Chapter 14

2342 Kata
“Waktunya mandi sayang. Kau bisa menikmati waktu berendammu supaya tubuhmu lebih  rileks. Aku sudah menyiapkan air hangat yang kuberi aromaterapi di bath up.” Jelas Gabriel yang kembali membuat Skylar tersenyum. Wanita itu meraih tangan suaminya kemudian mendaratkan sebuah kecupan pada punggung tangan pria itu.   “Terimakasih, husband~” ucap Skylar yang menghasilkan kekehan kecil Gabriel.   “Yes, my wife… sekarang, keluar dari selimutmu.” Perintah Gabriel yang tak dituruti Skylar. Wanita itu merasa malu tentu saja, karena tubuhnya telanjang didalam balutan selimut yang tengah digunakannya itu. Membuat Gabriel menghela nafasnya.   Tanpa kata apapun, secara tiba – tiba Gabriel menarik lepas selimut itu dari tubuh istrinya. Dalam hatinya pria itu berusaha menahan diri, menahan gejolak dalam batinnya untuk kemudian mengangkat tubuh istrinya itu dan mengabaikan pekikan serta pukulan kecil Skylar pada bahunya.   “I-ini memalukan!!!” pekik istrinya yang sama sekali tak Gabriel gubris, pria itu hanya terkekeh kecil mendengarnya. Kemudian tanpa menunda lagi, Gabriel beranjak dari tempatnya dengan membawa Skylar dalam gendongan tangannya untuk menuju kamar mandi.   Gabriel membuka pintu kamar mandi yang telihat mewah itu dengan kakinya kemudian secara perlahan memasukkan tubuh istrinya itu pada bath up yang telah terisi hampir penuh oleh air hangat dengan aromaterapi yang telah ia siapkan. Sebuah hal yang sama sekali bukan menjadi masalah baginya, justru hal seperti ini membuatnya bahagia. Dapat saling bergantian dengan istrinya untuk menyiapkan perlengkapan mandi serta baju yang dikenakan setelah mereka mandi.   Karena bagi Gabriel, yang pria itu inginkan adalah sebuah keluarga yang dibangun bersama dengan saling membantu. Baik berupa hal – hal sederhana maupun lainnya. Itu sangat bernilai dimata seorang Gabriel yang menjunjung tinggi keberadaan istri tercintanya itu.   “Nikmati waktu berendammu sayang, aku akan menunggumu dibawah. Oh, dan aku juga akan menyiapkan baju untukmu berkuliah hari ini. Kau bisa menilai sendiri bagaimana selera fashion ku.” Skylar terkekeh mendengarnya. Yah… mereka seringkali berdebat tentang style masing – masing memang. Gabriel menilai apa yang Skylar kenakan terlalu sederhana, sementara Skylar seringkali menilai bahwa style yang Gabriel kenakan terlalu formal dan kaku.   Dan pagi – pagi seperti itulah yang selama ini mereka lewati. Begitu manis dan membahagiakan bukan? Saling memberi dan menerima. Itulah prinsip hidup keduanya mulai kini. Sehingga melunturkan keegoisan mereka masing – masing merupakan sebuah langkah yang mulai mereka tumbuhkan. Berharap keduanya akan selalu bersama dan saling mendampingi hingga maut memisahkan, bukankah itu terdengar begitu indah? Yah, itulah yang kini keduanya dambakan. Dapat menikmati masa tua berdua, bersama dengan kehadiran beberapa anak serta cucu yang hadir menghiasi hari – hari mereka kelak.   -   Sore ini sedikit berbeda dengan hari – hari sebelumnya. Hari ini jadwal mata kuliah yang Skylar jalani berakhir pada sore hari, dan jika biasanya John saja yang menjemputnya, sore ini akan terasa berbeda karena Gabriel ikut menjemput istrinya itu. Pria itu tidak mengatakannya pada Skylar karena ingin mengejutkan istrinya juga sebenarnya, atau bisa disebut sebuah surprise kecil – kecilan.   Tepat pukul 4 sore Gabriel dan John sudah standby didepan kampus dimana Skylar berkuliah. Mungkin sebentar lagi wanita itu akan muncul, mengingat mata kuliah Skylar yang terakhir sore itu berakhir tepat ketika pukul 4.05.   Gabriel menanti kemunculan istrinya itu sembari membalas beberapa e-mail penting yang masuk kedalam alamat e-mail nya. Ada beberapa pekerjaan yang perlu dia cek ulang sebelum benar – benar disetujui. Memiliki perusahaan besar dengan banyak cabang yang terletak dibanyak negara pula membuat Gabriel dituntut untuk menjadi sosok yang teliti ketika mengecek maupun menganalisis suatu hal. Pria itu masih terfokus pada layar iPad –nya ketika John memberitahunya bahwa Skylar telah keluar dari kampus, sesuai yang ia pesankan tadi pada supir pribadinya itu.   Mata tajam Gabriel beralih fokus dari layar iPad –nya menuju kearah gerbang kampus, mengukir sebuah senyum ketika mendapati istrinya keluar dari area kampus tersebut bersama seorang sahabatnya. Namun senyum itu tak bertahan lama, spontan meluntur begitu saja ketika mendapati sosok lain tiba – tiba juga muncul memanggil istrinya dan membuat Skylar menengok kearah sosok itu.   Aaron William. Sialan sekali. Gabriel spontan mengumpat melihatnya, membuat John melirik kearah tuannya melalui spion mobil. Gabriel dengan setengah kasar menutup pekerjaannya yang terpampang dilayar iPad –nya, menaruh iPad itu sembarangan kemudian tanpa menunda lagi, pria itu membuka pintu mobil mewahnya lalu keluar untuk menghampiri Skylar.   “Skylar Miller.” Panggil Gabriel datar masih dengan wajah setengah kesalnya.   Skylar mendengar itu. Wanita itu dapat merasakan jantungnya spontan berpacu 2 kali lipat lebih cepat, bahkan kedua matanya pun ikut membulat terkejut. Mendengar dari nada suaminya itu memanggilnya, maka dapat Skylar pastikan bahwa suaminya itu kini tengah benar – benar merasa tak suka melihat keberadaannya disini yang berada satu lingkup bersama seorang Aaron William. Dengan ragu – ragu Skylar memutar tubuhnya, mendapati Gabriel yang kini telah berdiri dibelakangnya dan menatapnya dalam.   “Jam kuliahmu sudah selesai bukan?” tanya suaminya itu tanpa basa – basi menyapanya atau justru memberikan kecupan maupun pelukan padanya. Dari ciri – ciri tersebut, Skylar peka bahwa Gabriel pasti akan marah padanya kali ini. Entah seperti apa dirinya setelah ini.   “Eung, i-iya. A-aku baru saja akan masuk kedalam mobil.” Jawab Skylar dengan gugup, wanita itu menatap memelas pada suaminya, mengabaikan keberadaan dua manusia lain yang berada dibelakangnya. Aaron menatap Gabriel dengan sebelah alisnya yang terangkat, membuat Gabriel mengalihkan fokus pandangnya yang semula tertuju pada istrinya kini beralih pada Aaron.   “Oh, Aaron William? Senang bertemu denganmu lagi.” Gabriel berkata sembari mengangkat seringai menyebalkannya, membuat Aaron dalam hatinya mendengus kesal.   “Ya, Tuan Gabriel Miller.” Balas Aaron singkat. Sementara Skylar? wanita itu tengah ketar – ketir mendengar interaksi keduanya.   “Maaf sekali karena aku lupa mengundangmu keacara pernikahan kami, mungkin nanti ketika Skylar melahirkan anak pertama kami, kami akan mengundangmu untuk menebus kesalahan kami yang lupa mengundangmu pada pernikahan kami.” Ucap Gabriel tak melupakan seringaiannya yang setia terukir dibibirnya, mengabaikan wajah Aaron yang kini berubah kesal, Gabriel mengalihkan fokusnya pada Skylar yang terlihat tengah begitu gugup. Tangannya meraih pergelangan tangan wanita itu kemudian tersenyum padanya.   “Mari kita pulang sekarang.” Ajak Gabriel kemudian menarik Skylar untuk segera berjalan dengan cepat kearah mobil mewah yang terparkir menunggui mereka. Setelah keduanya masuk dan mobil berjalan melaju, keheningan terjadi diantara keduanya membuat John mengernyit dalam hati9. Tidak biasanya Tuan dan Nyonya –nya itu sehening ini tanpa percakapan apapun. Bahkan biasanya sepasang suami istri itu seringkali terlarut dalam kemesraan mereka, nyaris membuat John  mengelus d**a.   “I-itu… yang tadi itu-” “Kita bicarakan itu dirumah.” Saut Gabriel memotong penjelasan Skylar. Dari nada bicaranya, dapat Skylar pastikan bahwa pria itu tak dapat dibantahnya. Maka mau tak mau wanita itu memilih diam juga, menuruti keinginan Gabriel untuk berhenti berbicara dan menjelaskannya ketika mereka sampai kerumah.   Maka akhirnya, perjalanan selama 25 menit itu benar – benar terasa hening. Hanya terdengar suara lalu lintas diluar mobil serta helaan nafas didalam mobil mewah itu, terasa mencekam bagi John yang tak dapat melakukan apa – apa selain melaksanakan pekerjaannya dengan benar.   -   Skylar memainkan tangannya pada ujung kemeja yang dikenakannya. Wanita itu benar – benar berdebar melihat Gabriel yang berdiri menjulang didepannya, masih diam namun dengan aura yang sempat membuatnya bergidik. Pria itu masih fokus menatap lurus pada jendela kaca kamar yang ada dihadapannya.   “So, ingin jelaskan mengenai apa yang aku lihat hari ini dikampusmu sayang?” Skylar menahan nafasnya ketika suaminya itu akhirnya membuka suaranya.   “I-itu… maaf untuk tidak menceritakan padamu bahwa Aaron berkuliah ditempat yang sama denganku bahkan satu kelas denganku, t-tapi kupikir itu tidak penting untuk kuceritakan. Lagipula dia juga tau bahwa aku telah sah menjadi istrimu dimata hukum dan agama, jadi-” “Benarkah itu alasan yang membuatmu tak bercerita yang sebenarnya padaku?” Skylar makin menundukkan kepalanya ketika Gabriel memotong penjelasannya. Ini semakin terasa mendebarkan baginya.   “Iya, memang seperti itu-” “Atau justru yang sebenarnya adalah karena kau ingin diam – diam dapat terus berdekatan dengan pria itu tanpa sepengetahuanku, sehingga kau merasa bebas begitu saja dengan pria itu dikampus? Skylar, aku menghentikan pekerjaan suruhanku untuk mengawasimu dari kejauhan bukan untuk membuatmu semena – mena bisa dekat dengan pria lain Skylar!” Skylar menatap Gabriel tak percaya, wanita itu diam – diam mengepal, meremat ujung kemeja yang dikenakannya.   “Aku sudah mengatakannya padamu sejak awal kau mulai masuk kuliah untuk menjaga jarak dan menghindar dari pria lain sebisa mungkin, tapi kini bahkan kau diam – diam justru dekat dengan seorang Aaron William. Pria yang kau juga tau sendiri memiliki perasaan lebih padamu. Apa masalahmu Sky, kau bosan denganku?! Atau justru kau-” “GABRIEL CUKUP!!!” cerocosan pria itu terhenti begitu saja mendengar pekikan atau bisa juga disebut seruan dari Skylar, istrinya. Gabriel dibuat terkejut ketika mendapati tatapan terluka sekaligus dengan pemandangan mata yang berkaca – kaca, air mata seolah mengancam mengalir dengan deras dari sana. Skylar makin – makin mengeratkan kepalan tangannya sebelum kemudian berdiri beranjak begitu saja dari posisi duduknya.   Wanita itu menatap suaminya dengan nyalang, mengabaikan air mata yang mulai makin memenuhi pelupuk matanya.   “Segampang itukah aku dimatamu?” tanya Skylar yang seolah menembus hati Gabriel. Pria itu seolah baru saja tersadar ketika mendengar pertanyaan menyakitkan yang terlontar dari bibir istrinya itu, membuatnya ingin meraih lengan Skylar namun ditepis dengan mudah oleh wanita itu.   “Sekekanakan itukah aku bagimu?” lagi, Skylar mengajukan pertanyaan pada Gabriel.   “Semurah itukah kata cinta yang selama ini kuucapkan padamu, bagimu?” Gabriel tak mampu berkata – kata, pria itu hanya mampu menatap istrinya itu yang kini terlihat kian tak baik – baik saja. Dirinya bahkan kian merasakan rasa sakit mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang istrinya itu lontarkan.   “Kau fikir pernikahan merupakan hal main – main bagiku, bahkan setelah aku melewati waktu yang berat demi memikirkan matang – matang akankah aku benar – benar siap untuk membangun rumah tangga denganmu diusiaku yang masih dibawah 20 tahun ini?” Skylar menghela nafasnya berat, wanita itu mendongakkan wajahnya keatas. Menahan air mata yang kian mengancam untuk mengalir.   “Aku menyerahkan semuanya padamu, menerimamu, berusaha belajar untuk menjadi sosok wanita yang lebih dewasa untuk setia mendampingimu, berusaha menurunkan tingkat keegoisanku, menghapus rasa gengsiku yang begitu tinggi hanya demi menjadi sosok istri yang baik untuk mendampingimu setiap detik waktu kebersamaan kita, dan kau masih berfikiran bahwa aku ingin menghabiskan waktuku diam – diam bersama pria lain?! jika saja aku tak jatuh cinta padamu, sudah pasti aku lebih memilih menjadi kekasih seorang Aaron William daripada menikah diusia muda dan menerima serta tunduk dibawah kekangan penuh ketidak percayaan seorang Gabriel Miller!!!” teriak Skylar dengan isak tangisnya yang kian tak dapat ia tahan. Matanya memerah kemudian berakhir dengan sebuah air mata yang mengalir dari matanya.   “Mungkin aku memang setidak dapat dipercaya itu dimatamu, Tuan Gabriel Miller.” Ucap Skylar untuk terakhir kalinya, sebelum memutuskan berbalik begitu saja. Berjalan cepat menjauh dari sosok suaminya itu. Mengabaikan panggilan pria itu yang berkali – kali terdengar.   Melihat sebuah pintu yang merupakan pintu kamar tamu, Skylar tanpa membuang waktu membuka pintu itu dengan cepat. Kemudian menutup kembali pintu itu sembari menguncinya tanpa mencabut kunci itu dari gagang pintu. Untuk malam ini, ia benar – benar tidak ingin menemui maupun berbicara dengan pria itu.   Hatinya benar – benar terasa sakit, bahkan sakit itu masih terasa hingga detik ini. Wanita itu duduk dengan menekuk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air matanya yang mengalir deras pada lutut. Isakkan tangisnya terdengar cukup keras, hingga membuat Gabriel benar – benar merasa bodoh dalam penyesalannya dari luar ruangan itu.   “Skylar, kumohon keluarlah.” Mohon Gabriel untuk kesekian kalinya, namun yang terdengar hanyalah isakkan dari balik pintu ruangan itu. Hatinya terasa begitu sakit, seolah ada sebilah pisau yang menikamnya sendiri mendengar wanita yang begitu ia cintai itu kini menangis karena ulahnya, karena ucapan yang terlontar dengan tidak tau diri dari mulutnya sendiri.   Pria itu menjambak rambutnya sendiri, merasa frustasi kala dirinya masih tak bisa membuka pintu itu setelah pelayannya mengambilkan kunci cadangan karena kunci didalam sana yang senantiasa tertancap tanpa dicabut oleh istrinya itu.   “Sky, kumohon maafkan aku. Keluarlah…” “Jangan berbicara denganku, pergi!!!” teriak wanita itu dari dalam sana yang terdengar ditelinga Gabriel, menghasilkan denyutan dalam batin pria itu. Skylar tak pernah semarah ini padanya.   “Aku akan menunggu didepan pintu hingga kau keluar, aku tidak akan pergi dari sini.” Teguh Gabriel yang tak dianggap oleh Skylar. Wanita itu masih menangis didalam ruangan itu, mengabaikan apa yang Gabriel katakan baru saja. Maka malam itu, keduanya habiskan dengan penuh rasa sesal dan kesedihan. Entah seperti apa keesokan harinya akan berjalan diantara keduanya.   -   Pagi datang dengan lambat bagi Skylar. Wanita itu terbangun dari tidurnya yang masih dengan posisi terduduk didepan pintu kamar tamu yang didiami nya sejak kemarin malam. Tanpa mengulur waktu, wanita itu segera mandi dan bersiap dengan baju seadanya yang syukurnya ada dilemari kamar tamu tersebut.   Setelah wanita itu merasa rapi dan telah siap untuk berangkat menuju kampus, terdengar dari luar sana bahwa Gabriel mendapat sebuah telepon. Mungkin sebuah telepon penting berkaitan dengan pekerjaannya. Tak lama dari itu, Skylar dapat mendengar langkah Gabriel yang beranjak pergi dari depan pintu. Skylar mendengarnya dengan hati – hati, setelah menunggu beberapa saat hingga sekiranya Gabriel kini tengah mandi, wanita itu berjalan menuju pintu kemudian membuka pintu itu secara perlahan setelah membebaskan kuncinya.   Melihat situasi yang aman, wanita itu bergegas untuk segera keluar dari rumah. Menjawab bahwa pagi ini ada tugas yang harus segera diselesaikannya dikampus ketika ditanyai pelayan rumahnya mengenai sarapan. Bahkan ketika mencapai pintu gerbang, Skylar pun menjawabnya dengan jawaban yang sama, diimbuhi dengan perkataan bahwa Gabriel baru saja mengizinkannya untuk pergi berangkat sendirian karena pria itu yang masih kelelahan. Akhirnya setelah itu, Skylar berhasil lolos keluar dari kediaman megah itu. Memasuki taxi dan mengatakan alamat kampus tempatnya berkuliah sebagai tempat yang ditujunya.   Biarlah untuk hari ini dia masuk 1 jam lebih awal dari jam pertama mata kuliahnya demi menghindari Gabriel, yang jelas untuk saat ini Skylar masih belum ingin berbicara dengan suaminya itu. Wanita itu perlu waktu untuk sendiri, menghabiskan waktunya untuk meredam sakit hatinya sementara waktu. Berusaha melupakan ucapan – ucapan Gabriel kemarin yang seolah tak mempercayainya sama sekali. Hanya sebentar saja, hingga ia mampu memulihkan dan mengendalikan emosinya sendiri kali ini. To be continued~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN