Masih nenyimpan luka

1533 Kata
Selama beberapa hari di rawat di rumah sakit. Ina merasakan sudah baikan. Dan sesuai perintah dokter. Orang tuanya menjauhkan semua berita baik televisi atau koran sekalipun. Bahkan ponseknya juga di sembunyikan oleh ornag tuanya. Merasa suntuk, Ina hanya menatap makanan yang di depannya. Dia bingung dengan dirinya sekarang. Kenapa pikirannya masih helum tenang. Ada sesiatu yang masih harus di kenang. Tetapi dia tidak tahu, dan orang tuanya juga tidak pernah cerita padanya. Merasa bosan. Ina mulai herjalan sendiri, mencoba untuk kencari remit tv. Lalu menyalakannya. "Sudah dua hari tv ini tidak ada yang melihat." ucap Ina. Tersenyum tipis, dia hanya diam menatap makanannya . Dan kembali duduk di ranjangnya. baru pertama kalu menyalakan tv. Ke dua mata Ina membulat seketika. Saat dia melihat pesawat jatuh. Pikirannya mulai kacau. Banyak korban yang masih belum di temukan. Ina mencoba mengamati lagi. Kejadian itu 2 hari lalu. Jadi ini, kenapa aku masih sangat familiar dengan pesawat jatuh. Ina terdiam sesaat. Dia mulai teringat tentang calon suaminya. Antara ingin menangis, berteriak, tau berlari, tetapi tubuhnya terdiam kaku. Mencengkeram erat remot tv. Sembari menatap kosong ke arah tv di depannya sedikit ke atas. "Eno… Iya… Eno… dia belum juga di temukan. Dia masuk ke dalam list korban. Apalah memang benar, dirinya pasti selamat, kan? Aku harap begitu." gumam Ina. Ia mencoba menetralkan kembali pikirannya. Harapannya perlahan mulai pupus, jika dirinya terus memikirkan Eno. Kepalanya terasa sangat pusing. Dan perlahan otak itu mulai yak bekerja. Membuat tubuhnya kaku seperti patung hanya diam, menatap ke depan. Ina memejamkan matanya. Ia mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Menahannya, lalu mengeluarkan secara perlahan. "Aku harus tenang. Aku harus tenang. Jangan sampai… Kau gak mau rasa sedih ini mulai melia merasuki tubuhku." gumam Ina. Merasa sudah tenang. Ia segera mematikan ponselnya. Dan duduk diam, dengan tangan memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Suara pintu terbuka membuat Ina, menoleh seketika. Dia menatap ke arah pintu. Melihat seorang wanita paruh baya dengan baju kasual bisa terlihat cemas, berjalan mendekatinya. "Ibu…" gumam Ina. Tak kuasa meneteskan air matanya. Iya… Aku masih punya Ibu, yang harus di bahagiakan. Masa depan aku masih panjang. Aku harus bisa ikhlas. Aku harus berusaha untuk merelakan dia pergi untuk selamanya. "Ina... gimana keadaan kamu?" tanya Ratih, berjalan menghampiri anaknya. Ia duduk di ranjang, mengusap lembut rambutnya. Sembari mendekap kepalanya sangat erat, menyandarkan di dadanya. Perlahan hati Ina mulai tenang dalam dekapan ibunya. "Kamu kenapa masih merasa sangat sedih?" tanya Ratih. "Aku tahu, ibu. Pasti bohong padaku? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan dariku. Apa aku gak bisa melihat secuil masalah dari kalian." ucap Ina menggebu. Menatap inunya berada dia sangat kesal padanya. Hal sebegitu besarnya di sembunyikan. Ratih tertunduk. Ia merasa sangat berat untuk berbicara dnegan Ina anaknya. Tak kuasa air mata perlahan mulai terjatuh dari matanya. "Maafkan, ibu." ucap Ratih lirih, memalingkan wajahnya. "Ibu… Kenapa kalian semua tidak jujur. Jika kalian jujur, aku pasti bisa menerima semuanya." "Ibu dan papah kamu takut, Ina. Takut kejadian dua hari lalu. Kamu tiba-tiba shok. bahkan jantung kamu berdetak lebih cepat dari biasanya. Kita semua takut, jika kamu kenapa-napa. Dan Dokter menyarankan untuk tidak bicara dengan kamu tentang semuanya." ucap Ratih, memeluk erat tubuh Ina. Dengan ke dua tangan mengusap punggungnya. "Maafkan, Ina. Ibu. Ibu belum membahagiakan Ibu. Ina belum bisa memenuhi kewajiban Ina untuk menikah. Dan memberikan cucu untuk Ibu. Sekarang semua sudah berlaku. Eno.. . Eno sudah pergi. dan tak akan pernah kembali lagi." tangisan dari ke dua mata mereka mulai pecah. Mengalir begitu derasnya. Ina melepaskan pelukan Ibunya. Sia mencoba untuk tetap tersenyum meski hati terasa sangat sakit. "Eno…. Eno sekarang terbang tinggi.. Dengan tujuan yang berbeda Ibu. Dia sekarang sudah di atas. menatap Ina. Sembari tersenyum melambaikan tangan ke arah Ina. Dan Ina yakin itu." Ina, mengusap ke dua matanya dengan punggung tangannya. "Ina… Aku harap, kamu bisa selamanya Ikhlas." Ratih, tetap berusaha menguatkan Ina. Meski kemungkinan sangat kecil. Ina bisa tegar. Karena cinta mereka begitu besar. "Semoga saja, ibu. Aku harap juga begitu." ucap Ina. Menarik dua sudut bibirnya mengukirkan sebuah senyuman tipis di bibirnya. Ratih mengusap kepala Ina. "Berbaringlah di pangkuan ibu. Aku ingin sekalu bilang apda kamu semuanya. Tetapi, ibu juga ingin jaga perasaan kamu. Tieak mau melukai hati kamu. Kata dokter, sangat bahaya jika seseseorang terkana Sindrom patah hati. Ibu tak mau kehilangan kamu." "Apa itu… Berbahaya ibu?" Tanya Ina. "Iya… jadi ibu lebih suka diam sekarang." ucap Ina. Sentuhan jemari tangan ratih mengusap lembut wajhanya. Membaut ke dua maganya merasakan sebuah senyuman tipis di wajahnya. "Ibu… Jangan khawatir. Aku akan coba untuk ikhlas. Meski terasa sangat berat." Ina terus meneteskan air matanya. Tangisannya semakin pecah saat pikirannya mulai di racuni lagi tentang kabar pesawat itu. "Hikss… Hikss.. Semua aku bisa antara… Aku bisa ambil perkara dari ini semua… Aku harap.. Aku bisa hidup bahagia tanpa dia? Meski kemungkinan 10%. Aku tidak tahu, harus gimana? Aku ingin sekali bertemu dengannya untuk terakhir kalinya." Ina tidak ada hal yang mustahil. Papah, yakin! Dan sangar yakin, jika kamu kelak akan bahagia." ucap Papa Ina. Berjalan menghampirinya. "Kenapa, papa sebegitu yakinnya. Papa tahu? gimana perasaan Ina sama Eno. Gimana setianya Ina sama Eno. Dan gimana, rasanya jika seorang wanita bisa tegar. Jika di tinggal calon suaminya." "Apalagi, sekarang dia belum di temukan. Sudah dua hari, pah… Dua hari…" Ina meninggikan suaranya. "Ina.. Tenanglah! Tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Jika kamu yakin dia masih hidup.. Teruslah mengejar keyakinan kamu. Jika kamu lelah, berhenti dan mulailah hidup baru." "Eno bisa… berenang? Dia bisa berenang pa? Aku yakin, sekarang dia pasti berusaha berenang menyeberangi lautan. Dan dia akan kembali lagi padaku, aku yakin… Iya.. aku yakin. Hikss.. " Ina tertunduk, ke dua matanya memerah seketika. Air mata tak berhenti terus keluar. Meski begitu, dia mencoba untuk tetap mengontrol hatinya. "Sudah, tenanglah. lebih baik kamu makan dulu. Jika memang dia masih hidup. Kamu bisa menunjukkan padanya jika kamu juga masih sehat. Dan selalu menunggunya." Ratih, mencoba untuk tersenyum. Meski hatinya juga terluka melihat anak satu-satunya terluka. ------ 1 Hari berlalu, Ina yang sudah kembali pulih. Dia sudah di sarankan bisa pulang oleh dokter. Dia segera pulang, dan mulai terlihat begitu santainya. Pikirannya semakin tenang, antara ikhlas tidak ikhlas harus merelakannya. Meski begitu dia juga tetap ingin berusaha untuk mencarinya nanti. Merasa sudah tenang, dan keadaan mulai membaik. Ina bersiap untuk ke pantai. Dia ingin sekali melihat keadaan di pantai saat ini. Siapa tahu ada bukti jika memang Eno tidak ada di sisinya lagi nanti. Ina, yang baru selesai mandi. Dia segera memakai baju biasa yang dia pakai. Dengan celana panjang. Selesai pakai baju. Ina merapikan rambutnya. Hanya berpakaian sederhana tanpa bedak sama sekali. Dia berjalan meraih sweater miliknya. Dan segera beranjak keluar kamar. "Ina… Kamu mau kemana?" tanya Ratih. Berjalan menghampiri Ina. "Aku pergi sebentar. Lagian, hari ini aku gak ada kerjaan. Jadi aku ingin jalan-jalan. Mencoba nenangin pikiran." gumam Ina. "Kamu, yakin?" tanya Ratih. "Memangnya aku gak yakin, gimana, sih, mah. Aku itu baik-baik saja. Gak ada sama sekali niatan dia untuk bersedih memengenang yang telah pergi. "Tenang saja. Ina pasti bisa jaga diri." ucap ratih, menepuk bahu Ratih. Dan segera pergi. Keluar dari rumahnya dengan langkah terburu-buru masuk ke dalam mobilnya. "Kemana dia jalan-jalan. jangan sampai dia ke pantai. Hanya untuk mencari Eno." ingat Ratih. "Iya… Iya.. tenang saja, mama, atau ibuku yang paling aku sayangi." ucap Ina sembari melambaikan tangannya. Dia segera melaju dengan kecepatan sedang keluar dari halaman rumahnya. Maaf, ma.. Aku bohong sekarang. Aku ingin melihat keadaan Eno. Sapa tahu aku bisa menemukannya. Aku yakin, Eno pasti ada di sana. Sepertinya aku harus ikut dalam pencarian." gumam Ina. Ia terligatbtersenyum kembali. Meski senyumnya menyimpan sejuta kesedihan yang menyayat hatinya. "Meski dia sudah tidak ada. Aku harap Jasadnya segera di temukan dengan keadaan utuh. Aku…. Aku.. Ingin melihatnya.. Meski hanya satu kali saja.. Aku ingin melihatnya hanya untuk satu kali… sebelum dia di kuburkan nanti." Ina tak kuasa menahan tangisnya lagi. Ia mengusap air matanya, dengan punggung tangannya. Dan mulai fokus lagi untuk menyetir mobilnya. Sampai di pantai. Ina segera keluar dari mobilnya. Sedikit angin pantai membuat rambut panjangnya tersapu angin, Ina memakai kaca mata hitam. Berjalan menampakkan kakinya di atas pasir berwarna coklat dengan langkah kaki ringan. Dia sengaja tanpa menggunakan alas kaki. Dan mencoba untuk menembus kasarnya pasir di telapak kakinya. Berjalan mendekati air laut. Ujung kakinya tersapu ombak. Dinginnya air laut hati ini, di selimuti dengan awan hitam yang menyelimuti langit. "Sepertinya cuaca hari ini tidak mendukung sama sekali. Aku harap kamu segera pulang, Eno. Kamu sudah janji padaku. Kamu harus tepati janji kamu sekarang." gumam Ina. Dia beranjak duduk di atas genangan pasir yang terlihat sangat basah. Desiran ombak menerpa ke dua kakinya. Ia tak beranjak dama sekali dari pinggir pantai. Meski ke dua kakinya dan pinggulnya badah sekalipun. Ina menggenggam pasir hitam. Ia mencengkeram sangat erat. "Eno.. Aku mohon padamu, temui aku. Untuk yang terkahir kakinya. Jika memang kamu sudah tidak ada. Aku mohon, kembalilah dengan keadan untuk." Ina meneteskan air matanya tepat di atas punggung tangannya. "Eno.. jangan pernah membuat hatiku sedih lagi, aku mohon padamu.. Aku mohon." Ina menundukkan kepalanya, hingga menyentuh ke pasir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN