"Menurut penelitian dari Emory University, makin jauh jarak usia pasangan makin besar pula kemungkinan hubungan nggak langgeng," ucap Dhia. Allura mengangguk-angguk senang.
"Terus, Dhi?"
"Pasangan yang memiliki beda usia lima tahun, punya risiko 18 persen untuk berpisah," lanjut Dhia. Masih sibuk membaca sebuah artikel yang tertera di layar ponsel. Allura semakin berbunga-bunga dibuatnya. Sedangkan Adeo menjadi satu-satunya manusia yang tidak mengerti dengan kelakuan dua sahabatnya.
"Lo berdua ada tugas statistik?" tanyanya.
"Udah lo diam aja," jawab Allura dengan senyuman manisnya. Adeo semakin tidak mengerti dengan keanehan yang terjadi pada sahabat kecilnya itu.
"Angkanya akan semakin naik menjadi 39 persen untuk pasangan yang memiliki jarak usia 10 tahun."
"18 persen jarak usia lima tahun, 39 persen jarak usia 10 tahun. Berarti kalau gue sekitar ...." Allura menjeda kalimatnya hanya untuk mengotak-atik kalkulator di ponselnya. "26,4 persen. Yah dikit banget, nggak ada separuhnya. 50 persen kek, atau 75 persen sekalian."
"Lo harus menikah sama orang yang usianya terpaut 20 tahun, baru bisa mencapai angka 95 persen berpisah." Kalimat Dhia yang membuat Allura mendengus sebal. Selisih tujuh tahun saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling, apalagi sampai 20 tahun.
"Sebenarnya gue nggak masalah sama selisih usia, asal calon gue ganteng. Tapi yang ini ... hah Ya Tuhan, salah apa gue?"
Dhia semakin prihatin dibuatnya. "Ya gimana lagi, Ra? Tapi gimanapun jarak usia bukan penentu utama. Bisa aja apa yang Kanaya bilang benar. Calon lo bisa ngemong dan hubungan kalian malah langgeng. Terus urusan muka, katanya cinta itu buta. Mana tahu lo nantinya cinta mati sama suami lo dan dia jadi satu-satunya cowok ganteng di mata lo."
"Dhia apaan sih? Teman lo lagi cari kemungkinan-kemungkinan biar gue bisa lepas dari om-om itu, lo malah ganti haluan gini."
Allura cemberut. Sudah sebal tidak karuan. Sementara Dhia merasa kasihan namun juga tidak mengerti harus bagaimana.
Pagi tadi Mama kembali menghubunginya. Mengingatkan untuk pulang akhir pekan ini. Karena tepat di Sabtu sore akan ada pertemuan dua keluarga. Untuk membicarakan beragam hal mengenai pernikahan.
"De, lo minggu ini balik nggak?"
Adeo yang masih sibuk mengunyah hanya mengangguk. Tanpa memperhatikan ekspresi menyedihkan dari Allura.
"Kenapa?" tanyanya setelah menenggak air mineral sampai tandas. Menjadi satu tanda jika makan siang Adeo telah usai. Ketiganya memang sedang berada di kantin fakultas. Memesan segelas air es untuk mendinginkan kepala yang memanas setelah digunakan untuk berpikir keras. Juga menemani Adeo yang selalu lupa sarapan.
"Bareng. Beliin tiket sekalian," jawabnya lesu.
Adeo menatap tidak percaya pada Allura. Sempat terbatuk juga lantaran terkejut oleh kalimat lirih itu. "Sejak kapan?"
"Apanya?"
"Lo sadar kalau punya rumah."
"Adeo apaan sih lo? Gue lagi frustasi ini loh."
Adeo tertawa renyah. Sebelah tangannya terulur untuk mengacak rambut Allura. Membuat perempuan berambut hitam legam itu menangkis kesal.
"Lo sekalian beliin tiket, Dhi?"
Dhia menggeleng. "Gue nggak balik."
"Mau menjamur lo di sini sendirian. Weekend mau ngapain nggak ada kami berdua? Lo nggak mungkin main sama si cewek antik, 'kan?"
"Nggak banget ya, enak aja. Weekend gue mau refresh otak. Kalau main sama dia yang ada kepala gue makin berat. Kayak teman lo tuh."
"Eh, by the way, ke mana orangnya?"
"Ya lagi ngajarlah. Asdos, Bro. Beda level sama kita-kita ini yang rakyat jelata dengan otak minim," sarkas Dhia
"Lo tumben balik, Ra?"
"Mau ketemu calon suami," jawab Allura dengan nada sebal.
Adeo tertawa. "Ngaco. Kasih tahu gue cowok mana yang mau sama cewek modelan lo?"
"Ih nggak tahu diri teman lo, Dhi."
"Gue nanya serius, Lura sayang."
"Gue juga serius, Adeo. Gue dijodohin. Mau nikah nih teman lo."
Adeo sukses tercengang. Meraih bahu sempit Allura dan menatapnya penuh selidik. "Lo seriusan?"
Allura mengangguk.
"Dhi, beneran?"
"Iya," jawab Dhia. "Nih calonnya," lanjutnya seraya menunjukkan sebuah foto laki-laki berkacamata dari layar ponsel.
Adeo meraih itu. Memperhatikan dengan saksama sampai keningnya berkerut. Setelahnya menatap Allura dan Dhia dengan tatapan tanya. Keduanya mengangguk bersamaan. Detik berikutnya Adeo tertawa renyah. Terlihat begitu menikmati tawanya sampai matanya menyipit.
Allura benar-benar membenci respon Adeo yang seperti ini. Sementara Dhia hanya bisa meringis seraya menepuk bahu Allura lembut.
"Ini manusia purba?" tanyanya setelah tawanya reda.
Ya Tuhan.
Wajah Allura semakin memelas. Kemarin Dhia yang mengomentari sosok Elang dengan kalimat pedasnya. Sekarang Adeo ikut-ikutan. Malah masih sesekali tertawa dengan wajah menyebalkan.
Sungguh, part paling menyebalkan dari ikatan persahabatan adalah, saat kamu terjatuh sahabatmu tidak akan cepat-cepat menolong. Justru menganggapnya sebagai lelucon yang layak untuk ditertawakan.
***
"Apa gue kabur aja ya?"
Kalimat pertama yang terucap setelah Allura menghabiskan beberapa waktu untuk mondar-mandir tidak jelas. Mengabaikan dua sahabatnya yang duduk lesehan di selasar lantai dua gedung fakultas mereka.
"Nggak usah main-main, Lura. Repot urusannya." Ucapan Dhia yang tidak direspon. Karena Allura langsung mendekati Adeo yang terlihat tidak peduli. Sibuk memainkan ponselnya.
"De, lo masih sakit hati sama Kak Biya?"
Adeo mengangguk samar. "Kak Romeo yang nggak tahu diri. Harusnya Kak Biya jadi istri gue bukan ipar gue," jawabnya tanpa beban.
"Gue juga sakit hati karena Kak Romeo lebih pilih Kak Biya dibanding gue. Padahal gue udah suka sama Kak Romeo dari kecil, eh dia malah kepincut sama mahasiswi magang."
Dhia menghela napas malas. Dua sahabatnya mulai lagi dengan kegilaan mereka.
"Karena gue dan lo sama-sama sakit hati, lo harus bantuin gue, De. Seenggaknya sampai gue lepas dari om-om itu."
Bergidik ngeri. Adeo sampai meletakkan ponselnya begitu saja. "Nggak usah ngarang, Lura. Maksud lo apaan?"
"Lo pura-pura jadi cowok gue. Marah atau gebukin sekalian si om-om itu, bilangin jangan dekat-dekat gue. Paksa dia buat ngomong sama Mama biar nggak ada perjodohan."
Adeo otomatis mengibaskan tangannya beberapa kali. "Nggak, nggak. Gue nggak mau punya pacar kayak lo. Enak aja."
"De, lo tega ngelepasin sahabat kecil lo buat om-om dari zaman batu begitu? Tadi lo sendiri yang bilang kalau dia kayak manusia purba."
Adeo menggaruk kepalanya kesal. Meraih ponsel Allura yang tergeletak. Kembali membuka foto Elang. "Sini lihat," ucapnya membuat Allura dan Dhia mendekat.
"Dilihat dari sisi mana pun udah jelas dia cowok baik-baik, Lura. Dia juga kaya dan dewasa. Gue justru bersyukur kalau sahabat gue dapat jodoh yang tepat. Manusia macem lo ini, Ra, susah ngaturnya. Sama orang tua aja nggak nurut, apalagi sama gue nanti. Jadi udah ikutin aja maunya Mama. Gue tuh udah kebiasaan lihat lo yang sok nolak tapi aslinya penurut banget. Jangan jadi Allura yang lain cuma gara-gara perjodohan. Sampai mau kabur begitu. Itu bukan lo banget, Lura."
Allura tidak tahu, kenapa kalimat Adeo terdengar mengharukan. Allura dan Adeo sudah bersahabat sejak kecil. Membuat Adeo tahu betul bagaimana kehidupan Allura beserta keluarganya.
Allura memang lahir dari keluarga berada. Semua hal yang Allura inginkan pasti bisa ia dapatkan. Sejak dulu, Allura sudah dikenal sebagai putri bungsu yang pintar dan terpandang. Sayangnya, kehidupan Allura tidak sebahagia yang terlihat. Jauh di dalam hati, Allura menyimpan luka yang sudah dibawanya sejak kecil. Dan luka itu bertambah seiring pertumbuhannya.
"Jadi, lo mau gue tetap jadi Allura yang b**o dan super penurut, yang nggak bisa ngapa-ngapain padahal hati gue menentang?"
"Lura, kalimatnya nggak gini waktu Mama maksa lo kuliah ekonomi padahal lo suka desain."
Allura menghela napas. "Gue harapan terakhir Mama. Nggak apa-apa. Gue bisa cari kebahagiaan gue sendiri, lewat jalan yang udah Mama buat secara khusus. Dengan begitu, seenggaknya hidup gue jauh lebih berguna sebagai anak."
Ada tatapan miris di sana, namun tertutupi oleh senyuman. Adeo mengulurkan tangannya, menepuk kepala Allura beberapa kali. "Gitu dong, anak baik," ucapnya seraya tersenyum.
"Kalau lo kabur masih pakai duit Mama, itu nggak tahu diri namanya," lanjut Adeo yang diangguki oleh Allura.
"Siapa tahu ini jalan lo, Ra. Dari dulu lo pengen banget pergi jauh dari paksaan nyokap, 'kan? Mungkin dengan lo jadi istri orang, akan lebih mudah untuk lo pergi, tanpa embel-embel jadi anak durhaka. Karena nantinya posisi suami lo akan jauh lebih berhak atas diri lo."
Kalimat Dhia membuat Allura tersindir. Tapi memang begitu harapannya sejak dulu. Ingin pergi sejauh-jauhnya dari jangkauan sang mama.
Lelah terus menjalani hidup sebagai anak yang menanggung segala tuntutan. Allura juga ingin sesekali hidup menurut pilihannya sendiri. Tanpa perlu memikirkan, apakah Mama akan setuju dengan keputusan yang diambilnya? Tanpa perlu merasa bersalah karena secara sadar Allura menentang keinginan Mama.
Jika saja Allura memiliki keteguhan yang lebih, mungkin dulu ia akan ikut Ayah pergi dari rumah, beserta dua kakak lelakinya. Sayangnya, Allura remaja yang polos memiliki rasa cinta yang terlampau besar pada Mama. Membuatnya tetap berdiri, mendampingi Mama sampai saat ini.
"Kalau gue beneran jadi sama om-om itu, lo berdua tetap jadi sahabat gue, 'kan?"
"Ya iyalah, Lura," jawab Dhia yang diangguki oleh Adeo.
"Walaupun bengal, nggak punya sopan santun begini, kami mana pernah menilai orang dari penampilan luarnya, Ra. Kalau cowok itu baik, jagain lo, sayang sama lo, justru kami akan sangat berterima kasih. Karena dengan begitu, sakit yang sejak saat itu lo tanggung bisa sedikit mereda."
Setitik air mata jatuh. Allura menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan. "Adeo, lo sweet banget sih. Kenapa 18 tahun bareng, gue nggak pernah sekalipun jatuh cinta sama lo?" protesnya seraya terisak.
"Dih amit-amit, Ra. Gue juga nggak mau kali sama lo. Masih banyak perempuan waras di luar sana." Adeo bergidik ngeri. Tapi selanjutnya tertawa disahuti oleh Allura dan Dhia.
***