Mereka tidak jadi ke rumah sakit, karena keadaan saudara ipar Paman Awal tidak parah. Hanya tekanan darahnya yang naik, efek makan daging di pesta pernikahan Wira, dan Ziah.
Ibu Wira sudah masuk ke dalam kamarnya. Begitupun dengan Ziah, setelah mereka sempat mengobrol sejenak. Sedang Wira duduk di ruang tengah, menikmati acara televisi. Bukan menikmati sebenarnya, karena ia tidak fokus pada acara televisi di depannya.
Wira masih meragu untuk tidur di kamar dengan Ziah. Ia takut, juga bingung, harus bagaimana. Semalam ia juga tertidur di ruang tengah.
Pintu kamar Wirda terbuka, mendengar suara televisi, Wirda langsung menuju ruang tengah.
"Wira!" panggil ibunya.
"Eh, iya, Bu." Wira menatap ibunya yang mendekat.
"Sudah tengah malam, kenapa masih menonton televisi." Wirda langsung mematikan televisi. Wira hanya bisa diam, tidak berani protes.
"Masuk kamar sana!"
"I-iya, Bu." Wira terpaksa bangkit dari duduk, lalu melangkah menuju kamarnya dengan perasaan gamang. Wirda bukannya tidak tahu, kalau putranya itu bingung. Karena Wira memang belum pernah dekat dengan perempuan sebelumnya. Hanya Asma yang ia temui hampir setiap harinya.
Di dalam kamar.
Wira menatap Ziah yang tidur menghadap dinding, membelakanginya. Dengan perlahan, Wira berjalan mendekati ranjang. Lalu secara perlahan juga ia naik, dan berbaring di atas ranjang, dengan posisi punggungnya nyaris menyentuh punggung Ziah, karena ranjang yang tidak terlalu besar. Sedang Ziah, berbaring agak di tengah.
Wira berbaring tanpa berani bergerak ia takut menyentuh Ziah.
***
Ziah terbangun, karena merasa ada yang menindih tubuhnya, dan ada yang menempel di pipinya.
Ziah menolehkan kepala, ternyata hidung Wira yang menempel di pipi. Dan separuh tubuh Wira menindih tubuhnya.
Ziah berusaha menguasai dirinya. Meski degup jantungnya tidak menentu, dan pipinya terasa panas.
Ziah merasa bimbang, mendorong Wira agar menjauhinya, atau ia diamkan saja.
Pilihan pertama, membuat ia takut Wira terbangun, dan salah paham nantinya.
Pilihan kedua, membuat ia tidak bisa bergerak jadinya.
"Ehmm," Wira terdengar bergumam, tangannya yang tadi berada di sisi tubuh, terangkat, dan jatuh di atas d**a Ziah. Ziah memejamkan mata, merasa nyeri karena kedua dadanya tertimpa tangan berotot Wira. Tangan yang terbiasa bekerja keras. Mengurus sawah, kebun, peternakan, dan tambak ikan milik Raka.
Ziah menolehkan kepala, agar hidung Wira tidak lagi menempel di pipi. Dan, yang terjadi adalah, hidung Wira justru menempel di leher. Hembusan napas Wira mengenai kulit lehernya. Membuat bulu tubuh Ziah meremang jadinya.
"Emhh," Wira kembali terdengar bergumam. Kali ini, kakinya yang terbungkus sarung terangkat, lututnya mendarat tepat di antara kedua paha Ziah. Ziah kembali memejamkan mata, ia semakin dirundung dilema. Menyingkirkan Wira, ataukah diam saja.
"Eeh, apa yang aku lakukan!" Wira terlonjak bangun saat menyadari bagaimana posisi tidurnya. Ziah langsung menutup mata, ia pura-pura tidur. Wira mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ditolehkan kepala, ditatap Ziah yang terbaring diam.
"Zi.... " Wira menggoyangkan lengan Ziah. Perlahan Ziah membuka mata.
"Subuh ya, Aa?" tanya Ziah, seakan baru bangun juga.
"Belum." Kepala Wira menggeleng.
"Ada apa?" Ziah bangun dari berbaringnya. Wira merubah posisi duduknya. Mereka duduk berhadapan sekarang.
Mata mereka saling tatap, Ziah yang akhirnya menundukan wajah yang merah.
"Kita tidak bisa begini terus, bukan?" Wira memulai pembicaraan.
"Maksud, Aa?" tanya Ziah tak mengerti.
"Apa kita harus bersikap seperti dua orang asing selamanya?"
"Aku, aku tidak tahu," kepala Ziah menggeleng pelan, wajahnya merona.
"Kita memang merasa asing satu sama lain. Tapi, kita sudah terikat janji pernikahan. Pernikahan bukan untuk dipermainkan, bukan?" Wira menatap lekat Ziah, meski yang bisa ia lihat bukan wajah Ziah.
"Ehmm," Ziah mengangguk tanpa mengangkat wajahnya.
"Hhh, aku sendiri tidak tahu harus memulai darimana. Pernikahan tanpa masa perkenalan lebih dulu terasa aneh juga," gumam Wira seraya menggaruk kepalanya.
Ziah mengangkat wajah.
"Aku ikut apa yang Aa mau saja. Saat Aa sudah menyebut namaku waktu ijab kabul. Aku sudah mantapkan hati, untuk menjadikan Aa sebagai imam dalam salatku, sebagai penuntun langkah hidupku."
Wira menatap Ziah dengan takjub, ia tidak menyangka, ucapan seperti itu akan ke luar dari mulut gadis usia sembilan belas tahun seperti Ziah.
"Zi, kamu ikhlas?" tanya Wira tak yakin.
"Aku ikhlas, Aa. Aa sudah menjadi suamiku. Aku serahkan jiwa, dan ragaku hanya untuk Aa." Mantap suara Ziah.
Hati Wira bergetar mendengarnya. Kelembutan suara, dan sikap Ziah. Membuat kebimbangan yang kerap datang, terasa mulai sirna.
"Aku akui, usiaku sudah cukup matang, tapi soal wanita, aku tidak punya pengalaman. Jadi, aku bingung, harus bagaimana," ucap Wira dengan wajah merah karena malu. Wajah Ziah ikut merona, karena ia tahu, ke mana arah pembicaraan Wira.
"Zi.... " Wira memberanikan diri menyentuh jemari Ziah. Jemari Ziah terasa sangat dingin dirasakan Wira.
"Kamu gugup?"
"Ehmm," kepala Ziah mengangguk. Ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap Wira, yang terasa begitu dekat di depannya.
"Ehmm, aku juga.... "
Ucapan Wira, mampu membuat wajah Ziah terangkat. Mata Ziah menatap bola mata Wira, tatapan mereka bertemu. Ziah mengukir senyum manis di bibirnya.
"Zi.... " Wira meraih dagu Ziah. Ziah bisa merasakan, jemari Wira yang memegang dagunya, terasa dingin, dan bergetar.
"Katakan satu kali lagi, kalau kamu ikhlas, agar tidak ada yang mengganjal di antara kita," pinta Wira dengan suara nyaris tak terdengar.
"Aku ikhlas, Aa. Ikhlas karena Allah," jawab Ziah mantap.
BERSAMBUNG