampe, kok." Leo merasa Ara salah paham terhadapnya. "Saya bukan bermaksud mengusir, tapi— " "Saya paham," potong Ara cepat sembari tersenyum tipis. "Saya hanya takut ngerasa kamu nyaman berada di tempat orang yang baru dikenal," ujar Leo cepat-cepat mengklarifikasi agar Ara tak salah paham padanya. *** Beni—manajer Ara tersebut tentu saja terkejut begitu mengetahui bahwa artisnya itu berada di unit apartemen seorang Leo Adicandra, yang tak lain adalah salah satu petinggi di perusahaan e-commerce Orani. Beni sampai tak berkedip menatap Leo yang jauh lebih tampak aslinya dari pada yang dilihatnya di majalah dan media sosial. Leo yang beberapa kali tampil mengisi acara pada sebuah seminar, namun baru kali ini Beni melihatnya secara langsung. "Woy!" Ara menepuk lengan Beni yang duduk di sebelahnya dengan mata yang terus tertuju ke arah Leo. Berbeda dengan Leo yang bergidik ngeri melihat manajer Ara yang tampak kemayu itu. "Ayo bantuin tuntun gue ke mobil." "Iya... iya, sabar." Ara memutar bola mata. Dia tahu persis jika manajernya itu barusan memperhatikan sosok Leo yang tampan seperti bule. Mereka berdua pamit dan Beni menyalami tangan Leo sambil mengerlingkan sebelah matanya. Leo jadi merinding dibuatnya dan dengan cepat menarik tangannya kembali. Ara tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Leo sebelum beranjak pergi. "Ara!" Leo memanggil perempuan itu, sebelum langkah kaki kedua orang itu menjauh. "Ya?" Ara berbalik badan menoleh, dibantu oleh Beni yang menuntunnya. "Hmm... saya boleh minta nomor ponsel kamu?" Ara mengernyit. "Siapa tahu nanti perusahaan saya butuh kerja sama dengan kamu, mungkin kamu bisa menjadi salah satu brand ambassador kami atau untuk endorsement barangkali?" "Bisa hubungin nomor manajer saya kalau begitu." "Tapi— " Leo menggaruk tengkuknya, dia bingung akan beralasan apa lagi selain itu. Bilang ingin lebih mengenal dekat perempuan itu? Mana mungkin. Menurut Ara, ini adalah pertemuan pertama mereka. Mereka yang baru aja saling mengenal. Leo menarik napas. "Boleh, nanti saya hubungi kamu lewat manajer kamu semisal mau menawarkan kerja sama." "Nomor eyke nanti tak DM ke i********:-nya Mas Leo, ya?" ujar Beni sambil senyum-senyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN