Chapter 1

1865 Kata
*** Matahari muncul dari ufuk timur yang nampak masih malu-malu menampakkan dirinya. Di sebuah kota yang bisa di kategori kan padat penduduk, Bandung. Ada seorang gadis yang telah bangun dari tidurnya, samar-samar dia mendengar sebuah suara wanita paruh baya yang mengguncang pelan tubuhnya, sedikit demi sedikit matanya terbuka, menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke dalam mata. Setelah ibunya beranjak dari kamarnya, dia masih dalam posisi yang sama, duduk sambil menyilangkan kakinya. Tak menunggu waktu lama, dia segera segera turun dari kasurnya dan menuju ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandi paginya. Setelah sekitar 15 menit berkutat di kamar mandi, akhirnya gadis itu keluar dari kamar mandi dengan rambut panjangnya yang basah akibat keramas, dia mengusap-usap rambutnya dengan handuk kecil. Setelah sekiranya rambutnya sudah agak mengering dia segera mengambil mukena untuk melaksanakan ibadah, shalat. Kemudian, dia berjalan menuruni anak tangga menuju dapur. Kebetulan rumah Nayla memiliki dua lantai dan kamar Nayla berada di lantai dua. Satu per satu kaki kecil Nayla menuruni anak tangga. Disana menampilkan seorang wanita paruh baya sedang sibuk dengan bahan makanan di hadapannya. "Pagi, Bundaa," sapa Nayla ketika sudah menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir, yang di sapa pun menoleh dan tersenyum hangat melihat putri semata wayangnya. "Pagi sayang, udah bangun?" "Udah, Bunda lagi ngapain?" Nayla berjalan mendekati ibunya. Lalu berdiri tepat di sampingnya. "Ini mau bikin adonan kue," jawab Erika. Kebetulan Erika adalah penjual kue. Nayla Dewi Amalia anak tunggal dari pasangan suami istri yang bernama Ferdian, Ayah Nayla dan Erika Lestari, Ibu Nayla. Nayla memang bukan anak dari kalangan menengah atas, namun bisa dibilang sederhana. Ibunya hanya seorang penjual kue, dan ayahnya bekerja di kantor sebagai karyawan biasa. Se-sederhana itu bukan? Namun keluarga itu nampak sangat bahagia. "Mau Nay bantuin?" tawar Nayla kepada sang ibu yang melihat sedang kerepotan me-mixer adonan kue di depannya. "Eh iya, Nay, Bunda ambilin tepung terigunya di kulkas ya," suruh Erika. Nayla pun berjalan menuju ke arah kulkas yang posisinya berada tepat di belakangnya. "Ini, Bun," Nayla memberikan sebungkus tepung terigu yang diambilnya dari kulkas kepada sang Ibu. "Makasih, sayang," Nayla hanya tersenyum. "Ada lagi yang bisa Nay bantu gak, Bun?" tanya Nayla lagi, Erika pun menoleh lalu menggeleng pelan tanda tidak ada lagi. Suasana di meja makan kali ini terasa seperti biasa, hanya keheningan yang menyelimuti ketiganya. Nayla, Erika, dan Ferdian kini sedang khidmat menikmati hidangan makanan yang ada di depannya. "Bunda, Nay nanti ikut ya ke pasar," ucap Nayla di sela-sela makannya. Erika yang merasa terpanggil pun menoleh. Begitu pun Ferdian. "Gak, kamu di rumah aja," larangnya berharap anaknya itu mengerti. "Kamu masih jualan kue?" tanya Ferdian tiba-tiba. Lalu menghela nafas berat. "Kan aku udah bilang, kamu gausah jualan lagi. Ini tugas aku, seharusnya aku yang mencari nafkah buat kamu," tutur Ferdian dengan nada sedikit kecewa. Erika merasa tak enak hati, namun dia mampu membuat hati suaminya meluluh. "Aku jualan kue, karena aku suka aja bikin kue, Mas. Aku pengen punya usaha, kecil-kecilan pun gak papa." Erika mencoba