Life goes on

1750 Kata
Arash bingung dengan apa yang dirasakannya saat ini. Dia tidak ingin berpisah dengan Ara, di sisi lain dirinya juga menginginkan Syafa. Arash tak memungkiri lagi jika 2 tahun belakangan ini, dia serasa bernostalgia dengan kehadiran Syafa kembali. Awalnya, Arash ingin memberitahu Ara untuk mempublikasi hubungan mereka ketika dirinya merasa telah siap pada awal tahun ketiga pernikahan mereka. Sebelumnya, Arash merasa ragu karena takut kinerjanya akan terganggu—belum siap rasanya jika kantor, rumah atau di mana pun dipenuhi oleh sorotan kamera. Namun, kehadiran Syafa membuat Arash mengurungkan niatnya. Perempuan itu hadir dengan segala rasa bersalahnya dan Arash memaafkannya. Dan Arash kembali terpesona kedua kalinya pada pada perempuan itu. Arash secara tidak langsung selalu meluangkan waktu untuk Syafa—kapan pun perempuan itu membutuhkan bantuannya. Seperti dulu, Arash ingin menjadi pelindung sosok Syafa yang dianggapnya rapuh. Sekarang, Arash semakin tak bisa melepaskan perempuan itu setelah menidurinya. Syafanya yang polos, Arash racuni dengan hasrat seksualnya yang ingin dilayani karena sudah lama tidak tersalurkan. Bahkan, ruangan kerja Arash sekarang sudah menjadi tempat dirinya dan Syafa melakukan hubungan terlarang yang menjadi candu bagi Arash. Syafa yang awalnya malu-malu, lama-kelamaan mulai terbiasa dengan sentuhan Arash. "Ara minta bercerai," ujar Arash setelah melampiaskan emosinya dengan meniduri Syafa. Dia meminta perempuan itu datang ke unit apartemennya saat pikirannya tengah kacau. Entah kenapa, rasanya berat bagi Arash untuk melepaskan Ara yang sudah 4 tahun menjadi istrinya itu. Dia masih mencintai perempuan itu. Sedangkan, Syafa tak bisa diabaikannya juga. "Kenapa?" Syafa terkejut. Namun, di dalam hatinya tersenyum senang. Sebentar lagi dirinya akan menjadi satu-satunya bagi Arash. "Tadi dia baca chat kita kayaknya." "Terus gimana?" Arash mengedikkan bahunya. Syafa kesal mendapatkan reaksi yang ditunjukkan Arash. Apa lelaki itu masih mencintai istrinya hingga tak rela untuk berpisah? Jika dulu Syafa meninggalkan Arash karena seseorang lain, dia menyesal setelahnya. Ya… Syafa bukanlah perempuan polos yang seperti Arash kira. Dia tidak meninggalkan lelaki itu karena ancaman dari banyak perempuan pemuja Arash. Di lain tempat di rumahnya dengan Arash, Ara meminta dijemput oleh Beni. Tadi juga dia minta diantarkan oleh lelaki itu ke rumah mertuanya, namun tidak minta dijemput karena dirinya pulang bersama Arash. Jika waktu itu dia hanya membawa setengah dari pakaiannya, kali ini dia benar-benar mengosongkan isi lemari. "Besok kita ke sini lagi, Ben. Bantuin gue bawa semua barang-barang gue yang lain." Beni mengangguk, lalu merapihkan isi koper Ara yang berukuran besar agar bisa memuat banyak baju dan lainnya. Sebelum menarik koper ke luar kamar, satu tangan Beni terulur menepuk-nepuk bahunya Ara di mana perempuan itu duduk melamun di pinggir ranjang. Dia sepertinya belum menyadari jika Beni telah selesai memasukkan semua bajunya ke dalam koper. Beni menatap iba Ara yang matanya terlihat sembab. Saat tiba setengah jam yang lalu, Ara langsung memeluknya dan menangis sesenggukan. Tak pernah dilihatnya Ara seperti ini sebelumnya. Ara yang selama ini selalu berusaha terlihat baik-baik saja jika ada masalah. Namun, malam ini perempuan itu tampak begitu menyedihkan. Ara menceritakan perihal Arash, ditambah dengan mertuanya yang memintanya agar mengizinkan sang suami untuk menikah lagi. Ara sakit hati. "Yang sabar ya, Beb. Gue yakin, lo pasti kuat." Ara tersenyum hambar. "Kenapa Arash tega banget sama gue, Ben? Kalau dia udah bosan, kenapa nggak bilang? Kurang sabar gimana gue selama ini?" Emang bangsatt itu laki! umpat Beni di dalam hatinya. “Gue selalu jaga pandangan gue dari lelaki mana pun di luar sana, karena gue udah punya suami. Gue berusaha untuk jadi istri yang baik, tapi apa balasannya buat gue?” Ara bahkan pernah menarik perhatian suaminya dengan pura-pura dekat dengan lawan mainnya—maksud hati ingin membuat Arash cemburu. Namun, tanggapan lelaki itu biasa saja. Sebenarnya, Ara sudah lama mencurigai Arash mempunyai hubungan khusus dengan mantan kekasihnya yang bernama Syafa itu, akan tetapi Ara tak pernah menemukan bukti yang valid. Selain karena intensitas telepon mereka. Dan saat Ara mulai berani membahasnya kepada Arash, suaminya itu malah marah. Sejak itu, rumah tangga mereka sering ribut. Arash yang mulai jarang pulang dan sekalinya pulang hanya melampiaskan hasratnya kepada sang istri. Ara yang tak lagi merasakan sang suami yang menyentuhnya dengan penuh damba. “Gue enggak habis pikir, Ben. Udah ketahuan salah, tapi dia masih ngelak aja. Malah dia yang playing victim, bilang kalau gue nggak percaya sama dia, selalu nuduh dia yang enggak-enggak.” Ara mengusap air matanya yang kembali menetes. “Gimana gue bisa percaya kalau itu cuma bercanda, sementara ada foto mantannya itu ngirim selfie pakai tank top yang kelihatan banget kalau di dalamnya dia nggak pakai… “ Tadi itu, Ara tak menemukan balasan pesan dari Arash ketika Syafa mengirim foto itu. Dan chat berlanjut pada hari berikutnya membahas kerjaan. Ara yakin setelah foto itu dilihat Arash, bisa jadi mereka langsung melakukan panggilan video atau bertemu? Ara lupa tadi tidak mengecek logo panggilan. “Lakukan apa yang bisa membuat lo lebih tenang. Apa pun keputusan lo, gue akan dukung.” “Papa gue gimana, Ben?” “Bilang aja laki lo selingkuh dan mertua lo yang begitu, nyuruh anaknya nikah lagi.” “Papa nggak bakalan percaya begitu aja. Kalau soal itu apa kata mertua gue, papa pasti minta gue tetap bertahan sebagai istri sah. Papà selalu bilang hidup kalau gue sama Arash, semua akan baik-baik saja sampai kapan pun. Nggak kekurangan apa pun, karena Arash bisa memenuhi segalanya.” “Dunia entertainment itu cuma sementara, Ra. Kamu nggak bisa berharap banyak dari sana!” Itu yang papanya Ara katakan berulang kali. Ara pernah membuka bisnis, mulai dari bisnis kuliner, fashion hingga membuka coffeshop kecil-kecilan. Hanya saja, semuanya tidak berjalan lancar. Ada-ada saja masalah yang menimpanya. Karyawan yang korupsi, kurangnya daya beli terhadap produk yang dijualnya dan banyak lagi. “Kalau gue nggak nurut, nasib mama gue gimana, Ben?” “Ajak mama lo tinggal bareng lo di sini. Papa lo nggak tahu alamat baru lo, ‘kan? Lo harus cari waktu diam-diam ke rumah saat papa lo lagi nggak ada di rumah.” “Apa gue bisa ngelawan papa?” “Lo nggak ngelawan. Lo cuma pengen nyelamatin nasib lo dan mama lo dari papa lo yang sinting itu. Udah, entar gue bantuin caranya. Gue yang akan pantai keadaan di rumah lo. Tapi sebelum itu, lo harus hubungin mama lo dulu.” “Dan satu lagi, jangan ragu semisal keputusan lo udah bulat untuk bercerai dari Arash. Bukannya ngomporin, tapi gue cuma mau bilang kalau selingkuh itu ibarat penyakit. Semisal dia akhirnya mengaku dan minta maaf, nggak jamin penyakitnya itu nggak bakalan kambuh.” “Gue akan pikirin.” “Apa lo masih mencintai suami brengsekk lo itu?” Ara diam tak menjawab. Tentunya tidak mudah bagi Ara menghilang rasa cintanya begitu saja pada sang suami, akan tetapi saat ini dia sudah terlalu kecewa. Bukan hanya kecewa terhadap sang suami, namun juga kepada orang tua suaminya itu. Apa jangan-jangan mamanya Arash telah mengetahui perihal hubungan anaknya itu dengan Syafa? Mengingat sang mama mertuanya itu yang sangat ingin Arash menikah lagi demi mendapatkan keturunan. *** "Yakin mau ketemu? Nggak mau diundur aja?" tanya Beni kepada Ara memastikan sebelum mereka keluar dari apartemen. Ara meminta bertemu dengan Leo pada malam hari di tempat yang private. Sudah sebulan lebih berlalu sejak skandal yang menimpanya, Ara belum muncul lagi di hadapan publik. Bahkan, dia sama sekali tidak berniat untuk mengklarifikasi atau merespon konferensi pers yang diadakan lelaki itu. Pasalnya, dari kemarin malam Ara lebih banyak diam. Beni tentunya tahu persis jika perempuan itu sedang merasa tidak baik-baik saja. “Jangan diundur. Gue juga kan harus bangkit lagi, Ben. Lebih cepat lebih baik. Setelah gue tahu niatnya, mudah-mudahan hal ini jadi langkah yang baik untuk ke depannya.” Ara menyimpan uang bulanan dari Arash, hanya sesekali menggunakannya. Jadi, tabungan Ara untuk masa depan cukup banyak. Namun, dia tetap harus bekerja keras. Nasib pernikahannya dengan Arash berada di ujung tanduk. Ara tak berharap lagi pada keutuhan rumah tangga dengan Arash, walau masih tersisa cinta untuk lelaki itu. Walau sudah malam dan datang ke tempat private yang hanya dikunjungi beberapa oleh kalangan atas, Ara tetap memakai hoodie menutupi kepala dan masker, serta bawahannya celana jeans. “Sudah dari tadi? Maaf, saya agak terlambat," ujar Ara kepada Leo yang langsung berdiri ketika Ara dan Beni memasuki ruangan di antar pelayan. "Nggak juga. Baru sekitar 10 menit yang lalu." Leo mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Ara dan perempuan itu menyambutnya. Tanpa Ara sadari, Leo diam-diam memperhatikan perempuan itu yang tampak lebih kurus dari sebulan yang lalu. Namun, dia tetap terlihat cantik bagi Leo. Leo berdehem ketika Ara yang kemudian mulai menyadari tatapannya. "Silahkan, mau pesan apa?" Ara mengangguk, lalu meraih membuka buku menu di depannya. Sambil menunggu pesanan mereka tiba, Leo mengajak Ara mengobrol santai terlebih dahulu, tapi perempuan itu sepertinya ingin langsung pada inti pembahasan mereka. Beni tak banyak berbicara, hanya menyimak dan sesekali menyela jika dirasanya perlu. “Kenapa harus saya? Nggak mungkin kalau Pak Leo nggak tahu kalau saya beberapa kali ditimpa skandal,” ujar Ara to the point. “Sebelum menentukan untuk menawarkan saya menjadi salah satu hrand ambassador di perusahaan Bapak, pastinya ada pembahasan terlebih dahulu dengan yang lainnya, bukan?” Leo tersenyum menangggapi ucapan Ara. “Saya yang memutuskan segalanya. Saya nggak butuh pendapat siapa pun atas keputusan mutlak yang saya ambil kali ini.” Walau sempat berdebat dengan Ervan, sang papa, Leo tetap meneruskan rencananya. Lagian, sekarang dirinya telah resmi menjadi CEO di sana. “Terserah kamu. Kalau ada apa-apa, kamu tanggung sendiri akibatnya,” ujar Ervan kala itu. “Alasan Bapak merekrut saya?” tanya Ara sekali lagi. “Kamu memiliki followers yang cukup banyak di akun media sosial kamu, itu salah satu alasan saya untuk menarik pelanggan.” Ara terkekeh. “Bapak yakin dengan itu, sementara banyak orang di luar sana menilai buruk saya? Apa Bapak nggak takut reputasi perusahaan Bapak akan kena imbasnya dengan menjadikan saya salah satu ambassador di sana?” “Saya telah memikirkan semuanya. Dan saya yakin dengan pilihan saya.” Leo menatap lurus kedua mata Ara yang menjadi salah satu daya tarik baginya. “Mungkin ini bisa jadi peluang bagi kamu ke depannya. Siapa tahu setelah itu, nama kamu bisa kembali naik. Saya yakin, apa pun yang kamu lakukan saat ini, masih akan jadi sorotan bagi banyak orang.” Leo mengulurkan tangannya, ingin Ara menjabatnya. “Deal… Arabella?” Ara tak menyambut uluran tangan itu dan Leo menarik tangannya perlahan. “Saya akan diskusi lagi sama manajer saya. Besok atau lusa, saya pasti sudah bisa memberikan jawabannya.” “Baiklah. Semoga kita berjodoh.” Ara mendongak seketika. “Ah, maksud saya, semoga kamu berjodoh—bisa kerja sama dengan perusahaan saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN