Sebelum tengah hari, kami sudah tiba di bandara tujuan yaitu sebuah kota di pulau Jawa. Kami menggunakan jasa taksi untuk melanjutkan ke tempat tujuan. Perjalanan yang kami lalui kurang lebih selama 3 jam. Selama perjalanan, ibu hanya berdiam diri, sementara aku berusaha untuk memfokuskan diri, merapalkan tameng ghoib diri. Dan kesiapan itu telah dimulai, ketika kaki ini menginjak di depan pelataran rumah yang sangat besar dan mewah.
"Bismillah, kumanti niat kerono Pengeran Ta'ala. Nyawiji dunung siti, manunggal marang tumetesing tirto, panyuwun ingsun, pangayom kerono Allah."
Mendengar ibu membunyikan niatan itu, aku mengikutinya dgn mengucapkan basmalah. Lalu mulai mengikuti langkah ibuku memasuki pagar rumah itu. Langkah kami baru sebatas halaman rumah, tetapi aura panas sudah menerpa, kami disambut dengan negatifnya astral yg menyelimuti area ini. Ternyata rumah itu kosong tanpa penghuni, sepertinya memang sengaja ditinggalkan oleh Bu Larasati. Entah untuk menghindari teror, atau memang selama ini Ia pindah ke rumah suaminya. Hanya satu laki-laki tua dgn sarung berselempang di pundaknya yg datang menyambut kedatangan kami.
"Assalamuallaikum, Mbak Larasnya ada Pak?"
"Waallaikumsalam, Bu Laras sekarang berada di rumah bapak suaminya, di sana juga sedang ada lelayu, Bu!" jawab bapak itu.
"Innalilahiwainnalilahirojiun, siapa yang meninggal, Pak?" tanya ibu.
"Anu, Bu. Bapak mertuanya Bu Laras yang meninggal dunia!"
"Ohh, iya Pak, boleh saya minta alamatnya biar saya ke sana untuk menemui Mbak Laras!"
Ternyata ilmu ini sudah menuai apa yang menjadi tujuannya. Korban pertama telah berjatuhan, yaitu meninggalnya mertua Bu Larasati. Selama dua minggu lebih perutnya membusung, muntah darah, sampai akhirnya ajal memanggilnya. Penanganan medis juga spiritual sudah dilakukan untuk menyembuhkan beliau, tetapi ternyata semua itu tidak mampu menyelamatkan korban.
Rumah duka masih dipadati oleh para pelayat saat aku dengan ibu sampai di sana. Raut wajah wanita itu pun masih dirundung duka, dan terkesan ketakutan sedang menyelimuti nya. Dengan mata sembabnya, sahabat ibuku itu menyalami kami berdua, dan kembali memecah tangis itu dalam pelukan orang tuaku.
Tumprap kamanungsan tanpo pangemban roso welas asih iku kasejatening sesat. Tanpo paningal, tanpo milah ugeman katresnan, dunung peteng netro ati. Kasiprah ngalahirake angkoro murko.
Malam itu aku mendengarkan sebuah kesaksian. Peristiwa kematian yang dipenuhi dengan aroma kejanggalan dan mencurigakan. Mertua Bu Laras meninggal dengan cara sangat tragis, beliau menahan sakitnya selama beberapa bulan, terbaring di bangsal rumah sakit sebelum akhirnya ajal menjemputnya. Aku hanya menjadi pendengar, ketika Bu Laras dan ibu tengah berbicara mengenai kejanggalan yang menjadi misteri dari kematian ini. Kondisi mertua Bu Laras saat sakit sangat memprihatinkan, perutnya membusung besar, dengan badan yang hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Beliau hanya bisa memasukan makanan melalui selang yang ditanam di dalam tenggorokan yang dilubangi. Mulutnya selalu mengatup rapat, tulang rahangnya keras tanpa bisa terbuka, menyatukan barisan giginya dengan sangat kuat.
"Jadi, kondisi almarhum sampai seperti itu!" spontan ibuku berteriak lirih karena kaget.
"Iya, Mbak. Selama dua bulan lebih di rumah sakit, kondisi Beliau seperti itu. Suami juga sudah mendatangkan Kyai dan orang pintar, tetapi hasilnya nihil!"
"Maafkan saya, Jeng. Saya terlambat sampai di sini," Kata ibu seraya mengelus sahabatnya.
"Iya, Mbak. Nggak apa-apa, hanya saja tolong dilihat dulu, kira-kira apa masih ada gangguan lain pada saya dan keluarga," pinta Bu Laras sambil menyeka air matanya.
"Yang tenang ya, Jeng, selalu tawakal, serahkan semua pada Tuhan."
Selama pembicaraan mereka berlangsung, aku menyimak dengan seksama. Aku hanya bisa menimpali jika tenung yang dikirimkan ini tentu bukan main-main, karena sudah beberapa kyai dan paranormal menangani mendiang selama sakit, tetapi tidak juga membuahkan hasil. Meski manusia meninggal secara sihir termasuk syahid, tetapi si korban menahan derita akibat tenung itu. Tentunya hal itu sangat menyakitkan, tatkala menggugurnya dosa oleh dera kepedihan yang dibuat para jin.
Gema tahlil masih berkumandang, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berasal dari dalam dapur.
"Argghh ...!
Kami serempak beranjak ke arah dapur, mencari sumber teriakan berasal. Betapa terkejutnya Bu Laras ketika mendapati sang ibu mertua terjatuh dan kejang-kejang. Mulutnya mengeluarkan buih yang bercampur darah, dengan mata membelalak naik keatas dan tubuh kaku mengejang.
"Astagfirullah, Emaak!" teriak pak Samsi suami Bu Laras.
Semua orang yang hadir di situ merasa takut melihat peristiwa itu, semua mengucapkan istigfar. Dengan bantuan beberapa orang, tubuh tua yang terjatuh itu diangkat ke kamar, tubuhnya masih saja terus kejang dan menggeliat saat mereka menggotongnya. Saat melintasi di hadapanku, terdengar suara ngorok yang keluar dari mulutnya.
"Bu, kok ga ada tanda-tanda datangnya santet, tetapi kenapa tiba-tiba nenek itu kondisinya seperti itu?" aku bertanya dengan penuh kebingungan.
"Semua keluarga ini sudah diincar sejak lama, Le!" jawab beliau.
Belum sempat aku menjawab perkataan ibu, terdengar teriakan dari dalam kamar.
"Emakkk....! Innalillahi, Emaak...!
Semua langsung berhamburan menuju kamar, berusaha melihat ke dalam kamar ingin memastikan apa yang tengah terjadi. Termasuk Bu Laras yang langsung menerobos masuk tanpa permisi lagi dengan orang-orang yang sudah berdiri di depan pintu kamar. Mertua Bu Laras kembali memuntahkan darah segar sebelum meninggal. Suasana menjadi tidak kondusif, semua yang hadir menjerit melihat peristiwa mengenaskan itu. Rasa iba dan prihatin muncul di wajah mereka, belum lagi kering tanah pemakaman sang suami, kini disusul dengan berpulangnya sang istri. Semua wajah terlihat memucat, merasa ngeri akan ilmu santet yang ternyata benar adanya, dan membahayakan!
"Innalillahi wainnalillahirojiun" hanya kata itu terucap dari sudut bibir ibu dan diriku.
"Ya Allah, Emak ... Mengapa secepat ini meninggalkan kami. Bapak saja belum lama pergi meninggalkan kami!"
Kini hanya tangisan dan ratapan yang terdengar dari seluruh keluarga. Suasana hati sedih akibat belum lama ditinggalkan Mertua laki-laki Bu Laras belum hilang, kini ditambah lagi kedukaan yang memilukan.
"Astagfirullah!"
Ibu tiba-tiba berdiri lalu berjalan mendekati salah seorang pelayat, yang tengah berdiri bersandar di salah satu dinding rumah.
Wajahnya membiru, dengan tarikan nafas yang terlihat sangat berat, tersengal-sengal. Dia menekan perutnya, terlihat sangat kesakitan dan perutnya perlahan terus membesar.
"Al, ambilkan tasbih ibu dalam tas, cepat!" teriak ibuku.
Seketika dengan gerak cepat, aku membongkar tas ibu, mengambil tasbih dari kayu berwarna hitam, lalu buru-buru memberikannya kepadanya. Dengan memgumamkan doa, tasbih ditempelkan ke perut ibu paruh baya itu, dengan sekuat tenaga dan berulang kali secara perlahan ibu menarik ke atas mendorong isi dalam perut dengan tenaga dalamnya.
Heg ... heg ... heg!
Mulut perempuan itu terlihat sangat penuh. Terlihat dia mendekap mulutnya, berusaha sekuat tenaga untuk menahan desakan dari dalam tubuhnya.
Hoeekss!
Pertahanannya tidak bisa lagi dipertahanankan.
Byaarr ..!
Dekapan tangannya terlepas, Ia memuntahkan kelabang, kecoak, cacing, beberapa jenis kutu. Mereka keluar bersama lendir berwarna hijau, hewan-hewan itu dalam kondisi hidup, mengeliat dan bergerak-gerak di tengah kubangan lendir.
"Masyallah!"
Orang-orang yang hadir menjerit penuh kengerian.
"Tolong kalian semua tinggalkan tempat ini!" kata ibuku meminta kepada semua orang yang berada di dalam rumah ini untuk pergi menjauh dari lokasi.
"Ngapunten bapak-bapak kalian ibu-ibu, mang di tilar mawon, monggo!" (Maaf buat bapak-bapak juga ibu-ibu, silahkan di tinggal saja, mari!) seru ku pada semua tamu itu.
Setelah semua orang keluar, aku dan ibu berusaha membantu menyembuhkan wanita itu, sementara Bu Laras, suami, dan kerabat lain masih berada di dalam kamar.
"Jangan pernah merasa iba melihat semua ini, itu salah satu pantangan dari santet pring sedapur, Al!" kata ibu.
"Maksudnya, Bu?" aku balik bertanya karena tidak paham.
"Ilmu ini akan berpengaruh lebih dalam jika ada yang merasa iba saat menyaksikan korban. Hal itu akan membuat ilmu tersebut akan mengarah kepada orang yang sedang berkecil hati atau dirundung kesedihan.
Ibu ini kena dampak dari ilmu itu karena dia tidak tega melihat ibu Warsini (mertua bu Laras) meninggal." kata ibu, sambil memijat tengkuk ibu yang terserang santet ini.
Aku hanya mampu terpana, karena baru kali ini menyaksikan sebuah ilmu yang dapat menyerang dengan sangat ganas, selain menghabisi trah keturunan sang target, orang lain pun dapat terpapar ilmu ini jika memiliki rasa belas kasihan terhadap sang korban. Naudzubillah min dzhalik!
Menjelang sore hari pemakaman selesai, makam mereka tepat bersebelahan, dua hari dua kematian sepasang suami istri dengan keadaan yang sangat tidak wajar, mereka kembali menghadap sang Khalik. Disisi lain, ini merupakan cikal bakal awal perseteruan yang baru saja di mulai.