menenangkan. "Tapi kan kamu —," Ferdian mendongak, menatap istrinya. Dengan cepat Erika memotong ucapan suaminya. "Enggak papa, Yah. Lagian kan ada Nay yang bantuin, ya kan, Bun?" sergah Nayla cepat dengan kedua alis Nayla yang naik turun, mencoba merayu Erika. Ferdian tersenyum hangat melihat senyum yang mengembang di bibir dua wanita hebat di hidupnya. Rasanya beban yang ada di pikirannya seketika berkurang. "Kamu yakin masih mau jualan?" tanya Ferdian memastikan dengan kedua tangannya memegang pundak Erika. "Yakin, Mas. Lagian kan aku cuma ke pasar buat setor kue aja, gak sampe keliling-keliling. Alhamdulillah nya aku sekarang udah punya langganan, jadi gausah repot-repot," terang Erika. "Ehheemm, emang ya kalo udah berduaan tuh lupa sama anaknya," ucap Nayla dengan nada menyindir. Ferdian dan Erika yang merasa dengan ucapan sang anak, beralih tertawa kecil. "Makanya, kamu cepet-cepet nyari pacar, biar gak iri terus liat Ayah sama Bunda" suruh Erika dengan nada menggoda. Seketika Nayla mati kutu, tak bisa menjawab perkataan ibunya. "Apa sih, Bunda," cerca Nayla dengan malu-malu. Terlihat jelas rona merah di kedua pipi Nayla. "Cieee, anak bunda bisa blushing ternyata," goda Erika bertubi-tubi membuat Nayla tak bisa berlama-lama menyembunyikan wajahnya. Akhirnya dia beranjak dari kursi, menghindar dari godaan sang ibu. Ferdian dan Erika tertawa melihat tingkah anaknya yang tak berubah dari dulu. "Atau mau Ayah cariin, Nay? Anak temen Ayah ganteng-ganteng loh," teriak Ferdian ikut menggoda. "Au ah, Nayla kesel sama kalian," sahut Nayla dari ruang tamu tak kalah berteriak. Sebenarnya Nayla tidak sebenarnya kesal, hanya saja dia malu jika harus terus-terusan di goda oleh ayah dan ibunya. Sebenarnya hari ini hari minggu, jadi sesuai jadwalnya, Nayla sering ikut Erika ke pasar hanya sekedar mengantar, lagi pula Nayla senang dengan itu, dia tidak merasa terbebani. Nayla harus sadar, dia lahir dari keluarga bagaimana, maka dari itu sikap rendah hati harus selalu ada pada, di tanah berukuran 20 m², Ferdian dapat membangun rumah berisi 6 ruangan. Di lantai atas ada kamar Nayla dan kedua orang tuanya. Di lantai bawah hanya ada ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan garasi. Itu pun tidak besar. Maka dari itu Nayla hanya bisa menonton TV di ruang tamu. "Nay, Ayah berangkat dulu ya," tiba-tiba suara bariton membuyarkan fokus Nayla dalam menatap layar TV. "Iya. Bunda mana, Yah?" mata Nayla mencari-cari keberadaan ibunya. "Lagi di belakang, cuci piring," Nayla mengangguk, kemudian beranjak berdiri. "Yaudah, Nay anterin sampe depan ya, Yah," tangan Nayla mengambil alih tas kantor yang di bawa Ferdian. Setelah mobil Ferdian keluar dari pekarangan rumah. Nayla kembali masuk ke dalam, mendapati ibunya yang sedang bersiap-siap dengan keranjang berukuran sedang di lengannya. "Mau berangkat sekarang, Bun?" "Iya," "Yaudah Nayla siap-siap dulu ya," pamitnya lalu berlari menuju kamarnya. Tak butuh waktu lama, Nayla sudah turun kembali menemui Erika. Dengan balutan celana treaning dan hoodie berwarna merah muda, membuat Nayla terkesan cute. "Itu rambut, kamu biarin tergerai?" tanya Erika dengan memerhatikan rambut Nayla yang tergerai indah. Nayla mengangguk polos. Kemudian Erika dengan sigap meraih rambut hitam Nayla, lalu menggulungnya tanpa bantuan sisir dan ikat rambut. "Ehehe, makasih, Bunda," ucapnya lalu mencium pipi Erika dan dibalas senyuman. "Yaudah kita berangkat sekarang." Keduanya pun keluar rumah, tak lupa mengunci pintu. Mereka berjalan menuju jalan ujung komplek. Menunggu angkutan umum datang. Setiap hari inilah yang di lakukan Erika. Dan setiap minggu ini lah kegiatan yang dia lakukan. Tak seperti gadis-gadis lainnya, yang berhura-hura dengan harta yang dimilikinya. Tak menunggu lama, hanya butuh waktu 5 menit, angkutan pun datang. Jarak dari rumah ke pasar juga tidak terlalu jauh. Jadi memungkinkan keduanya untuk cepat sampai. Setelah turun dari angkutan umum, berbarengan dengan ibu-ibu yang lain. Erika membayar kepada sang sopir. Lalu mobil angkutan berlalu pergi. Mereka berjalan menuju toko tujuan. Suara bising mendominasi disana, dan bagaimana seharusnya. Mereka berjalan santai sembari berbincang-bincang. "Nay, kamu gak malu apa Bunda ajak ke pasar," Nayla sedikit tersentak dengan pertanyaan ibunya yang kerap kali dia dengar. Nayla menoleh lalu tersenyum hangat, "Ngapain harus malu, Bunda?" "Kan seharusnya remaja kayak kamu bersenang-senang, gak kayak gini, harus ikut ibunya ke pasar, kumuh kayak gini. Pasti kamu risih, kan?" Erika memerhatikan Nayla dari rambut sampai ujung kaki, lalu beralih menatap keadaan pasar sekitar. Nayla menggeleng cepat, "Kata siapa, Bun? Justru aku seneng, bisa quality time sama Bunda, meskipun cuma ke pasar," Erika merasa tersentuh dengan perkataan anaknya. Erika tersenyum. Tak terasa mereka sudah sampai di tempat tujuan. "Ibu, ini kuenya," seru Erika kepada ibu pemilik toko. Lalu pemilik toko menyuruh menempatkan kuenya di tempat biasa. Setelah memberitahu berapa jumlah kue yang di setorkan dan menerima uang dari si pemilik toko. Keduanya kemudian keluar dari sana dan berjalan pulang. "Nay, katanya kamu pengen banget punya boneka beruang," ucapnya di sela-sela perjalanan. "Iya, emangnya kenapa, Bun?" "Mau Bunda beliin?" tawar Erika seketika senyum di bibir Nayla merekah, beberapa detik kemudian senyum Nayla berubah menjadi senyum kecut. "Gausah deh, Bun," "Kenapa?" Nayla menggeleng, bukan seharusnya dia harus meminta kepada ibunya. Dia sudah dewasa, saatnya dia mandiri. Erika mengalah. Kemudian memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan mata Nayla tak berhenti menangkap sosok teman-teman seangkatannya yang berlalu-lalang menenteng sebuah tas berlambang supermarket. Tak jarang ada yang menyapa Nayla, dan Nayla tak malu-malu menyapa balik. Setelah sampai di rumah, Nayla merebahkan diri di sofa ruang tamu. Dan Erika kembali berkutat di dalam dapur. Saat sedang sibuk bermain ponsel, tiba-tiba Erika datang dan membuyarkan fokus Nayla, "Nayla, Bunda boleh minta tolong gak?" Nayla menoleh lalu mengubah posisinya menjadi berdiri sejajar dengan Erika. "Apa, Bun?" "Kamu mau gak belanja bulanan di minimarket biasanya, stok makanan habis semua. Sama nanti beliin Bunda mixer ya, yang lama udah rusak-rusak," cakapnya, lalu memberikan sebuah kertas berisi daftar belanjaan dan beberapa lembar uang. "Oke, Bun." Nayla menerima uang dari tangan Erika, lalu bergegas pergi mengambil sepeda mininya di garasi. Sambil mengayuh sepeda, sesekali Nayla bersenandung. Suasana kota Bandung sangat membuatnya tak mau bahkan tak berniat untuk pindah dari kota tercintanya. Setelah sampai, Nayla memarkirkan sepedanya di depan minimarket, kemudian masuk dan di sambut ramah oleh mbak dan mas kasir. Nayla berjalan di antara jajaran rak-rak berisi aneka barang. Mata Nayla sibuk mencari dimana letak barang yang mau di belinya. Setelah keranjang yang dibawanya sudah penuh oleh barang-barang yang di belinya. Nayla berpikiran untuk membeli eskrim, saat hendak membuka freezer , sebuah tangan kekar datang dan dengan tak sengaja mereka dalam posisi yang sama. Tangan mereka bersatu di pintu frrezer-nya, dan itu terjadi beberapa detik. Sampai akhirnya kesadaran keduanya muncul, dan mereka gelagapan sendiri. Nayla kemudian mengambil asal eskrim disana dan berlalu pergi meninggalkan cowok itu. Setelah itu Nayla menuju ke kasir. Dan membayar semua belanjaannya. "Eh iya, kan tadi aku disuruh beli mixer," cicit Nayla teringat pesan Erika. "Mbaknya mau beli mixer? Sekarang disini kita jualan barang elektronik," Nayla sempat bingung dengan mbak kasir yang tiba-tiba berceletuk. "Emang iya yah, Mba," Mbak kasir mengangguk ramah. Kegiatan membayar Nayla tertunda, saat Mbak kasir mengajaknya ke ruangan berisi barang-barang elektronik. Nayla kemudian disuruh memilih. Beberapa menit setelah memilah-memilih, akhirnya Nayla memilih mixer  dengan warna putih-orange. "Udah, Mba," ucap Nayla. Kemudian bersama mba kasir kembali ke meja kasir. Dan melanjutkan kegiatan menghitung totalan belanjaannya. Nayla memberikan sejumlah uang kepada penjaga kasir dan kemudian keluar dari sana. Saat sibuk menaruh barang-barangnya di keranjang sepedanya, tiba-tiba badan bertubuh jangkung menabraknya, entah sengaja atau tidak. Membuat Nayla sedikit terhuyung ke samping. Nayla menoleh, berbeda dengan lelaki itu yang malah meneruskan berjalannya tanpa ingin mengucapkan sepatah katapun, menoleh pun tidak. "Woii, jalan pake mata! Apa lo gak punya mata?" sungut Nayla kesal bukan main. Saat lelaki itu masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi, Nayla berinisiatif menendang mobil lelaki itu. "Awww, awas aja lo!" Nayla memekik sambil memegang kakinya yang dia gunakan untuk menendang mobil. Dengan perasaan kesal, Nayla mengayuh sepedanya menuju rumah. Saat sudah sampai di rumah, Nayla menaruh semua belanjaannya di meja makan. "Kenapa mukanya kok di tekuk gitu?" tanya Erika setelah menyadari raut wajah Nayla yang tak biasanya. "Tadi tuh ada cowok yang nabrak Nayla sampe-sampe Nayla mau jatuh. Yang bikin makin keselnya tuh, Bun, udah tau dia salah, masa gak mau minta maaf, noleh pun enggak, Bun," terang Nayla dengan wajah yang sudah merah padam. Erika terkekeh mendengar cerita anaknya dengan tangan mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong plastik. "Ini eskrim kamu?" celetuk Erika membuat Nayla spontan menoleh, lalu menepuk jidatnya. "Aduhh, Nayla lupa kalo tadi beli eskrim," "Kok bisa cair gini?" Sorot mata Nayla berubah tajam, "Ini semua gara-gara cowok tadi, aaaa," pekik Nayla merasa kesal. "Yaudah kamu beli lagi aja, yang ini buang aja," "Tapi kan ... Ishhh siapa sih dia, mana tadi gak liat mukanya. Kalo liat kan gue mau buat peritungan." ancamnya dengan d**a naik turun. "Jangan gitu ah, gak baik," nasihat Erika mencubit hidung Nayla. "Aaahh, Bunda. Nayla lagi kesel nihh," gerutunya seperti anak kecil. Nayla pun kembali ke kamar dengan menghentakkan kaki. Erika yang melihat itu pun hanya menggelengkan kepalanya. ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN