Undangan (Yang Kuharap Palsu)

200 Kata
Kau baru saja mematahkannya sambil tersenyum, Lau! *** “Laura?” gumamku seraya mengedip beberapa kali. Iya. Itu dia. Berbalut gaun putih dengan aksen mahkota pualam di atas kepala. Gadis yang dulu memanjat pohon jambu biji di belakang rumah bersamaku. Yang paling suka mencibir mengatai-ngatai monyet ke spesies mereka sendiri. Tidak akan turun dari singgasana sebelum maghrib menjelang dan sorakan ibu memenuhi alun-alun.  Baru kemaren dia menggodaku, mengajak menikah sambil tertawa, tapi sekarang, pemandangan apa ini, Lau! Tampaknya ini tidak sesederhana pemandangan yang sering kita buat sewaktu SD dulu. Hari ini, mataharinya tidak tersenyum, Lau! “Dhyo!” seru gadis itu seraya menghambur ke arahku.  Belum selesai aku berperang dengan diri sendiri. Datang lagi tokoh antagonis baru. Bodohnya, aku masih khawatir dan tergerak menangkap tubuhnya. Sekarang kami jadi terlihat seperti pose pasangan berbulan madu. Sial! Tiba-tiba aku merasa macam pelakor yang sering dielu-elukan di media sosial.  “Turun, ngapain sih.” Ketusku. Gadis itu manyun. Dia lepaskan kalungan tangan di leherku, lalu menimpali, “Design-nya keren kan Yo? Sesuai sama kesukaan kamu!"  Sempat-sempatnya. Apa gunanya jika bukan namaku yang di situ, Lau! Kau pasti bercanda. Kalau ini mimpi, aku mau terjengkang dari tempat tidur dan terbangun saat ini juga ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN