Allura : 4. First Impression

1521 Kata
Allura merebahkan tubuh lelahnya. Sebelah tangannya meraih heels-nya. Melepasnya dan melemparkannya asal. Menimbulkan suara duk yang tidak Allura hiraukan. Memilih memejamkan mata. Sembari menghela napas beberapa kali. Mencoba memberi ketenangan pada dirinya sendiri. Allura terlalu malas untuk beranjak. Sekadar membersihkan make up yang menempel di wajahnya. Atau mengganti dress-nya dengan piyama tidur agar lebih nyaman. Allura hanya ingin malas-malasan sembari melupakan pertemuan hari ini. Lengkap dengan segala pembahasan yang membuatnya kian tersudut. Tidak ada celah lagi untuk menolak. Atau sekadar kabur, melupakan semua yang terjadi. Allura pikir, ini hanya pertemuan biasa antara dua keluarga. Sekadar berkenalan dan ya, basa-basi yang digunakan sebagai ajang mendekatkan diri. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Allura merasakan atmosfer berbeda begitu bertemu dengan "calon mertua" dan "calon suami" yang dibangga-banggakan Mama. Seperti ada ikatan mati di lehernya. Membuatnya tetap diam, tanpa memiliki tenaga untuk memberontak. Karena jika Allura melangkah sedikit saja, ada yang tertarik kuat, menimbulkan perih. Tanggal pernikahannya bahkan sudah ditentukan dengan penuh minat oleh para orang tua. Karena bagi Allura tentu ini kabar buruk. Dan untuk calon suaminya, entahlah. Elang tidak banyak memberi ekspresi di pertemuan tadi. Lelaki berkacamata itu hanya diam, mengangguk, memberi jawaban iya jika sesekali ditanya. Tanpa ada niat untuk menentang. Tentu saja Allura dibuat sebal tidak karuan. Di mana letak ketegasan Elang sebagai laki-laki? Tidak ada usahanya untuk menolak perjodohan ini. Benar-benar Allura yang malang. Kenapa dari beribu-ribu manusia di dunia ini, harus Elang yang Mama pilih sebagai pendampingnya? Tidak adakah yang lebih berbobot? Sedikit saja. Setidaknya dari segi penampilan. Allura mengalihkan perhatian begitu ponselnya bergetar. Menampilkan satu panggilan suara dari Dhia. Sudah bisa Allura tebak, pasti sahabatnya ini berniat menanyakan pertemuannya dengan keluarga Elang. "Lura, lo ke mana aja sih, gue teleponin dari kapan baru jawab sekarang?" Allura menjauhkan ponselnya saat suara teriakan Dhia menyambut. "Santai kali. Gue Allura bukan Adeo." Ada helaan napas panjang dari seberang sana. "Ya maka dari itu, Lura. Lo diam dari kapan coba, nggak ngabarin gue setelah sampai. Padahal Adeo langsung laporan sama gue. Gue 'kan mikir macem-macem. Kalau lo perang sama Mama lo gimana coba? Gue nggak mau ya teman gue dikutuk jadi batu." Allura menggaruk kepalanya kasar. Membuat rambutnya yang dibuat bergelombang menjadi berantakan. "Gue masih bisa angkat panggilan lo berarti gue masih jadi manusia." "Ya, sip. Jangan sampai lo jadi batu. Nggak terima gue punya teman durhaka. Gue nggak bisa bayangin gimana nantinya kalau yang gue ceritain ke anak gue di masa depan adalah kisah lo yang dikutuk." "Bodo amat ya, Dhi. Kalau lo cuma mau bahas hal random begini gue matiin nih!" "Eh, eh jangan dong, Lura. Gue 'kan mau dengar kabar dari lo. Sore ini pertemuannya, 'kan? Gimana sama si om?" Allura merengut sebal. Ini dia yang menjadi masalah. Penyebab mood-nya yang memburuk. "Dhi, gue mau nanya serius tapi please kali ini aja jawab dengan sejujur-jujurnya." Dhia berdehem. "Emang kapan gue pernah bohong? Lo tuh yang sering bohong sama orang tua makanya kualat dapat jodoh om-om begitu." Allura mendengus sebal. Tapi tidak bisa menyangkal karena memang begitu adanya. Mungkin memang kesalahan Allura sudah menumpuk banyak. Membuatnya harus melakukan penebusan kesalahan dengan menjalani perjodohan menyebalkan itu dengan Elang. Tidak tahu persis dan tidak berminat untuk menanyakan alasannya. Yang Allura lihat selama pertemuan tadi, Mama begitu menyukai sosok Elang. Entah di sebelah mana yang menarik dari sosok Elang. Dari penampilannya saja sudah membosankan. Belum lagi lelaki itu terlampau pendiam. "Dhi, menurut lo gue cantik nggak?" Dhia menghela napas panjang. "Lo butuh pengakuan yang gimana lagi? Nggak cukup si Yogi sama Guntur yang terang-terangan bilang suka?" Allura berdecak sebal. Mengingat dua orang yang tergabung dalam perkumpulan Abimanyu cs. Empat laki-laki menyebalkan yang hobby menggoda Kanaya. Salah duanya terang-terangan mengatakan suka pada Allura. Tentu saja Allura tidak asal percaya. Mereka saja tidak pernah terlihat serius dalam menyampaikan perasaannya. Masih sibuk menggoda perempuan lain, terutama adik tingkat. Yang seketika akan dibuat merona lantaran godaan murahan itu. Naresthra Yonathan Prayogi atau Yogi. Menurut Allura, Naresthra adalah nama yang terlalu keren untuk manusia satu itu. Sedangkan Yonathan adalah nama panggilan dari Abimanyu cs dan Allura enggan ikut-ikutan. Jadi untuk membedakan dengan yang lainnya, Allura memanggilnya Yogi. Yang malah membuat si lelaki senang bukan kepalang mendapat panggilan khusus dari Allura. Yogi terlihat dewasa dan cool. Tubuhnya yang menjulang dengan proporsi ideal memang menjadi salah satu yang digemari. Belum lagi wajahnya yang tampan rupawan bagaikan pangeran dari negeri seberang. Tingkahnya yang terkadang "di luar nalar" saking hebohnya juga menjadi daya tarik tersendiri. Tapi sayangnya, Yogi banyak menghabiskan waktunya di club malam, padahal lelaki itu mengaku tidak mengonsumsi alkohol. Yang Allura labeli sebagai, tipuan lelaki buaya darat. Dan ya, itu adalah nilai minus bagi Allura. Bukan sosok laki-laki yang Allura harapkan sebagai pendamping. Selanjutnya, Miguel Guntur Pratama alias Guntur yang manis dan humoris. Walau terkadang candaannya tidak bermutu sama sekali. Si lelaki berkulit putih terang yang entah bagaimana sering kali dipanggil "item" oleh teman-temannya. Mungkin karena namanya Guntur. Allura enggan bersusah payah memikirkan hal itu. Guntur terlihat lebih nakal dibanding Yogi, dengan beberapa tindikan telinga yang malah membuat banyak perempuan dibuat terpesona. Guntur juga lebih menghargai perempuan dibandingkan teman-teman satu kandangnya. Namun, slengeannya membuat Allura menghindar sebisanya. Jelas bukan lelaki seperti Guntur yang Allura cari. "Dhi, lo juga tahu 'kan kalau mereka gila?" Dhia tertawa renyah. "Ya jelas gilalah, Lura. Kaptennya aja sejenis Abimanyu. Mustahil kalau mereka nggak ketularan." "Kesimpulannya, mereka nggak layak untuk dijadikan jawaban atas pertanyaan gue." "Gini loh, Lura. Segila-gilanya, Yogi dan Guntur tetap aja laki-laki yang punya mata jeli kalau lihat cewek bening. Lagian kenapa sih pakai nanya?" "Elang nggak kelihatan tertarik sama gue," jawab Allura sebal. Kembali mengingat wajah datar Elang saat menatap kehadirannya. Padahal Allura sudah berdandan sedemikian rupa. Sampai merelakan kakinya mengenakan heels agar terlihat lebih feminim. "Masa sih? Penampilan lo kurang oke kali. Atau jangan-jangan lo pakai jeans sobek ya?" "Enak aja! Gue jadi cewek beneran nih malam ini. Pakai dress selutut, heels segala, make up juga. Gue aja mengakui kalau gue cantik dandan begini, Dhi. Eh si Elang nggak terpesona sedikit pun. Muka temboknya itu loh, pengen banget gue gampar." Suara tawa Dhia kian keras. Membuat Allura mendesis sebal tidak karuan. "Kaki gue sampai lecet begini dan dia nggak kasih gue senyuman dikit aja." "Jadi lo ngarep disenyumin Elang? Gue jadi mikir panjang, Ra. Kalau lo duluan yang bakalan suka sama Elang." Kalimat Dhia setelah berhasil meredakan tawanya. Walaupun masih sesekali terkikik geli. Membuat Allura sebal tidak karuan. "Enak aja! Kasih gue satu alasan kenapa gue harus suka sama tuh om-om nyebelin? Padahal masih banyak laki-laki yang jauh lebih segalanya dibanding dia." "Oke, jadi apa yang bikin lo sampai super bad mood gini? Nggak masuk akal kalau lo cuma mempermasalahkan Elang yang nggak kasih senyuman buat lo, di pertemuan pertama kalian." "Ya gue merasa terhina dong, Dhi. Emang dia siapa? Sok keren banget. Emang dia pikir, dia ganteng banget gitu sampai pasang muka nyebelin dan nggak menghargai kehadiran gue yang jelas-jelas calon istrinya? Gue yang dikejar-kejar dua cowok keren sekaligus bisa dicuekin sama cowok muka tembok itu. Kurang ajar banget 'kan, Dhi?" Dhia kembali tertawa. Suaranya lebih renyah dan keras. Terdengar lebih menyebalkan di telinga Allura. Jika saja Dhia ada di sini, sudah sejak awal ia lempar dengan sepatu hak tinggi. "Kalau begini adanya, Elang keren dong. Bisa pasang muka tembok di depan lo yang dikejar-kejar dua cowok keren sekaligus." "Dhia!" "Haha ... sebentar, Ra. Gue ketawa dulu ... sebentar." Allura yang sudah sebal tidak karuan memilih untuk diam. Membiarkan Dhia menikmati tawanya yang meledak. Menunggunya sampai puas dan terdiam dengan sendirinya. Pasti teman-teman kos Dhia akan melabelinya gila setelah malam ini. Tertawa tidak jelas, terdengar begitu bahagia. "Gini ya, Lura. Ini 'kan pertemuan pertama kalian ya jelas aja Elang belum banyak berekspresi. Dia tuh bukan lo yang asal pasang muka nyebelin begitu lihat Elang." "Kok lo tahu gue pasang muka nyebelin?" "Ya jelas tahulah. Gue udah kenal sama lo lama, Lura. Lo pasti langsung kasih komentar ini, itu setelah lihat Elang secara langsung, 'kan? Padahal ya, Ra, yang namanya manusia nggak cuma penampilannya aja yang dinilai. Sikapnya, sifatnya juga. Lo sih suka negatif thinking duluan setelah lihat tampilannya." "Ya emang mukanya minta di nethingin kok." "Lo tuh mau hidup sama dia nantinya, jangan asal nilai dari penampilannya aja. Lo perlu lebih dekat sama Elang, Ra. Supaya tahu gimana sifatnya." "Dhi, kok lo jadi nasihatin gue begini? Lo udah setuju banget gue nikah sama Elang?" "Loh, emang lo bisa nolak perjodohan ini?" Sialan. Dhia memang selalu tepat dalam mengeluarkan kalimat sarkasnya. Membuat mulut Allura yang masih ingin menyampaikan kalimat panjang menjadi urung. Kesadarannya kembali hadir. Allura memang tidak bisa seenaknya memberi penilaian hanya dari melihat penampilan luarnya saja. Tapi tetap saja, kekesalan itu masih memenuhi hatinya. Mengingat wajah Elang yang menyebalkan. Sikap cueknya yang keterlaluan. Allura tidak bisa untuk menjalani hidupnya dengan laki-laki semacam Elang. Tapi mau bagaimana lagi? Mama sudah memilih Elang. Apalagi tanggal pernikahan mereka sudah disetujui oleh kedua belah pihak. Allura tidak akan bisa menentang. Atau lebih tepatnya, Allura memang tidak memiliki usaha lebih untuk menentang. Walaupun masih keberatan, Allura tidak bisa mengabaikan kebiasaannya sebagai bungsu Mama, yang akan selalu menuruti apa yang Mama pilihkan. Selama itu masih berada dalam koridor yang baik. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN