Setelah lama berbicara dengan Ibu Eni. Dan, Ibunya juga sudah memberikan beberapa barang Eno. Serta perhiasan yang harus dimiliki oleh Ina. Entah kemana Ina menyimpannya nanti. Perhiasan yang jadi miliknya sekarang. Tapi bukan itu yang diinginkan. Tetapi kenangan saat bersama Eni. Dan, itu menjadi perhiasan pernikahan yang tidak jadi di paksakan.
Meski Vian yang melihat Ina. Terlihat seperti seorang wanita yang benar-benar hampir gila. Jika dia sampai tergoda dengan laki-laki lain. Ina berniat memberikan kembali perhiasannya itu. Setelah di rumah Eno. Mereka menjemput teman Aron di bandara. Setelah lama berada di bandara menunggu keberangkatan temannya. Ina dan Vian sampai tertidur di ruang tunggu dengan posisi duduk. Sampai mereka bertemu di dengan teman Vian. Mereka mulai jalan-jalan di kota sekitar. Dan, teman Vian menginap di rumahnya tidur bersama dengan Ina. Mereka berbincang sejenak. Tapi baru pertama kali teman Bian itu tampak malu dan tidak banyak bicara. Dan, tetapi semuanya berbeda sesuai perjalanan waktu. Ina, semuanya sangat sederhana. Kasih sayang dan cinta Ina pada Eno terus terukir di hati. Kata teman Eno. Saat dia mengingat dalam tidurnya
Keesokan harinya.
Teman Aron dan Ina mereka bersiap berngakg sangat pagi. Bahkan jam 6 sudha bersiap dengan baju lengkap. Jaket tas koper. Semua barang lainnya yang perlu dibawa semuanya. Setelah selesai bersiap. Mereka berdua berpamitan pada Ibu Ina. Ina merasa sedih meninggalkan kedua orang tuanya. Hanya pelukan kasih sayang, dan rasa kehilangan ditinggal anak pertama dan semata wayangnya pergi itu tidak baik. Papa tahu semuanya. Jadi papa tidak mau jika kamu tidak pernah menghubungi keluarga ini. Papa mau. Jika kamu terus saja membuat motivasi tentang hidup Ina." ucap papa Ina yang semula lebih banyak diam, sekarang dia mulai mengeluarkan suaranya. Dia mengatakan semua yang ada di isi hatinya saat ini. Pasti saat hatinya merasa sangat gundah. Harus berbuat apa lagi. Dia terdiam bahkan tidak tahu lagi.
Tepat jam 2 menjelang sore. Ina sudah sampai di kota baru yang akan ditinggali untuk kedepannya. Kita yang terasa sangat panas. Ina masih dalam perjalanan menuju kontrakan yang akan ditinggali nantinya. Dia pergi diantarkan Bian dan temannya. Teman wanita yang saat ini sedang sibuk berbincang di depan dengan Vian. Ina hanya diam, menatap mereka yang terlihat lucu. Sepertinya memang mereka saling dekat. Atau bahkan mereka pacaran. Ina hanya bisa senyum tipis melihat tingkah mereka. Melihat kebahagiaan mereka. Membuat dirinya merasa sangat iri. Ina iri dengan kebahagiaan mereka. Teman yang begitu akrab. Sama seperti dirinya bersama dengan Eno dan Vian dulu. Tapi semuanya berakhir. Saat salah satu pergi meninggalkan pertemanan.
Ina melirik ke samping. Dia menatap beberapa gedung tinggi berjejer. Mereka seakan menyapa kehadirannya. Ina mengangkat tangannya. Meletakkan telapak tangannya dj kaca jendela mobilnya. Dia mengusap kaca itu dengan telunjuk tangan dan jari tengah. Ina tidak berhenti tersenyum, dia membayangkan bagaimana saat dirinya bercanda dan tertawa bersama dengan Eno.
"Seandainya dia ada disini?" ucap Ina lirih. Dia memejamkan kedua matanya kembali.
"Jika kamu disini. Mungkin aku bisa sedikit tenang." gerutu Ina dalam hatinya. Dia mulai merasakan panasnya udara di kita itu menyentuh kulitnya. Tubuhnya perlahan mulai gerah. Hanya hembusan ac mobil yang terasa begitu nyaman saat ini.
"Ina.. Kamu mau makan dulu, gak?" tanya Vian, melirik ke belakang.
"Makan?" tanya Ina. perlahan Dia membuka kedua matanya.
"Iya, memangnya kamu gak lapar?" tanya Ina.
"Lumayan lapar juga." kata Ina. Dia membuang semua lamunannya. Dan, mulai menatap Vian dan temannya bergantian.
"Gimana kalau kita makan di restoran tempat dimana aku nongkrong biasanya. Aku sering makan disana. Makanan di sana itu enak sekali. Semua asli masakan nusantara." saut teman Vian, dia menarik turunkan kedua alisnya. Tersenyum menggoda dengan kedua tangan saling mencengkeram. Mengepak dia letakkan di atas dadanya. Tak berhenti wanita itu menggoda Vian yang masih serius mengemudi mobilnya. Bahkan dia sesekali melirik ke arah Vian.
"Terserah kalian saja!" kata Ina.
"Baiklah! Kita kesana saja." kata Dilla. Dia adalah teman Vian sekaligus teman baru bagi Regina. Dia merasa nyaman saat bersama dengan mereka semua. Seakan punya keluarga baru. Sekarang posisi yang dulu bertiga bersama Eno. Sekarang posisi itu tergantikan oleh Dilla. Dia sekarang yang menjadi temannya. Selalu ada untuknya. Dan, tidak pernah sama sekali melihat Dilla marah atau tidak baik saat bersama dengannya.
Dilla juga yang akan menjadi teman satu kontrakan dengannya. Mungkin akan terasa sedikit aneh nantinya. Tapi, mau tak mau harus mau juga. Dan, Ina menerima satu kontrakan dengannya. Meskipun dia belum melihat bagaimana kontrakan dia sekarang. Dari segi penampilan Dollar yang elegan dan terlihat sedikit wah. Ina yakin jika kontrakan dia lumayan lah. Tidak terlalu buruk. Meskipun dirinya sedikit ragu nantinya.
"Ina.. Kamu jangan diam saja. Tersenyum dong. Jangan murung terus." kata Dilla. Dia menoleh ke belakang. Melihat Ina hang terus saja melamun menatap dengan pandangan kosong. Sementara Bian fokus mengemudi mobilnya. Kedua matanya seakan tak mau beralih dari jalan di depannya.
"Iya." jawab Ina datar. Dia mencoba untuk tersenyum. Meski senyumnya sedikit terpaksa.
Ina tidak bisa melupakan kebahagiaannya. Dia belum bisa tertawa lepas. Apalagi dirinya tahu tentang semua keadaan Jenis sebelumnya. Banyak sekali keinginan Eno yang belum terselesaikan padanya. Hanya keluarganya yang tahu. Tapi, semuanya terlambat. Sekarang, hanya senyum pahit yang bisa dia rasakan. Dia mulai menjalani kehidupan yang kosong. Ina keras kehidupannya penuh dengan sandiwara. Dia harus pura-uda bahagia. Saat hatinya masih terasa rapuh. Dia pura-pura tegar saat dirinya merasa ingin jatuh berkali-kali.
"Ina, kamu akan jadi teman satu atap denganku. Jadi kamu harus lebih banyak bicara ya. Soalnya tahu sendiri bagaimana aku. Soal kamar, nanti kita tidur terpisah. Kamu tenang saja. Kontrakan aku ada dua kamar. Salah satu sudah aku tempati. Jadi kamu bisa tempati kamar satunya. Soal masak, jangan tanya aku tidak bisa masak." kata Dollar sembari tersenyum sumringah.
Dan benar saja perasaan tak enak Ina dari tadi terjawab sudah. Dia akan jadi pembantu rumah tangga nantinya. Hanya dia yang bisa masak. Jika dia masak sendiri juga tidak mungkin tega melihat teman satu kontrakan dengannya tidak makan.
"Oh, ya! Ina nanti kamu masak ya?" tanya Dilla. Dia mencoba bernegosiasi dengan Ina. Menaik turunkan alisnya.
"Sial membersihkan rumah ngaku ngepel serahkan padaku. Tapi, soal kamar mandi. Kamu yang bersihkan?"
"Bersihkan kamar mandi?" tanya Ina, dia mulai membuka suaranya. Seketika terkejut dengan tawaran itu. Kedua matanya melebar sempurna. Seakan bola matanya hampir saja keluar dari kerangkanya.
"Emm.. Kenapa kamu gak suka? Kamu gak suka? Atau, ganti posisi kamu masak sama bersihkan halaman rumah. Dan, memberikan salam rumah." kata Dilla
Kenapa harus seperti itu. Aku merasa tidak adil. Sepertinya memang dia orang pemalas. Bisa mati kutu lama-lama sama dia. Apalagi jika dia tidak pernah sama sekali keluar dari rumahnya dan terus berada di dalam kamar. Bangun terus kesiangan. Entah apa jadinya aku, benar apa yang aku katakan. Bisa-bisa semuanya aku nya kerjakan nanti. Dia hanya tidur saja di dalam kamar. Kalau aku masuk kamarnya juga pasti berantakan sekali. Gerutu Ina dalam hatinya. Dia hanya bisa menghela napasnya. Mencoba untuk tetap tenang dan sedikit sabar.
"Aku membersihkan kamar mandi saja. Kamu menyapu halaman dan dalam rumah. Membersihkan semua ruangan." kata Ina, mulai membalikkan keadaan.
"Emm.. Baiklah!" kata Dilla begitu semangat. Dia mengulurkan tangannya. Ina yang terlihat bingung dengan apa yang dilakukan Dilla, Dia hanya menatap tangan Dilla.
"Kenapa kamu diam, deal gak?" tanya Dilla.
"Oo.. Oke! Deal." ucap Ina
Setelah selesai berbincang berdua. Mobil Vian berhenti di sebuah restoran yang menyajikan menu nusantara yang enak bagi Vian dan Dilla. Ina baru saja mulai mencobanya. Sampai satu jam berada di restoran itu. Perut mereka terasa sangat kenyang. Ina juga makan begitu layaknya. Dia suka makan Rendang. Makanan khas daerahnya.
"Ina, kamu suka rendang sekarang?" tanya Vian, dia menatap aneh pada Ina. Apalagi semua makanan yang di pesan sudah habis hanya sisa piring yang berjejer di atas meja.
"Memangnya kenapa? Lagian Eno dulu juga sangat suka rendang. Aku juga akan melakukan hal sama. Lagian Rendang juga enak." kata Ina.
"Ya, sudah terserah kamu saja." kata Vian.
"Terserah kamu gimana?" tanya Ina.
"Kamu selalu ingat tentang Eno. Aku juga tidak melarang kamu. Tapi, ingat jangan sedih saat mengingat dia. Jangan pernah lagi melakukan hal aneh." tegas Bian mencoba memberikan nasehat padanya. Bian melirik ke arah Dilla yang masih minum jus yang dua pesan.
"Ada apa menatap ke arahku seperti itu?" tanya Dilla pada Vian.
"Aku hanya ingin bilang padamu sekarang. Kamu jaga Regina. Dia tahu sendiri dia tidak baik-baik saja. Jaga dia hanya sampai dia punya pikiran bunuh diri. Apalagi jika dia melakukan hal aneh yang merugikan dirinya." ucap Bian menjelaskan keadaan Regina.
"Dilla melayangkan jempol tangan mamanya. Sembari tersenyum tipis, dan bibir terus saja menyeruput jus miliknya. Sampai habis tak tersisa, Dilla meletakkan gelas kosong itu di atas meja.
"Kamu emang saja, aku akan jaga dia." kata Dilla.
Dollar melirik ke arah Ina. Wanita itu terus saja melamun. Dia melihat orang yang makan berdua. Tapi pandangan matanya masih terlihat kosong.
"Dia sering melamun?" tanya Dilla.
"Iya, makanya aku minta kamu jaga dia. Dia pasti akan melakukan hal buruk. Bahkan dia akan melukai dirinya sendiri." kata Vian.
"Baiklah! Aku tahu sekarang. Ternyata peranti juga banyak juga. Aku harus bantu sembuhkan mental dia. Aku harus buat dia bangkit lagi. Dan, termasuk aku haru jaga dia." ujar Dilla.
"Dan, kamu harus melakukan itu semua. Besok bawa dia ke tempat kamu kerja. Bukanya Besok Regina harus interview?" tanya Vian.
"Iya, dia harus interview. Dan tenang saja bos di sana juga masih sangat muda. Dia juga baru saja kehilangan istrinya saat pesawat jatuh. Bahkan dengan anaknya. Dan, anak di dalam kandungan istrinya. Boss aku juga sama, dia melakukan hal sama seperti Regina. Dia sering murung. Bahkan tidak konsen dalam bekerja. Sekarang, perusahaan masih diambil alih oleh adiknya. Kakaknya masih butuh pemulihan mental di rumahnya.
"Kasihan juga bos kamu. Kenapa dia bisa membiarkan istrinya perjalanan sendiri."
"Sepertinya mereka sedang bertengkar hebat. Istrinya kabur dari rumah. Dan, membawa anaknya. Padahal dirinya sedang mengandung anak kedua nya." jelas Dilla.
Mereka 5erus berbincang satu sama lain. Hampir 2 jam berada di restauran itu. Bahkan sudah menghabiskan dua porsi minuman semuanya. Dan, Ina juga sudah perlahan mulai beradaptasi dengan Dilla. Dia terus saja berbincang dengan Dilla. Teman barunya itu terus saja mengajaknya bicara. Dilla tahu jika Ina diam, dia akan terus melamun dan memikirkan mantan kekasihnya itu.
Setelah selesai makan. Mereka pergi menuju ke kontrakan yang akan mereka tempati. Sudha tepat jam 8 malam. Mereka juga sudah memutar keliling kota. Sebelum dia pergi ke kontrakan. Sampai di kontrakan. Bian langsung berpamitan pulang. Dilla sudah membersihkan kamar yang akan di tempati Regina dia sudah menyiapkan semuanya. Bahkan barang-barang lemari tak atau meja kecil sudah ada di sana. Vian yang membelikan semuanya. Kontrakan yang tak begitu besar itu di tinggali dua wanita cantik yang berusaha hidup mandiri.
Meskipun Ina termasuk ora mampu. Dia punya segalanya. Mobil dan bahkan beberapa montor di rumahnya. Orang tuanya punya perkebunan sawit. Namun Retina tidak mau bergantung pada orang tua. Dia ingin maju sendiri. Mencari rezekinya sendiri dengan kerja kerasnya sendiri.
"Ina.. Ini kamar kamu?" ucap Dilma, di perlahan membuka pintu kamar dengan ukiran klasik, berwarna putih terang.
Kedua mata Ina menelisik setiap sudut ruangan. Ina mengamati detail ruangan itu. Ruangan yang tampak sangat bersih dan rapi.
"Apa kamu yang merapikan ini?" tanya Ina pada Dilla. Dan, hanya di jawab dengan anggukan kepalanya.
"Sekarang kamu masuk, dan istirahat. atau kamu mandi dulu Setelah itu istirahat. Aku juga mau mandi, badanku sudha terasa sangat lengket." kata Dilla.
"Baiklah! Aku juga mau mandi." Ina perlahan mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar itu. Sembari menarik koper yang dia bawa. Membawanya masuk ke dalam kamar.
"Aku tinggal dulu." ujar Dilla, dia menutup kembali pintu kamar Ina. Ina yang terkejut sempat menoleh ke arah pintu sesaat. Lalu kembali menatap kedepan. Berjalan menuju ke ranjang putih yang sudah menunggu dirinya. Ina menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang luas. Dia merentangkan kedua tangannya. Sembari memejamkan kedua matanya. Menciba untuk menangkan pikiran dan hatinya.
Hari ini aku berada di kota baru. Aku ingin sekali merasakan kehidupan baru. Aku ingin memulai kehidupan tanpa harus melupakan kamu. Eno. Gerutu Ina, dia membuka matanya. Kedua mata itu mulai menatap atap langit kamarnya. Dan, benar saja dia melihat bayangan Eno. Entah ada apa dengan pandangan matanya. Seolah bayangan Neo terus saja mengganggu dirinya. Ina memejamkan kedua matanya lagi. Dia berusaha tegar kembali. Ina menarik napasnya dlama-dalam, menahannya beberapa detik, lalu mengeluarkan secara perlahan dari sela-sela bibirnya yang setengah terbuka. Sampai tak sadar dia mulai tertidur lelap di ranjangnya.