9- Pertengkaran Angga dengan Nadia

1147 Kata
Rumah Angga "Siapa sayang?" Tanya Angga sambil berjalan menghampiri Nadia. Tadi dia dari kamar mandi. "Dari isterimu sepertinya." Nadia berkata dengan nada tidak suka. Angga terjengkit kaget, dengan cepat dia merebut hpnya dari tangan Nadia. Dia terkejut luar biasa, saat melihat panggilannya yang masih tersambung dan terdengar suara isakan dari sebrang sana. Dengan cepat Angga mematikan sambungan panggilan itu. "Kenapa kamu terima panggilan itu! Aku sudah sering bilang sama kamu kan kalau kamu jangan pernah mengangkat telpon dari Zara!" Angga berkata dengan nada tinggi. "Kenapa marah pada ku sih! Lagian dia sudah seharusnya tahu kalau punya madu!" berteriak kesal. "Tapi sekarang belum saatnya!" masih berteriak kesal. "Lalu kapan saatnya mas!" Nadia mengambil vas bunga di meja lalu melemparnya asal kepada Angga. Prang! Angga yang lengah tak bisa mengelak, dia hanya menghalangi dengan tangannya. Ia akan terkena vas itu tepat di wajahnya andai tak terhalangi tangan. "Aaarrgghh!" Pekik Angga menahan kesakitan. Tangannya langsung lebam nyaris tak bisa di gerakkan untuk sesaat. Melihat hal itu Nadia bukannya menolong, dia malah melenggang pergi meninggalkan Angga yang kesakitan. Bahkan Nadia membanting pintu utama dengan keras saat menutupnya. Mungkin amarah memenuhi hatinya, sehingga dia tak perduli kepada suaminya itu. Angga memilih duduk di kursi sambil mengelus tangan nya yang lebam. "Tok tok," terdengar suara pintu di ketuk dari luar, diiringi suara seseorang yang dia kenal memanggilnya. "Ga! Angga!" "Masuk saja Bu!" teriak Angga, kepada ibu mertuanya. Sang ibu mertua pun membuka pintu dan menghampiri Angga. "Ga, kalian bertengkar lagi?" bertanya dengan raut jengkel. Memang ini bukan kali pertamanya mendengar keributan antara Angga dan Nadia. "Iya bu," jawab Angga dengan meringis. "Kamu kenapa?" memperhatikan tangan Angga yang terlihat sedang dielus tangan satunya. "Biasa," jawab Angga. "Astagfirullah!" Ibu mertua kaget saat melihat memar yang terlihat keunguan itu. "Maafkan anak ibu ya," merasa sangat bersalah. Angga hanya mengangguk saja. Dengan cepat ibu mertua mengambil es batu dari kulkas dan mengompres tangan Angga. Setelah itu, dia pergi sebentar dan kembali lagi dengan membawa obat untuk memar Angga. "Sebenarnya apa yang terjadi Ga? Kenapa rasanya kalian sering sekali bertengkar?" Ibu mertua menatap Angga heran. Angga diam menunduk. Sebenarnya ibu mertua sudah tahu dari Nadia, hanya saja dia ingin mendengar cerita dari versi Angga. "Maap ibu tidak bermaksud ikut campur, tapi kalian sudah terlalu sering bertengkar. Apalagi Nadia selalu bersikap kasar padamu. Ibu jadi tidak enak hati." Ibu mertua mengesah menyayangkan sikap Nadia. "Sebenarnya ini salah ku juga bu. Tadi Nadia menerima telpon dari Zara, dia bla bla bla..." Lalu Angga mulai menceritakan semuanya. Ibu mertua kembali mengesah. "Angga kami memang salah memintamu menikah dengan Nadia tanpa sepengetahuan isteri pertamamu. Ibu pikir, kamu memang seharusnya memberitahukan ini kepada isterimu secepatnya." Ibu mertua berkata dengan gelisah. Dia sebagai perempuan bisa membayangkan seberapa besar rasa sakit Zara nantinya saat suaminya pulang membawa isteri kedua. Angga diam tertunduk pikirannya kacau saat ini. "Dengar Nadia sedang hamil saat ini, jangan biarkan dia banyak pikiran." Ibu mertuanya lalu pamit pulang. Angga merenung memikirkan langkah yang akan di ambilnya. "Maafkan mas, Zara," gumamnya, akhirnya Angga memutuskan untuk berbaring dan menenangkan diri. Rumah Ibu Nadia "Apa-apaan kamu ini Nad! Dengar Angga bisa muak dengan sikap kasarmu itu dan dia bisa meninggalkanmu!" Ibunya berkata tajam. Kesal pada sikap Nadia yang bisa segitu kasarnya kepada suaminya sendiri. Nadia menundukkan kepalanya sambil terisak. "Aku capek mam, dia selalu ingat dia! Padahal jelas-jelas aku yang ada di hadapannya," suaranya terbata. "Kamu jangan marah pada Angga toh wanita itu isterinya! Isteri pertamanya, dan kamu yang ngotot mau jadi yang kedua! Kenapa sekarang itu jadi masalah?" Ibunya berkata dengan kesal. Nadia terdiam kaku, benar perkataan ibunya. "Sekarang bersabarlah, terima kenyataan. Dan kamu harus terima konsekwensinya andai isterinya sudah tahu Kenyataan ini. Mungkin dia akan menerimamu sebagai madu atau meminta Angga memilih diantara kalian." kali ini ibunya berkata lirih, sambil mengelus kepala Nadia lembut. Nadia mendongakan wajahnya menatap ibunya sambil tersenyum. "Semoga saja dia meminta cerai pada mas Angga," ujarnya dengan mata berbinar. "Ck ck, Nadia! Kamu ini keterlaluan, kamu yang salah di sini sudah menginginkan suami orang. Andai Angga bukan pria baik dia tentunya tak akan mau menikahimu dengan alasan yang kamu berikan itu." Ibunya melenggang meninggalkan anaknya dengan kesal. "Maafkan aku Zara, tapi mas Angga sejak awal milikku dan kamu yang sudah mengambilnya dariku. Meski kamu yang pertama menikah dengan nya, Tetap saja aku wanita pertama yang dia cintai," gumam Nadia pelan. Rumah Arya Setelah puas menangis, Zara membersihkan diri tak peduli jika hati sudah melewati jam tujuh malam. Kini dia sedang duduk di sisi tempat tidurnya. Sambil menatap wallpaper di ponselnya. Yang memperlihatkan photo pernikahannya dengan Angga. Mereka terlihat bahagia dalam fhoto itu. Tok Tok Tok Terdengar suara pintu kamarnya di ketuk. Dengan cepat Zara membuka pintu kamarnya. Tampak Arya sedang berdiri diambang pintu dengan raut wajah yang terlihat cemas . "Iya pak Arya ada apa?" merasa heran dengan sikap Arya. "Hemm, kamu baik-baik saja?" Arya menatap cemas Zara. "Tentu saya baik-baik saja. Emangnya saya kenapa?" semakin heran dengan sikap Arya. "Tidak ada, hanya saja kamu belum keluar untuk makan malam. Sekarang sudah jam delapan malam," ucap Angga, dia menatap Zara dengan khawatir. Zara tersenyum. "Saya gak lapar." Jawab nya sambil mengesah, perutnya jadi terasa tidak lapar gara-gara suaminya. "Makanlah setidaknya untuk anakmu," ucap Arya penuh penekanan. Zara menghela nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lembut. "Huuuh, iya saya sampai lupa kalau ada bayi di sini," menatap perutnya yang membesar dan mengelusnya dengan lembut. Tiba-tiba saja air matanya menetes, dia teringat Angga suaminya yang sudah dia yakini berkhianat. "Bersabarlah, nanti kita akan mulai mencarinya besok," ujar Angga meyakinkan Zara. Zara mendongakan wajahnya menatap Arya. Ini adalah kali pertamanya dengan sengaja menatap duda keren ini secara sengaja. Tak di pungkiri Arya memang tampan meski usia nya lebih tua beberapa tahun dari Angga. Tiba-tiba saja pipinya merona. "Astaghfirullah! Kenapa aku menatap pria lain selain suami ku! Maafkan hambamu ini ya Alloh!" Zara kembali menundukkan kepalanya. Sementara jantung Arya sudah berdegup kencang mendapatkan tatapan Zara meski tidak sampai tiga puluh detik saja. "Huuh!" Arya memalingkan wajahnya berusaha menetralkan perasaannya. "Ingat Arya! Dia isteri orang!" dalam hati Arya. "Ada apa?" tanya Arya setelah gemuruh di dadanya berkurang. "Ap apa itu benar, besok kita akan mencari mas Angga?" bertanya dengan gugup, masih malu dengan pikirannya tadi. "Iya, apa kamu punya alamatnya?" tanya Arya. Zara menggelengkan kepalanya." Tidak," jawabnya pendek. Arya tampak berpikir sejenak, lalu melanjutkan lagi bertanya. " Apa kamu tahu perusahaan tempatnya bekerja?" tanya Arya kembali. "Kalau tidak salah nama perusahaannya PT xx...," jawab Zara kurang yakin. "Baiklah kalau begitu besok kita akan mulai pencarian dari perusahaan yang kamu sebutkan tadi," ujar Arya, sedikit tenang. Setidaknya ada titik awal untuk mencari keberadaan Angga. Meski dalam hati kecilnya berharap agar Zara tidak bisa menemukan Angga dan.... "Arhgghh, apa-apaan aku ini! Kok bisa-bisanya berpikir seperti itu," Arya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Membuat Zara heran dengan sikap Arya. "Anda kenapa pak? Apa anda sakit?" Zara merasa khawatir, mengingat Arya pernah sakit waktu itu. "Hemm, saya..." bohong Arya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN