Allura : 7. Menemani

2058 Kata
Untuk memenuhi ucapannya yang akan menjemput Elang di bandara, lengkap dengan menemani si lelaki untuk kegiatan lainnya, hari ini untuk pertama kalinya Allura bangun pagi di hari libur. Membereskan pakaian kotor untuk ia antar ke laundry, merapikan kamar, dan bersiap-siap berangkat. "Ada apaan nih, tumben jam segini lo udah bangun?" komentar Adeo dari seberang sana. Allura sengaja menghubungi Adeo, karena besar kemungkinan Dhia masih menjelajahi alam mimpi. Apalagi semalam Dhia maraton drama sampai ketiduran. "Gue nggak ikut nemenin lo tanding, De, maaf. Bareng Dhia aja ya." Hari ini Adeo memang ada pertandingan sepak bola di Stadion Pancasila. Acara tahunan kampus bernama porseni (pekan olahraga dan seni). Diisi beragam perlombaan keolahragaan dan seni yang diikuti oleh semua fakultas. Adeo termasuk tim sepak bola dari FEB. Dan jadwal pertandingannya pagi ini, sekitar pukul delapan. "Lo bangun pagi-pagi banget cuma mau bilang begini? Gue merasa tersanjung loh, Ra." Allura menghela napas. "Nggak usah kepedean bisa kali. Gue mau ke bandara nih. Jemput Elang." "Wow kemajuan pesat. Elang sengaja datang weekend begini mau ngapelin lo? Gue kira dia tipe yang pendiam banget, ternyata bisa juga gerak duluan." "Nggak, enak aja! Dia ada undangan gitu dari teman semasa kuliahnya. Rumahnya dekat sini makanya gue yang disuruh jemput." "Wih udah mulai nemenin kondangan nih. Lancar amat pendekatan lo, Ra." "Diam napa, De. Lo cowok banyak omong banget. Udah ya, lo berangkat sama Dhia. Jauh lebih untung karena mulutnya lebih berguna buat teriakin lo." "Iya, doain gue supaya menang. Lo hati-hati bawa mobilnya, Ra. Nanti kalau menang gue traktir deh. Selamat bersenang-senang sama Om Elang." Allura hanya mengiyakan itu. Tidak berminat untuk menanggapi kalimat ledekan Adeo karena pembicaraan mereka akan semakin panjang. Allura langsung memutus sambungan. Memangkas kalimat Adeo yang akan kembali terucap. Mungkin membuat Adeo mengumpat kesal di seberang sana. Beranjak meraih tas selempang dan kunci mobil. Allura memilih membawa mobil sendiri agar tidak ribet. Lagi pula kasihan mobilnya yang sudah lama berdiam di garasi. Allura lebih suka meminta dijemput Dhia atau Adeo saat akan ke kampus. Terlalu mencolok jika membawa mobil sendiri. Dan ya, sebenarnya Allura meminta mobil hanya untuk memoroti uang Mama. Pada kenyataan yang ada, Allura bukan tipe yang suka bermegah-megahan. Ia lebih suka hidup sederhana layaknya mahasiswi perantauan lainnya. Pukul delapan lima belas, Allura sampai di bandara. Jadwal keberangkatan Elang pukul tujuh tepat, berarti Elang sudah mendarat. Allura hanya perlu menunggu beberapa saat sampai Elang muncul. Tidak lama, sosok yang ditunggunya muncul dari kejauhan. Allura menelisik lebih jauh untuk memastikan jika itu benarlah Elang. Sosok tinggi yang mengenakan jeans hitam, dengan kaos putih polos, dilapisi jaket hitam. Menggunakan kacamata bulat juga masker hitam. Dan satu lagi, rambutnya tidak serapi yang Allura lihat seminggu lalu. Kali ini rambut Elang sedikit teracak, yang membuat Allura sedikit salah fokus. "Kamu sudah lama?" tanyanya begitu sampai di hadapan Allura. Allura menggeleng. "Belum. Lura berangkatnya ngepasin sama waktu keberangkatan Om. Jadi nggak perlu nunggu lama." Elang mengangguk paham. "Undangannya jam berapa?" "Resepsinya dimulai jam sepuluh." "Om, ke kos Lura dulu kali ya. Siap-siap di sana. Soalnya kalau kita cari hotel sekarang takut Om telat. Nanti setelah acara baru Lura temani cari hotel buat Om nginep." Elang menyetujui itu. Ini sudah setengah sembilan lebih. Belum lagi perjalanan menuju kos Allura yang membutuhkan waktu. Jadi mungkin Elang akan sampai tepat waktu atau sedikit terlambat di acara resepsi temannya. Alisnya berkerut begitu mendapati Allura yang membuka pintu mobil dan mempersilahkannya untuk masuk. "Kamu bawa mobil ke sini?" tanyanya setelah menduduki kursi di samping kemudi. "Iya." "Saya kira kamu pesan taksi online." "Oh, nggak. Lura bawa mobil dari rumah." Elang menatap perempuan di sampingnya dengan tatapan tidak percaya. Sementara Allura tidak menyadari tatapan Elang karena sudah sibuk menyetir. Allura memang sudah dua puluh tahun. Sudah memiliki SIM, juga sudah layak berkendara sendiri. Namun, bukankah sedikit berlebihan kalau Allura sampai membawa mobil ke kota perantauan? "Kalau ke kampus bawa mobil?" Allura menggeleng. Tidak mengalihkan pandangan. Allura masih fokus dengan jalanan yang cukup padat. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena ini hari libur. Jadi banyak keluarga yang keluar rumah untuk menghabiskan hari libur bersama. "Lalu mobilnya?" "Buat ngisi garasi kos yang kosong," jawabnya santai. Elang semakin tidak paham dengan Allura. Motivasinya membawa mobil hanya untuk mengisi garasi kos yang kosong. Apa itu terdengar masuk akal? "Anak-anak kos banyak yang bawa motor, yang bawa mobil cuma beberapa dan jarang di kos karena sibuk di luar. Kasihan 'kan udah disediain garasi mobil tapi nggak dipakai." Baiklah. Elang mencoba menerima jawaban itu walaupun tetap tidak masuk akal menurutnya. Elang semakin tercengang saat mobil Allura memasuki halaman luas dari rumah bercat putih yang menurutnya cukup mewah. Terkejut, tentu saja. Karena Elang pikir, Allura akan tinggal di kos standar, layaknya anak perantauan pada umumnya. Karena kebanyakan anak rantau, walaupun dari kalangan atas, akan berpikir untuk mandiri. Mulai memiliki rasa untuk tidak lagi merepotkan orang tua. Dan memilih tempat tinggal dengan harga terjangkau. Karena tugas utamanya tentu belajar. Dan akan lebih banyak waktu yang terpakai di luar. Untuk kuliah, melakukan kegiatan organisasi, dan kegiatan lainnya. Apalagi kalau sudah semester akhir. Akan ada banyak praktikum yang diikuti dan membuat kos hanya berfungsi sebagai tempat istirahat. Elang mengikuti Allura menuju pintu utama. Menemui ibu kos dan mengenalkannya sebagai calon suami Allura. Allura juga meminta izin untuk keberadaan Elang selama beberapa saat. Untuk sekadar bersiap-siap sebelum menghadiri undangan. Allura menambahkan jika Mama tahu akan hal ini. Sehingga lebih mudah mendapat izin dari ibu kos. Keterkejutan Elang masih berlanjut. Saat memasuki kamar Allura di lantai dua. Ini jelas bukan kamar kos biasa. Allura memiliki ranjang besar, lemari baju besar, meja belajar yang tersambung dengan rak buku, meja rias, kulkas dan tempat penyimpanan makanan, televisi lengkap dengan sofa panjang, dan AC. Belum lagi ada dua jendela kaca di belakang ranjang, dan satu pintu menuju balkon. Serta satu kamar mandi dalam. "Berapa harga sewanya?" tanya Elang seraya meletakkan tas hitamnya di sebelah sofa. Allura memahami arah pandangan Elang, sedang menelisik isi kamarnya. "Dua setengah juta per bulan." Elang melotot. Menatap perempuan mungil yang baru saja meletakkan segelas air dingin di meja depan televisi. Lengkap dengan camilan. "Minum dulu, Om," perintahnya. Elang mengangguk. Mengambil duduk di sebelah Allura. "Apa nggak berlebihan?" tanya Elang lirih. Masih tidak percaya jika gaya hidup calon istrinya benar-benar di luar dugaan. Dua setengah juta dalam satu bulan hanya untuk membayar sewa kos. Belum ditambah untuk makan Allura sehari-hari, uang saku, UKT tiap semester, perlengkapan kuliah, peralatan make up-nya. Dan ya, Allura juga memakai mobil, tentu ada tambahan biaya. "Berlebihan apanya?" Elang menggeleng. Tidak melanjutkan pembicaraan karena merasa belum memiliki hak untuk mengatur ini dan itu. Semua yang Allura dapatkan saat ini masih berasal dari sang mama. Mungkin Allura terbiasa hidup mewah sampai terbawa ke kota perantauan. Dan ya, Mama saja tidak keberatan untuk semua pengeluaran Allura yang berlebihan itu. Jadi untuk apa Elang mempermasalahkan hal itu? "Setelah istirahat, Om bisa ganti baju di kamar mandi," ucapnya seraya menunjuk satu pintu. Elang mengangguk paham. Kembali menenggak air dingin yang Allura siapkan. "Lura harus ikut atau nggak usah?" "Ikut," jawabnya singkat. Allura bergumam mengiyakan. Berjalan menuju lemari pakaian dan mencari dress yang cocok ia kenakan ke acara resepsi teman Elang. Setelahnya Allura mengganti pakaiannya di kamar mandi. Allura keluar dari kamar mandi sudah mengenakan dress brokat berwarna putih sebatas lutut. Mulai merias wajahnya. Membiarkan Elang memasuki kamar mandi untuk berganti pakaian. Sepasang matanya membola begitu mendapati pantulan Elang dari kaca riasnya. Lelaki itu mengenakan celana formal hitam dengan atasan batik berlengan panjang. Seluruh kancingnya dipasang juga berkacamata. Oh ya, jangan lupakan rambut Elang yang tertata menyamping. Sangat rapi. Sukses membuat Allura memijat pelipisnya. Jika seperti ini tampilan Elang, Allura merasa dandanannya sia-sia. Keduanya lebih mirip sebagai sepasang ayah dan anak dibandingkan dengan calon suami istri. "Om nggak bawa baju lain?" tanyanya. Menelisik penampilan Elang yang benar-benar tidak terbaca. Bagaimana bisa Elang berpenampilan seperti ini untuk menghadiri acara resepsi teman kuliahnya? Sepertinya bukan Elang yang akan merasa malu, justru Allura yang malu. "Kenapa? Ada yang aneh dengan penampilan saya?" Pakai nanya lagi. "Om 'kan tadi lihat Lura pakai apa, seharusnya Om pakai baju yang lebih layak dong. Biar mengimbangi dandanan Lura." Elang mengerutkan keningnya. "Memang penampilan saya nggak layak?" Allura menggaruk kepalanya kesal. Ia pikir, setelah semalam keduanya saling bicara melalui telepon, akan ada perubahan yang baik. Elang yang mulai memahaminya, mungkin. Tapi ternyata sama saja. Elang tetap menyebalkan seperti biasanya. Allura berjalan mendekati Elang. Menarik kerah kemejanya paksa. Membuat si lelaki tersentak dengan perlakuan Allura yang tiba-tiba. Allura sibuk merapikan kemeja Elang. Membuka dua kancing teratasnya. Tanpa memedulikan Elang yang terus menyoroti wajahnya dari jarak yang ada. "Nah ini jauh lebih baik," ucap Allura setelah selesai dengan kegiatannya. "Kita berangkat. Om yang bawa mobil," lanjutnya seraya memberikan kunci mobil pada Elang. Tapi lelaki itu justru terpaku di tempatnya, tanpa pergerakan untuk segera pergi ke acara teman kuliahnya. Membuat Allura mendesis sebal. "Om, buruan! Katanya jam sepuluh." *** Allura tidak banyak bicara selama mengikuti acara. Hanya membuntuti Elang yang berbincang bersama teman-temannya. Memasang senyuman sebaik mungkin, walaupun dalam hati sudah sebal tidak karuan. Allura ingin pulang. Memutuskan untuk ikut ke acara resepsi teman Elang adalah pilihan yang salah. Allura tidak menemukan manusia yang seusia dengannya. Semua yang hadir terlihat tua. Ya maklum, 'kan teman-teman Elang, sudah pasti tua. "Elang, ya ampun. Apa kabar?" tanya seorang perempuan yang baru saja hadir. Menyalami Elang dan tersenyum sangat lebar. "Baik," jawab Elang seadanya. "Kamu masih ingat aku, 'kan? Aku Risa." Elang mengangguk seraya memasang senyuman ramah. Keduanya melanjutkan pembicaraan yang tidak Allura mengerti. Lebih banyak didominasi oleh cerita-cerita masa lalu. Dalam diamnya, Allura mengumpat sebal. Perempuan bernama Risa itu terlihat jelas sedang mencari perhatian Elang. Padahal Elang meresponnya dengan singkat. Seharusnya tidak perlu lanjut membahas hal lain kalau lawan bicaranya saja sudah tidak nyaman. Allura melingkarkan kedua tangannya di sebelah lengan Elang. Membuat si lelaki menatapnya dengan tatapan tanya. Allura tidak menghiraukan itu. Hanya memasang wajah cemberut, dengan tatapan kesal yang terarah pada Risa. Karena kehadiran perempuan itu, Elang jadi sibuk dan mengabaikannya. "Oh, kamu datang sama adik kamu?" tanyanya menatap Allura dan Elang bergantian. Allura semakin kesal dibuatnya. Apa-apaan sih, kok jadi dianggap adik? "Halo, Dek. Kenalin aku Risa, teman kuliahnya Elang," lanjutnya seraya mengulurkan tangan. Allura yang cemberut tetap menerima uluran tangan itu. "Allura, calon istri Mas Elang," jawab Allura. Tidak hanya membuat Risa terkejut, tapi Elang juga. Tidak menyangka jika Allura akan mengakuinya seperti ini. "Elang, ini?" Elang mengangguk. "Iya, ini calon istri saya," jawabnya. Sebelah tangannya meraih tangan Allura dan menggenggamnya erat. "Risa maaf ya, kami duluan," pamitnya. Menarik Allura agar mengikuti langkahnya untuk menemui dua mempelai di depan sana. Mengabaikan Risa yang masih terpaku di tempatnya seraya menatap kepergian Elang juga Allura. Keduanya memberi selamat pada sepasang pengantin itu. Elang juga mengenalkannya sebagai calon istri. "Oh, pantes. Cantik begini," ucap Argan, teman Elang. Allura yang tidak mengerti hanya memasang senyuman ramah. "Allura kok mau sama Elang sih?" tanyanya iseng yang langsung membuat Elang melotot tajam. Sedangkan Raya, istri Argan, memberi pukulan ringan di bahu. Karena menganggap pertanyaan Argan tidak sopan. "Elang udah tua, loh. Sedangkan kamu masih muda, cantik, bening begitu. Masih banyak laki-laki yang jauh lebih segalanya dibanding Elang," lanjutnya membuat Elang semakin sebal. "Raya ajarin nih suami lo biar bisa bersikap baik sama orang," ucap Elang. Allura menatap tidak percaya. Ternyata Elang juga bisa berbicara layaknya anak muda lain saat bersama temannya. Karena sebelumnya, Allura pikir, Elang hanya bisa berbicara kaku dan formal. "Iya, ih. Nggak sopan," ucap Raya, mengingatkan Argan. Membuat laki-laki yang baru berstatus suami itu tertawa. "Ya, maaf. Cuma bercanda, Ra. Jangan dimasukin hati." Allura mengangguk. Menampilkan senyumannya. "Iya, Kak. Paham kok." "Tapi thanks loh udah mau terima Elang jadi calon suami kamu. Kalau nggak dia bisa jadi perjaka tua. Kamu pasti tahu 'kan kalau calonmu ini nyebelin banget. Cewek mana lagi yang mau kalau bukan kamu?" Allura dan Raya tertawa. Apalagi menatap wajah Elang yang sudah sebal tidak karuan. Sedangkan Argan masih menikmati perannya untuk menjelek-jelekkan Elang, tepat di hadapan orangnya. Kapan lagi 'kan bisa menggunakan kesempatan semacam ini? Kalau bukan sedang di acara resepsinya, Argan tidak yakin Elang akan diam saja. "Elang, lo harus baik-baik sama Allura. Dia yang nyelamatin hidup lo. Kalau nggak ada Allura, lo benar-benar jadi perjaka tua, nggak laku." Allura mengangguk setuju. Disambut tawa oleh sepasang pengantin. Sedangkan Elang hanya bisa menghela napas lelah. Argan dan Raya adalah persatuan manusia paling menyebalkan. Dan parahnya, keduanya disatukan dalam ikatan pernikahan. Benar-benar yang namanya jodoh adalah cerminan diri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN