Tampak lebih ceria

1135 Kata
Keesokan harinya. Hari menjelang pagi. Suara ramainya suasana di sekitar apartemen itu. Banyak sekali orang yang pergi berbelanja. Tepat matahari sudah menunjukan sinar cerahnya. Dua orang wanita masih tertidur lelap di dalam satu ranjang yang sama. Tubuh yang kecil seolah mereka sedang menikmati hidupnya. Dia terlihat sangat lelah. "Hmmm... Suara seorang wanita yang mencoba untuk membangunkan dirinya sendiri. Iya, Dilla dia menarik kedua tangannya ke atas. Mencoba merenggangkan otot tubuhnya. Dilla mengerutkan kedua matanya. Mulut menguap sangat lebar. Dia beranjak duduk dengan tatapan yang masih terlihat bingung. Dilla melirik ke samping. Dia melihat Regina masih tertidur lelap. "Ina.. Ina.." panggil Dilla. Jemari tangan Dilla mendorong-dorong tubuh Ina. "Hmm.. Apa sih?" kesal Ina menepis tangan Dilla. "Aku ngantuk!" "Ina.. Kamu kerja tidak?" tanya Dilla. Pandangan mata Dilla menatap lurus pada jam dinding sampingnya. Jarum jam sudah menunjukan pukul 7 pagi. "Ina.. Sudah jam 7. Jika kamu kelar di beberapa hari kamu kerja. Kamu bisa kelar nanti." "Jam 7?" tanya Regina. Dia membuka matanya lebar. Jemari tangan itu mengusap kedua tangan perlahan. "Ini jam 7?" tanya Ina memastikan. Seketika Dia segera beranjak duduk. "Memang kalau telat kelarnya gimana?" Dilla menyipikan matanya. Menatap ke arah Ina. "Kamu gak tau?" tanya Dilla. "Gak tau sama sekali!" kesal Ina. "Kamu bisa di pecat Ina," kesal Dilla. Dia menghela napasnya frustasi harus berhadapan dengan Dilla. Dilla benar-benar membuatnya begitu pusing saat ini. "Dilla, boleh tanya sesuatu?" tanya Regina. Dia membalikkan badannya, duduk bersila saling berhadapan dengan Dilla. "Ada apa?" tanya Dilla, menarik kedua alisnya bersamaan. "Tidak ada apa-apa." ucap santainya Regina. Seketika Dilla menguntupkan bibirnya. "Terserah kamu saja." kesal Dilla. "Udah, aku mau mandi. Sepertinya sekarang ada wanita yang mulai jatuh cinta pada pandangan pertama." sindir Dilla, dia tersenyum tipis, membelakangi Regina. Dan, segera beranjak dari sana. "Regina.. Aku boleh tanya satu hal padamu." "Tanya apa?" tanya Regina. Dia membaringkan tubuhnya lagi. "Enak tidak diantar seorang Ceo terkenal." sindir Dilla, dia tidak berhenti terus menggoda Regina. Apalagi wanita itu begitu polosnya tanpa rasa aneh sama sekali dengan apa yang di lakukannya kemarin malam. "Apaan sih, gak jelas." Ina menutup kedua matanya lagi. Tidur tengkurap, menutupi kedua telinganya. "Ina.. Mandi, nanti kalau tuan besar datang dan melihat kamu telat. Bisa jadi masalah besar. udah bangunlah! Atau aku tarik kedua kakimu." Tubuh lunglai itu terlihat seperti Zombie yang baru saja bangun. "Ina.. Jangan pikir bis atsiri tenang jika sudah mulai bekerja." Dilla, menatap ke arah Regina. Wanita itu masih memejamkan kedua matanya. Bibi tipis itu terlihat begitu seksi saat tidur. "Iya, sudah jam 7. Lebih baik kamu segeralah mandi lebih dulu. Aku mau mandi di kamarku sendiri. Kamu buruan mandi. Sebelum Vian datang menjemput kita. "Iya.." Ina berusaha untuk berdiri. Tubuhnya masih terasa begitu lunglai. Dengan segera Regina juga ikut beranjak dari ranjangnya. Berjalan dengan langkah sangat malas. Tubuh yang belum bisa bangun leluasa. Sudah hampir setengah jam kemudian. Regina sudah selesai bersiap untuk kerja. Dia berjalan ke ruang tamu. Dan, ternyata Vian sudah setia menunggu mereka berdua hampir setengah jam. Bahkan laki-laki itu sengaja tidak membangunkan mereka. Bian takut jika dia menganggu mereka tidur. "Pagi!" sapa Regina. Dia beranjak duduk di samping Vian. "Mana Dilla?" tanya Vian. Regina hanya diam, dia menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin masih bersiap!" lanjutnya. "Ya, sudah! Aku tunggu kalian semua di mobil." "Bentar!" Regina menarik kembali tangannya. Bian terdiam, kedua mata mereka saling tertuju satu sama lain. Vian terdiam sesaat. "Kita sudah telat, ayo berangkat." kata Dilla berlari menghampiri Regina dan Vian. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Dilla. Dia berjalan pelan mendekati Regina dan Vian. Melihat jelas apa yang mereka lakukan. Saling berpegangan tangan. Bahkan kedua mata mereka menatap sangat dalam. "Aku tidak melakukan apapun." Regina menarik tangannya. "Vian, hanya tanya padaku. Ada hubungan apa aku dengan laki-laki itu. Lagian, kita sudha bertemu laki-laki itu sebelumnya." Dilla menganggukan kepalanya. "Oo, aku kira kakian saling suka." "Apa yang kamu katakan?" Regina memincingkan salah satu matanya. Dia mulai rertawa keras. Sembari melihat Vian. "Nggak, lah! Aku tidak mungkin suka sama sahabat aku sendiri. Lagian aku suka dengan temannya bukak dia." ucap Regina menunjuk ke arah Vian. "Kamu ada-ada saja." Bian dan Dilla menatap ke arah Regina. Mereka merasa ada yang aneh pada Regina. Iya, Regina sekarang bahkan lebih banyak tersenyum. Tidak seperti biasanya. Dan, kali ini dia juga bisa tertawa lepas. Vian mengerutkan keningnya dalam-dalam mengamati wajah Regina yang tampak bersinar. Aura wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Regina menarik kembali senyumannya. Dia menatap aneh pada Vian dan Dilla. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Regina ragu. Bian tersenyum menggoda. “Sejak kejadian kemarin, kamu sekarang berubah, tampak lebih cerah dari biasanya. Apa kamu sudah mulai merasakan hal aneh?” Tanya Dilla, dia menarik kedua alisnya ke atas secara bersamaan sembari tersenyum tipis. Ina memincingkan salah satu matanya, dia menatap lekat kedua mata Dilla di depannya. “Apa yang kamu katakan, hal aneh apa? Kenapa aku jadi bingung dengan ucapanmu.” Gerutu Ina, menggaruk kepala belakangnya yang tak terasa gatal. “Gak paham!” ucap Ina. Dilla duduk tegap, menghela napasnya frustasi. Sepertinya memang butuh ekstra sabar untuk berbicara dengan Ina yang sekarang sedikit lemot saat menerima berbagai hal yang membingungkan. Seperti memberi kode sesuatu. “Kamu tidak tahu?” Tanya Dilla mencoba memastikan lagi. “Tah apa?” Tanya balik Ina. “Emm.. Gini, apa kamu merasakan hal aneh pada hati kamu.. Em.. Seperti contohnya jatuh cinta gitu. Atau sebaliknya?”Tanya Dilla berbicara lirih sembari mengerutkan wajahnya takut jika Ina sensitif dan marah padanya. Apalagi sekarang gampang sekali marah. Mungkin dia lagi palang merah, yang membuat moodnya naik turun. “Cinta maksud kamu?” Tanya Ina memastikan. Tatapan matanya begitu datar, semakin membuat Dilla bingung. Wanita berjaket coklat itu terlihat bingung. Dia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali memastikan jika Ina tidak marah dengannya. “Iya, contohnya seperti itu.” Kata Dilla. “OO.. Memang aku suka sama siapa?” balik Tanya Ina, seketika Dilla mengusap dadanya, dia menarik napasnya dalam-dalam mencoba untuk sabar. Dan, lebih sabar lagi. Meski tingkat kesabarannya masih 70 persen. Sepertinya tidak bisa bertahan selama 1 hari. Jika terus di hadapan dengan Ina. “Bukannya kemarin kamu membantu seseorang yang kecelakaan, dan ternyata dia adalah bos Vian. Dan dia dulu adalah mantan bos Axe company sebelum Rian adiknya yang memegang kendali sekarang. Dan, kamu beruntung kenal dengannya. Dari cara kalian bicara kalian sepertinya sudah kenal sejak lama. Pasti kalian kenal sebelum kecelakaan itu terjadi. Saat dia hampir menabrak kamu di jalan.” Bian menoleh ke arah Regina. "Sejak kapan kamu dekat dengan bos ku " timpal Vian. "Kemarin dia kecelakaan." jawab Regina. "Tidak mungkin!" "Aku bilang jujur padamu. Memang dia kecelakaan. Kalau memang bukan terus kenapa juga aku bisa mengantarkan dia." kesal Alice. "Tapi tidak masalah, baru2 hari kamu bisa dekat dengan dua laki-laki cuek. Bahkan kamu bisa meluluhkan dia. Astaga. Regina, aku iri padamu. Apalagi kamu dekat dengan para ceo muda." ucap Dilla yang terlihat sangat senang
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN