Chapter 4

1278 Kata
Selamat membaca Jam menunjukkan pukul 24.00. Prawira terbangun dan mengerjapkan mata ketika ada nada pesan masuk. Ia mengambil ponsel tepat di sebelahnya dengan mata yang masih terpejam, lalu ia membuka matanya malas untuk melihat jam di layar ponsel. Setelah mengetahui jam berapa saat ini, Prawira berdecak kesal. Sebenarnya orang gila mana yang mengirim pesan di tengah malam seperti ini. Karena penasaran ingin melihat siapa pengirimnya, akhirnya ia segera membuka kunci di layar ponselnya, lalu mengecek kotak pesan. Pengirim tidak di kenal? Deg Prawira membelalakkan matanya lebar. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Hatinya bergemuruh. Raut wajahnya berubah terkejut ketika melihat beberapa foto yang dikirim oleh pengirim tidak di kenal itu. Foto yang memperlihatkan ketika ia sedang makan bersama dengan Irene dan Aruna di sebuah restoran setelah acara perpisahan di sekolah Aruna selesai. Namun bukan hanya itu saja yang membuatnya syok, ternyata pengirim tidak di kenal itu juga mengirimnya sebuah pesan yang tidak kalah membuatnya terkejut. Pesan yang ditulis paling terakhir. Hari-hari bahagiamu akan segera berakhir! H. Prawira mulai panik dan cemas. Bahkan untuk bernapas pun ia merasa tidak tenang. Siapa sebenarnya H? Apa dia tau tentang hubungannya dengan Irene? Tapi apa motifnya melakukan ini? Seingatnya ia tidak pernah mempunyai musuh sama sekali. Lalu bagiamana dia bisa mengetahui nomor teleponnya? Padahal hanya kolega kerja dan orang-orang terdekatnya saja yang mengetahuinya. Ia juga tidak mempunyai seorang teman yang berinisial H. Prawira mengusap wajahnya kasar. Kemudian ia mencengkram sprei erat sampai buku-buku jari tangannya memutih. Ia tidak akan pernah membiarkan seseorang merusak keluarganya atau pun menyakiti Irene dan Aruna. Ia akan melakukan segala cara untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi. ***** Keesokan harinya. Prawira keluar dari kamar dengan raut wajah yang terlihat kacau. Bagaimana tidak? Setelah mendapatkan pesan dari pengirim tidak di kenal itu, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya kembali. Walaupun ia sudah memblokir nomornya, tapi itu tidak bisa menjamin jika ia akan terbebas dari orang itu. Karena bisa saja dia tetap akan menerornya dengan nomor yang lain. Prawira memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Kepalanya terasa seperti ingin pecah ketika memikirkan tentang hal ini. Moodnya benar-benar buruk. Padahal hari ini ia ada pertemuan penting dengan kliennya, tapi keadaannya justru berantakan seperti ini. Prawira membuang napas kasar. Kemudian ia melirik sekilas ke arah pintu kamar Megan yang masih tertutup. Lalu ia melewatinya begitu saja dan tetap berjalan menuju lantai bawah. Setelah ia tiba di ruang makan. Ia menyeret salah satu kursi untuk ia duduk. "Bi, tolong panggil Megan. Suruh dia turun," tukasnya dengan raut wajah yang terlihat suram. "Baik, Pak," sahutnya ringan. Kemudian Darsini menghentikan aktifitasnya mencuci piring dan mengelap tangannya yang masih basah dengan kain. Lalu ia bergegas berjalan menuju ke arah kamar Megan yang berada di lantai dua. Setelah tiba di depan pintu kamar Megan, Darsini mengetuk pintu pelan. "Dek Megan," panggilnya lembut. "Iya, Bi," sahut Megan dari dalam dengan suara serak. "Dipanggil sama Bapak, Dek," tutur Darsini hati-hati. Ada jeda sejenak sebelum Megan bersuara kembali. "Iya," sahut Megan dengan nada malas. Kemudian setelah itu, Darsini turun kembali untuk menyelesaikan aktifitasnya yang sempat terhenti. Beberapa menit kemudian, Megan turun ke bawah menuju ruang makan. Ia tidak menyapa atau pun berbicara basa-basi dengan Prawira. Ia hanya duduk diam dengan raut wajah tanpa ekspresi. Menunggu Prawira membuka suara lebih dulu. Sedangkan Darsini yang mulai merasa canggung dengan situasinya saat ini, memilih untuk menjauh dari dapur dan mengerjakan pekerjaan yang lain ketika merasakan atmosfir yang begitu mencekam di antara Prawira dan Megan. "Jam segini baru bangun, mau jadi apa kamu?" tukas Prawira tajam. Megan mengepalkan kedua tangannya erat dengan wajah yang masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Anak teman-temannya Papa nggak ada yang pemalas seperti ini, mereka semua disiplin dan berprestasi. Sedangkan kamu? Apa prestasi kamu selama sekolah? Apa pernah kamu bikin Papa bangga? Justru kamu selalu buat Papa malu dan kecewa dengan nilai-nilai kamu yang buruk," pungkasnya dengan nada sarkasme. "Ingat ini baik-baik, kalau kamu terus seperti ini, kamu nggak akan pernah bisa jadi orang yang berhasil seperti mereka. Selamanya kamu akan tetap jadi orang gagal," ucap Prawira tegas dan penuh penekanan. Deg Napas Megan tertahan. Ekspresi wajahnya hancur seketika. Hatinya remuk redam ketika mendengar kalimat yang Prawira ucapakan. Bahkan ia kesulitan bernapas seakan seluruh oksigen di dadanya ditarik secara paksa. Ia menunduk dan meringis menahan sakit di hatinya yang begitu menyakitkan. Apa harus sampai merendahkan dirinya seperti ini? Ia juga sudah berusaha, meskipun itu tidak akan pernah cukup di mata ayahnya. "Maaf, nggak bisa jadi anak seperti yang Papa harapkan," lirih Megan dengan nada getir sambil menangis tertahan. Prawira tertegun. Ia segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar dari rumah, meninggalkan Megan yang terlihat begitu terluka dengan ucapannya. Setelah keluar dari rumah, ia segera menyalakan mobil dan mengeluarkanya dari garasi. Saat mobilnya sudah meninggalkan halaman rumah, ia melajukan mobilnya dengan perasaan kesal. "Arrghh!" teriaknya frustasi sambil memukul stir mobil dengan kasar. Ia membuang napas kasar. Tiba-tiba tatapannya melemah. Tangannya naik ke atas untuk mencengkram dadanya yang terasa nyeri sejak ia keluar dari rumah. Tanpa sadar ia melampiaskan kemarahannya kepada Megan yang tidak tau apa-apa tentang permasalahannya. Padahal Megan juga hanya sekali ini bangun siang karena memang ia sudah tidak sekolah. Seharusnya ia bisa lebih memahami dan tidak perlu sampai sekeras itu dengan Megan, apa lagi mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya ia ucapakan kepada putrinya hanya karena masalah sepele. ***** "Selamat pagi, Pak," sapa Irene ramah dan tersenyum manis ke arah Prawira yang baru saja datang. "Pagi," sahutnya singkat. "Irene, masuk ke ruangan saya," titahnya dengan raut wajah yang terlihat begitu banyak masalah sambil membuka pintu ruang kerjanya. Irene mengangguk patuh, lalu mengikuti Prawira dari belakang. Tidak lupa ia juga menutup pintu setelah masuk ke dalam. Prawira menjatuhkan tubuhnya lemas di atas sofa. Kemudian Irene menghampiri dan duduk di sebelah Prawira. Tangannya terangkat ke atas untuk membelai rambut Prawira yang terlihat berantakan. Sedangkan Prawira memejamkan kedua matanya sambil tersenyum ketika merasakan sentuhan lembut Irene di kepalanya. "Ada masalah apa, Mas?" Senyuman Prawira tiba-tiba memudar dan digantikan oleh raut wajah yang terlihat getir. Ia tidak mungkin menceritakan kepada Irene tentang masalah yang ia hadapi saat ini. Karena Irene pasti akan khawatir. Prawira tersenyum kecil. "Bukan apa-apa, hanya sedikit berdebat dengan Megan." "Kemarin aku cuma mau tanya, kenapa dia pulang sore. Tapi dia malah terang-terangan mengabaikan aku. Jadi akhirnya kami berdebat," ungkapnya pelan. Irene terlihat merasa bersalah. "Pasti Megan sangat sedih dan kecewa karena kamu nggak hadir di acara wisudanya dia." "Seharusnya kemarin kamu nggak perlu datang ke acara perpisahan di sekolah Aruna. Pasti kejadiannya nggak akan seperti ini," tuturnya tertunduk lesu. Prawira menghadap ke arah Irene. "Hei, nggak perlu merasa bersalah. Aruna kan putri aku juga, jadi udah seharusnya aku datang ke acara pentingnya dia." "Tapi kamu jadi berdebat dengan Megan karena masalah ini," lirihnya dengan raut wajah yang memelas. Prawira menghela napas pelan. Kemudian ia mendekap tubuh Irene ke pelukannya dan mengecup keningnya lembut. "Udah jangan dipikirkan lagi. Toh, ini juga bukan masalah yang terlalu penting," tuturnya mencoba untuk menenangkan sambil mengusap-usap lembut punggung Irene. "Tetap aja aku masih kepikiran, Mas. Kasian Meg—" Cup "Hmpp!" Prawira membungkam mulut Irene dengan bibirnya agar Irene tidak berbicara kembali. Karena kepalanya semakin terasa pening. Lalu ia melumat dan menghisap bibir sexy Irene dengan lihainya. Kemudian ia semakin menekan kepala Irene dan memasukkan lidahnya untuk menari-nari dan bersatu dengan lidah Irene yang terasa kenyal dan lembut itu. Irene yang sudah terbawa suasana akhirnya membalas ciuman panas Prawira sambil memejamkan kedua matanya dan berhenti menepuk-nepuk punggung Prawira. Mereka sama-sama terhanyut dengan euforia saat ini, sehingga mereka tidak menyadari keanehan yang terjadi. Jika pintu yang awalnya tertutup rapat itu, sekarang menjadi sedikit terbuka. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN