Selamat membaca
Tidak terasa, hari semakin siang, matahari semakin naik dan bersinar cukup terik. Karena cuaca hari ini begitu panas dan menyengat, beberapa orang memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing setelah acara wisuda selesai. Sedangkan yang lainnya masih terlihat sibuk mengambil foto bersama dengan teman-teman terdekat dan keluarga mereka sebagai kenangan.
Seorang gadis hanya bisa mengamati kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitarnya dalam diam. Dia melihat kembali layar ponselnya yang sama sekali tidak ada pesan ataupun panggilan dari seseorang. Dari awal ia tidak pernah berharap banyak, ia sudah menduga jika ayahnya tidak akan datang ke acara wisudanya.
"Megan!" seru seorang riang dari belakang.
Megan membalik tubuhnya dan mendapati seorang gadis yang seumuran dengannya sedang tersenyum lebar sambil melambai-lambaikan tangan ke arahnya.
Ia tersenyum kecil sembari menunggu sahabat dekatnya menghampiri dirinya. Dan ketika Lisa sudah berada di depannya, sahabatnya itu memberikan hadiah sebuah tepukan di lengan, hanya tepukan ringan dan tidak terasa sakit.
"Kemana aja lo, k*****t? Gue udah muter-muter sampai lubang semut, ternyata yang dicari malah diem di sini kayak orang b**o," omel Lisa kesal.
Megan menoyor kepala Lisa.
"Ada hp kenapa nggak telfon?"
"Eh?"
Lisa menepuk dahinya gemas.
"Astaga! Penyakit gue ini emang nggak ada obat," tukasnya kesal dan terus mengutuk otaknya sendiri yang teramat sangat lemot.
"Oh iya, kita foto bareng, yuk. Papa, mama gue udah nungguin lo. Mereka katanya juga mau ngajak kita makan-makan di restoran," ucap Lisa dengan raut wajah ceria.
"Nah!"
"Pas banget, gue juga lagi males pulang."
"Mending gue pergi daripada nanti ketemu sama si Prawira," ucap Megan enteng tanpa dosa.
Lisa membelalakkan matanya lebar.
"Sembarangan! Bapak lo itu!"
"Bapak macam apa yang lebih milih kerja daripada hadir di acara wisuda putrinya?"
Lisa terlihat berpikir sejenak.
"Kalau dipikir-pikir, lo bener juga, Gan. Bapak lo aneh maksimal."
"Parah sih emang, berarti masih mending bapak gue dong. Walaupun dia orangnya rada-rada, tapi dia pengertian banget sama gue."
"Udah? Udah puas bikin gue tambah iri? Udah?"
"Aduh, sorry, Gan. Gue nggak bermaksud mau sombong."
"Iya gue tau, lo cuma mau pamer aja," sahut Megan ringan.
"Nah, bener."
Megan memutar bola matanya malas.
"Udah yuk berangkat," ajaknya ringan.
"Gaskeun, Bosque!" seru Lisa riang.
*****
"Loh, Meg. Papa kamu nggak datang?" Tanya Agung heran ketika melihat Megan dan Lisa hanya datang berdua tanpa Prawira.
"Enggak, Om. Papa kerja," sahut Megan singkat.
"Wah, bener-bener nggak waras si Prawira ini. Semakin hari dia tambah parah aja penyakitnya," celetuk Agung tanpa dosa.
"Papa!" Pekik Sekar geram sambil menepuk lengan suaminya cukup keras karena sudah berbicara yang tidak sopan tentang Prawira di depan Megan.
Padahal memang Agung dan Prawira sudah terbiasa saling menjelekkan dan meledek satu sama lain. Karena mereka berdua tumbuh bersama dan bersahabat dari kecil. Bahkan walaupun mereka berdua sudah sama-sama berumah tangga dan tidak lagi muda, mereka tetap saja melakukan hal itu.
"Om Agung bener, Tante."
"Tuh kan, Megan aja setuju," pungkas Agung girang.
"Tos, Meg," ucap Agung sambil mendekatkan telapak tangannya ke arah Megan.
"Tos!" seru Megan riang sambil menepuk telapak tangan secara bersamaan dengan Agung.
"Papa kamu yang nggak berguna itu mending dibuang aja, terus kamu jadi anak Om, gimana?"
"Wah, ide bagus tuh, Om," sahut Megan setuju.
Sekar menepuk dahinya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah suaminya ini yang selalu menyesatkan Megan.
Setelah mereka semua mengambil foto bersama, mereka segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju restoran.
Karena jaraknya cukup jauh, jadi mereka harus menempuh perjalanan selama satu jam lebih untuk tiba di restoran tersebut.
*****
Megan dan Lisa dibuat takjub oleh desain interior yang berkelas nan elegan ketika mereka baru saja pertama kali masuk ke dalam restoran tersebut.
"Gila sih ini, good banget tempatnya," ucap Lisa antusias.
"Serius kita makan di sini, Om? Apa nggak berlebihan?"
"Berlebihan gimana? Kelulusan kalian kan termasuk moment penting, jadi harus dirayain dong."
"Iya Megan, apalagi kita kan juga nggak setiap hari makan di sini," timpal Sekar menyetujui ucapan suaminya.
Megan menaikkan kedua pundaknya.
"Oke deh, lagian aku juga nggak bayar sendiri, tapi dibayarin Om Agung," tukas Megan enteng.
"Eitsss, siapa bilang?" tanya Agung mulai jail.
"Udah deh, Pa. Nggak usah mulai lagi. Ayo masuk, nanti nggak kebagian meja," omel Sekar sambil menggandeng tangan Agung.
Seorang pelayan yang melihat ada pengunjung datang, segera menghampiri dan menyambut mereka dengan senyuman ramah. Lalu dia menunjukkan jalan ke arah meja kosong.
"Silahkan, mau pesan apa?"
Pelayan itu memberikan sebuah buku menu kepada Agung ketika pengunjungnya itu sudah duduk.
"Kalian berdua mau makan apa?" tanya Agung kepada Lisa dan Megan.
"Aku terserah Om aja," sahut Megan ringan.
"Aku sama kayak Megan, Pa," ucap Lisa menimpali.
Agung berdecak.
"Kalian berdua ini."
"Kalau gitu aku terserah kamu aja, Ma," pungkas Agung enteng sambil memberikan buku menu kepada Sekar.
Sekar membuang napas kasar.
"Kalian semua tuh aneh!"
"Ini juga Megan kenapa jadi ikut-ikutan aneh? Kamu kalau kelamaan main sama Lisa jadi begini, Meg."
"Terus! Lanjutin aja terus! Silahkan caci aku sepuasnya, Ma. Aku suci, kalian penuh dosa," pungkas Lisa dengan raut wajah yang dibuat-buat seperti seseorang yang teraniaya. Mirip sekali dengan salah satu adegan di sinetron berjudul ku menangis yang ditayangkan oleh stasiun tv ikan terbang.
Tapi Sekar sama sekali tidak menggubris drama yang sedang dilakukan oleh putrinya itu, ia justru semakin gencar memberitahu Megan agar jauh-jauh dari putrinya yang kurang waras itu.
"Makanya kamu ... bla... bla... bla..."
Megan hanya mengangguk dan mengiyakan semua nasihat dari Sekar yang memintanya untuk tidak terlalu sering-sering berdekatan dengan Lisa jika tidak ingin ketularan menjadi setres.
Ia benar-benar heran dengan ibu temannya yang satu ini, bukannya memuji putrinya seperti ibu-ibu yang lain, tapi justru menjelek-jelekkannya di depan putrinya sendiri. Sekarang ia mengerti dari mana sifat aneh temannya itu berasal. Karena dia memiliki orang tua yang luar biasa.
"Om, Tante, Megan ke toilet sebentar, ya," pamitnya ketika Sekar sudah selesai bicara.
"Oke," sahut suami istri itu bersamaan.
"Gue ikut," ucap Lisa sambil beranjak dari kursi, ingin menyusul Megan yang sudah berjalan lebih dulu. Tapi tangannya langsung di tahan oleh Agung.
"Eittttt, mau kemana? Hem?"
"Ke toilet, Pa."
"Nggak boleh, kalian berdua kalau pergi ke toilet bareng malah jadi lama. Kamu di sini aja, nanti gantian sama Megan."
"Tapi, Pa. Nanti Megan takut kalau sendirian nggak ada aku."
"Alah, ngarang kamu. Papa tau itu cuma akal-akalan kamu aja biar bisa nyusul Megan. Duduk lagi."
Lisa berdecak.
Ia duduk kembali di kursi sambil memasang wajah cemberut. Padahal ia sangat ingin melakukan mirror selfie dengan Megan. Tapi gara-gara si Agung ini, ia jadi tidak bisa melakukannya.
Setelah Megan selesai buang air kecil, ia sudah berniat untuk segera kembali menuju ke mejanya. Tapi saat ia sedang berjalan, tatapannya tiba-tiba tertuju ke arah seorang pria yang sedang mengobrol dan bercanda ria bersama dengan seorang wanita dan anak perempuan yang ia tebak sekitar berusia kurang lebih 6 tahun di meja yang cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Megan menatap ke arah tiga orang itu dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.
Kemudian ia membuka kontak telepon di ponselnya dan menekan nomor seseorang untuk melakukan panggilan telepon.
Berkali-kali ia menelepon, tapi tidak ada satu pun panggilannya yang terjawab. Sampai saatnya nomor yang ia tuju berubah menjadi tidak aktif, bersamaan dengan orang itu yang baru saja menekan sebuah tombol di samping ponselnya, lalu memasukkan ponselnya ke dalam kantong.
Megan menggenggam ponselnya erat dengan raut wajah yang memerah karena menahan emosi.
Deg
Napasnya tertahan.
Bagaikan tersambar petir, tubuhnya membeku seketika. Hatinya remuk redam seakan ada ribuan jarum yang menancap dan mengoyaknya tanpa rasa ampun. Saraf di tubuhnya seakan mati rasa, ia tidak bisa merasakan apa pun lagi selain rasa sakit yang terus menggerogoti dadanya dengan begitu dahsyat ketika melihat gerak bibir anak perempuan itu yang memanggil pria itu dengan sebutan...
Papa!
TBC.