Bener aja, Benz tersulut emosi. Dia nggak nyangka kalau Maria bakal santai aja di deketin sama cowok lain. Kesel banget pokoknya, Benz mau buat perhitungan pada wanita itu selepas pulang ngampus. Benz nggak suka kalau Maria terkesan gampangan banget di deketin banyak lelaki.
Selepas pulang dari universitas.
Maria langsung Benz seret menuju ke dalam rumah. Udah geram pen nyocot mulut si Benz.
"Apaan sih lo! Narik-narik gue, sakit taku nggak!" emosi Maria.
"Gue kesel ama elo! Elo itu istri gue, Mae! Jaga sikap dong! Jan ganjen gitu."
Maria ikut tersulut emosi, dia geram dengan tingkah benz yang menurutnya sudah kelewat aneh, nuduh sembarangan.
"Jadi elo nganggep gue cewek murahan gitu?! Iya bener, gue emang deket sama banyak cowok. Tapi ... gue nggak pernah sembarangan mau di sentuh!" emosi Maria.
Benz jadi bingung, bukan maksudnya menyinggung perasaan istrinya. Hanya saja ia tak percaya jika gadis secantik Maria masih begitu polos.
"Maafin aku ya ... bukan maksud aku kayak gitu." sesal Benz. Saking nyeselnya ampek ngubah cara ngomong, biar alus bin manis.
Maria mengangguk paham.
.
.
"Enggak kok, gue percaya sama elo. Jangan pernah hianatin kepercayaan gue."
"Pasti! Aku nggak akan nyia-nyiain kamu. Aku bakal ada buat kamu." mantap Benz.
Maria tersenyum dan memeluk erat tubuh pemuda di hadapannya. Rasa nyaman mulai ia rasakan saat bersama dengan pemuda ini.
Mereka pun akhirnya berlanjut menuju ke tempat universitas mereka berdua.
Malam pun tiba.
Benz tiba-tiba menghubungi Maria. Ia bilang jika dirinya tengah mengalami kecelakaan, tepat di depan kantor tempatnya kerja. Tanpa pikir panjang, Maria berlari menuju ke lokasi tersebut. Bahkan ia sampai lupa tak memakai alas kaki, berlari melewati gang komplek agar lebih cepat sampai.
Mengabaikan rasa perih di telapak kakinya. Entah terkena apa, yang jelas sangat sakit.
Sesampainya di tempat tersebut.
Maria celingukan mencari keberadaan sang kekasih. Jangan lupakan peluh dan napas yang sudah tersengal-sengal.
"Benz ... elo di mana?!" teriaknya.
Tak ada seorangpun di sana. Maria meluruhkan tubuhnya, ia merasa bodoh. Kenapa bisa dibohongi seperti ini?.
Hingga suara seorang lelaki di belakangnya mengalihkan perhatian gadis tersebut.
"Selamat ulangtahun ...," ucap pemuda yang tak lain adalah Benz itu.
Maria membalikkan badannya, dan berdiri. Ia tersenyum, menatap sosok pemuda yang kini terlihat tengah menumpu sebuah kue di kedua telapak tangannya.
"Kok elo tau hari ulangtahun gue?" Maria tersenyum haru.
"Apapun tentang kamu, akan aku cari tau."
"Makasih, elo orang pertama yang ngasih surprise ke gue," Maria tertawa. Jika begini terus, ia bisa-bisa jatuh cinta beneran pada pemuda ini.
"Masih ada lagi." ucap Benz, merogoh saku jaketnya. Mengambil sebuah kotak berwarna biru dari dalamnya. "Ini kado dari aku, semoga kamu suka. Jangan dibuang, jangan dijual."
Maria membuka isi kotak biru itu. Sontak membuat ia terkejut bercampur bahagia. Saat mendapati apa isi dari kotak itu. Yang tak lain adalah sebuah kalung berbahan emas putih. Kalung yang selama ini Maria idamkan.
"Benz! Elo serius? Ini kan kalung yang gue inginin. Gimana elo bisa tau juga coba? Dan lagi ... ini tuh mahal." ucap menggebu Maria, tak percaya jika Benz akan melakukan hal ini. Maria lupa jika Benz merupakan keturunan ningrat keluarga Tsugiono.
"Sudah aku bilang, apapun akan aku lakuin buat kamu. Asal kamu bahagia," tutur Benz.
"Benz. Makasih banyak!" Maria langsung memeluk tubuh pemuda tersebut. Ia benar-benar sudah jatuh dalam cinta Benz. Ia merasa nyaman dan terlindungi, saat berada di samping pemuda tersebut.
Benz tersenyum, beberapa kali ia mengecup pucuk kepala sang kekasih.
"Aku cinta sama kamu Mae!" ucapnya, hanya satu yang pemuda itu harapkan. Jawaban yang sama, seperti apa yang ia ucapkan.
"Gue juga cinta sama elo, Benz." Enam kata yang mampu membuat jiwa Benz bergejolak, ingin rasanya iya terbang membubung tinggi ke langit ke tujuh.
"Mae! Katakan sekali lagi!"
"Gue ... cinta ... sama ... Benz Bamantara Tsugiono!!!" Maria berteriak, melupakan jika mereka masih berada di pinggir jalan.
"Sttt ... ke Apartemen aku yuk. Malu diliat orang." bisik Benz.
Maria mengangguk setuju dan mengambil alih kue dari tangan sang kekasih. Memakannya sambil jalan, benar-benar seperti anak kecil memang.
Di perjalanan menuju ke Apartemen.
Maria baru menyadari jika ia tak memakai alas kaki, ditambah kakinya ternyata juga terluka.
"Asshh ...," desisnya. Melihat ke arah telapak kakinya.
Benz juga sama bodohnya, kenapa ia tak menyadari jika kekasihnya tak memakai alas kaki?. Dan juga ... astaga! Kaki Maria terluka. Buru-buru Benz mendudukan tubuhnya, melihat kaki sang kekasih.
"Kamu dari tadi nggak makek alas kaki?!" kagetnya.
"Elo sih gara-gara." cemberut Maria.
"Segitu khawatirnya ke aku, sampek kamu lupa makek alas kaki."
"Jan percaya diri banget elah! Gue cuma khawatir kalau elo mati," frontalnya.
"Sama aja, itu namanya juga khawatir. Duh, mana lukanya lebar lagi. Sini, naik punggung aku. Nanti nyampek kontrakan biar aku obatin." Benz duduk berjongkok membelakangi Maria.
Maria tersenyum, sebenarnya sakit di telapak kakinya tidak seberapa sih rasanya. Cuma ya ... manja dikit ama mas pacar gak apalah. Maria akhirnya menaiki punggung Benz. Mengalungkan kedua lengannya di leher sang kekasih. Sembari menopang kan dagunya di pundak kanan pemuda tersebut. Melupakan kue ulangtahun yang tergeletak tak berdaya dipinggir jalan, di tinggalkan kedua pasang sejoli yang tengah di mabuk asmara.
"Gue berat ya?" tanya Maria.
"Berat badanmu tak seberat perjuangan aku buat dapetin kamu."
"Gue heran, elo tuh udah gesrek dari lahir apa gimana sih?"
"Kok gitu?"
"Abisnya ngelucu terus. Nggak ada serius-seriusnya."
Benz tersenyum. "Ada kalanya kita harus serius, dan ada kalanya kita bercanda. Hidup dibawa serius mulu, cepet tua."
Maria gemas dengan pemuda yang menggendong dirinya ini, ia mendusalkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. Mencium aroma maskulin pemuda tersebut.
"Mae, nanti aja kalau mau lakuin itu. Sekarang masih di jalan. Malu diliat orang." kekeh Benz.
Maria reflek memukul kepala sang kekasih. Bagaimana bisa pemuda ini selalu berotak kotor.
Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya sampai di Apartemen Benz.
Benz langsung menurunkan tubuh sang kekasih di atas kasurnya. Dan bergegas pergi mencari kotak obat.
Benz berjongkok di bawah kasurnya, mensejajarkan tubuhnya dengan kaki jenjang sang kekasih yang kini terduduk di atas ranjangnya.
Maria yang hanya memakai dress sebatas paha, tanpa sengaja membuka kakinya dan memperlihatkan pemandangan belahan lereng segitiga yang tertutup kain samar. Tanpa sengaja Benz melihat isi dibalik penutup tipis itu. Dilihat dosa, tak dilihat mubadzir.
GLEGG!!
Benz menelan ludahnya, tubuhnya terasa panas. Mana si Maria nggak ngerasa kalau itunya kelihatan lagi.
Buru-buru Benz mengobati luka di telapak kaki sang kekasih. Dan kembali menyimpan kotak obatnya.
Lebih gilanya, Maria sekarang malah berbaring di atas kasurnya. Jangan lupakan dress pendek yang sedikit tertarik ke atas. Menampilkan dua paha putih mulus bak porselen. Yang terpampang nyata di depan mata Benz. Ingin ia menggigit dua paha mulus itu sekarang juga.
Benz menidurkan tubuhnya di samping sang kekasih. Begitu juga dengan Maria yang justru meringsut mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Benz. Mencari kehangatan, ditambah sekarang tengah hujan lagi. Menambah hasrat ingin em ... bersatu.
"Dingin," bisik sang gadis. Yang mana ucapan itu bagaikan kode keras bagi Benz.
"Mau aku peluk?" tanyanya. Maria mengangguk.
Anjim!! Menang banyak si Benz. Tanpa membuang banyak waktu, ia memeluk tubuh kecil sang kekasih.
Suasana mendadak sunyi. Sampai-sampai detak jantung mereka berdua terdengar oleh indra pendengaran mereka berdua. Deru napas mereka semakin memburu. Suasana semakin panas, membuat d**a mereka terasa sesak. Butuh napas buatan, elah bilang aja pengen cap cip cup.
Benz membelai bilah bibir basah sang kekasih, mendekatkan bibirnya dengan bibir gadis tersebut. Hingga kini sudah menempel sempurna. Ya kan ... otak mes*um si raja vampir mudah banget buat ditebak. Pasti senengnya ngisep darah suci terus.
Maria memejamkan kedua matanya. Membuka sedikit bibirnya untuk memberi akses pada sang kekasih. Menelusupkan lidah lembutnya ke dalam mulut mungil sang kekasih. Bergulat lidah, menghisap dan memberi sedikit gigitan kecil.
Membuat sang gadis melenguh kenikmatan.
"Ngghh ...."
Anjim bat dah, suara lenguhan Maria membuat sosis mentah Benz mengeras.
Benz semakin memberanikan diri untuk meraba d**a padat sang kekasih.
"Sakit," bisik sang gadis, saat sang pemuda memberikan remasan yang pertama.
Benz memelankan ritme cengkraman tangannya, melumat lembut bibir manis sang kekasih. Menyalurkan kenyamanan, agar gadis tersebut tak merasakan kesakitan.
Lambat laun Maria sudah terbiasa dengan permainan yang diberikan sang kekasih. Hingga kini ia mulai membalas apa yang kekasihnya lakukan. Tak sampai di situ, Benz bahkan sekarang sudah meraba area bawah Maria. Yang sedari tadi sudah terngiang di dalam otaknya. Ia rindu akan rasa lembut, hangat nan sempitnya. Kali ini ia akan melakukan dengan penuh kasih sayang, sama-sama cinta tanpa ada paksaan sedikit pun.
Maria menggigit bibir bawahnya, menahan gelanyar aneh yang merambat ke seluruh tubuhnya. Bulu kuduknya terasa meremang, saat jemari dingin Benz berlahan menyapu area bawahnya. Tubuh Maria seakan tak menolak oleh sentuhan demi sentuhan yang diberikan Benz padanya.
"Mmhhh ....," desah tertahan Maria, seraya menggeliat. Rasa geli dan nikmat bercampur menjadi satu. Tak bisa di devinisikan menjadi kata-kata.
Benz semakin gencar memainkan belahan merah muda sang kekasih. Yang kini sudah terasa basah.
"Benzzhh ...," Maria menggeliat tak karuan.
"Tahan sedikit saja, ok," bisik Benz, dengan napas menderu.
Maria hanya mengangguk pasrah. Menerima apa yang dilakukan sang kekasih. Meski ia sadar jika semua ini salah, ia tak seharusnya melakukan hal ini. Tapi ia juga tak bisa menolak, lantaran nafsu cinta di dalam dirinya terlampau tinggi. Melebihi akal sehatnya.
Benz berlahan memasukkan satu jemari tengahnya ke dalam belahan lubang kenikmatan sang kekasih. Membuat gadis itu memekik kecil, rasa aneh bercampur nikmat.
Semakin lama, Benz semakin mempercepat meng-in-outkan jemarinya.
Maria semakin bergerak tak karuan, napasnya tersengal-sengal.
"Ah ... hentikan," pintanya, memohon. Namun wajah memohon yang Maria perlihatkan semakin membuat Benz dikelabui kabut nafsu.
Raut wajah merah dengan cucuran keringat sang gadis menambah tingkat keseksian gadis tersebut.
Benz ingat, jika dirinya tak boleh melampaui batas. Ia segera menghentikan aktivitasnya. Mengusap lembut wajah berkeringat sang kekasih.
"Maafkan aku," ucapnya tulus.
Maria tersenyum, menangkup punggung telapak tangan sang kekasih. Entah setan apa yang merasuki diri Maria, hingga membuat gadis itu semakin berani berbuat binal.
Maria mendekatkan wajahnya di hadapan wajah Benz. Mengecup lembut bibir pemuda tersebut, seraya membisikan kata-kata.
"Apa elo nggak pengen gue buat nikmat?"
DEG!!!
Jantung Benz berdetak semakin kencang. Apa maksud dari sang kekasih dengan kata-kata itu?.
"Ma-maksud kamu?" tanya Benz mendadak bodoh.
Maria menyunggingkan sebelah bibirnya.
Meraba area sosis mentah pemuda di hadapannya.
Sontak Benz mengikuti arah tangan Maria. Mendadak lehernya terasa kering.
"Mae. Kamu bisa membangunkan dia," titahnya tertahan.
Maria semakin meraba area bawah Benz, yang kini sudah terlihat mengembung di dalam sana.
"Mae ...," erangnya tertahan, dengan kasar ia meraup bibir gadis di hadapannya kembali.
Benz sudah kalap, ia memasukkan jemari tangan lentik gadis tersebut ke dalam celananya.
Maria terdiam membantu. Saat telapak tangannya bertemu dengan sosok asing di dalam celana sang kekasih. Sesuatu benda keras, berurat, dan satu lagi besar. Apa ini? Maria merinding. Barang yang aneh dan baru pertama kali ia sentuh.
Dengan cepat Maria menarik tangannya kembali. Duduk meringsut dengan kedua bola mata bergerak gusar. Ia syok, rasa benda itu masih terasa di telapak tangannya.
"Mae? Kamu kenapa?" tanya sang kekasih bingung.
"Gu-gue nggak apa-apa." gugubnya, tubuh Maria sudah panas dingin, akibat menyentuh barang asing di dalam celana Benz.
Benz tau, apa yang tengah gadis itu pikirkan. Dengan nakal ia mendekatkan wajahnya di samping wajah gadis tersebut. "Kamu nggak pengen lanjut? Katanya mau bikin aku nikmat?" godanya.
Maria menatap gusar ke arah pemuda di hadapannya. "Tapi ... aku harus bagaimana?" tanyanya.
Benz mengambil ponsel yang ada di dalam saku celananya. Membuka layar benda tersebut dan menekan folder Vidio di layarnya. Sontak menampilkan deretan, ah! Bahkan ratusan vidio biru dari berbagai negara di dalam layar ponsel tersebut.
"Kamu mau nonton ya dari negara mana?"
Maria mengedipkan kedua matanya, ia tak mengerti. Tapi jujur, Maria menyukai drama Jepang. Dan akhirnya ia memilih opsi dari negara tersebut.
"Gue suka negara Jepang."
"Selera kita sama." kekeh Benz, dengan segera ia menekan Vidio di layar ponselnya, yang kini tengah memperlihatkan dua sosok berbeda gender tengah bermesraan di dalam sebuah hotel.
"Benz, dia bukan artis?" tanya Maria dengan polosnya.
Benz mencerna ucapan kekasihnya, jangan bilang jika Maria belum pernah menonton film dewasa. Ah, Benz jadi merasa berdosa karena mencemari otak suci Maria.
"Ya-ya artis," gagab Benz. Maklumi aja dia cucunya kakek Tsugiono. Xixixi ...
"Lah ini film ...! Anjir lo Benz! Gue nggak mau liat!" tolak Maria, sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Dikit aja, coba deh liat. Seru tau nggak sih?" Benz justru menyodorkan layar ponselnya di hadapan Maria.
"Dasar m***m. Otak elo bener-bener kotor ya!"
"Aku normal tau!" elak pemuda tersebut.
"Benz. Elo udah pernah lakuin itu sama cewek ya?" tanya Maria penasaran.
"Belum, aku masih suci, bersih, macam bayi." jawabnya asal, namun tak sepenuhnya salah. Karena memang nyatanya Maria masihlah perjaka ting-ting.
Maria tersenyum. "Karena gue nggak suka yang bekas. Gue nggak mau kalau misal suami gue udah bekas cewek lain." ucap gadis itu tiba-tiba.
Benz melebarkan senyumannya. "Kamu mau nerima aku berarti?"
"Mulai ya, kamu," jengah Maria.
"Sorry, aku terlalu berharap bisa ngerasain nikah yang sebenarnya sama kamu, tau nggak?"
"Kerja dulu. Jadi orang sukses, baru jadi suami gue beneran."
"Jadi kamu mau sama aku? Kalau aku udah sukses?"
"Bisa jadi." sahut Maria dengan pose berpikir.
Benz memeluk erat tubuh sang kekasih. Ia bahagia, sungguh. Hanya dengan gadis ini, pemuda itu menemukan dunianya. Ia berharap jika Maria adalah cinta sejatinya kelak.
"Gue janji bakal bahagiain kamu Mae!"
Setelah lama memadu kasih, akhirnya Maria memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Tentunya diantarkan sang kekasih.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka berdua sampai di rumah mereka. Entahlah, kenapa mereka nggak mau tinggal seatap lagi.
"Aku pulang dulu, ya ...," pamitnya.
"Iya, hati-hati." pesan sang gadis.
Benz mengangguk dan mulai menyalakan motornya.
"Benz!" panggil Maria tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya sang pemuda, sembari mematikan mesin motornya.
Maria mendekatkan wajahnya, dan mengecup singkat bibir sang kekasih.
Benz meraba bekas kecupan hangat dari bibir sang kekasih. Ia tersenyum geli. "Keknya aku nggak bakal bisa tidur malam ini," kekehnya.
"Lebay lo!"
"Aku bahagia banget tau nggak? Ini hari pertama kamu beri aku kecupan."
"Udah pulang sono! Udah malem, tar ketemu mbak kunti loh!"
"Nggak apa-apa kalau mbak kunti nya kek kamu, Beb."
"Jadi kamu nyamain gue sama si kunti? Kurang ajar lo!"
"Enggak-enggak Beb, galak amat. Ya udah, aku pulang nih."
"Ya udah pulang sono!"
"Yakin nggak kangen?"
"Benz, elo jangan ngeselin. Udah malam, tar gue berubah jadi monster loh."
"Ih, ngeri amat punya cewek monster," kekeh Benz dan pergi dari kediaman Maria.
Maria tersenyum, melihat kalung yang sudah melingkar di leher putihnya.
"Makasih Benz, keknya gue beneran jatuh cinta sama elo." bisiknya, dan kemudian membalik badannya, mengambil kunci pintu rumah. Baru saja ia melangkahkan kakinya, sontak gadis itu berhenti. Melihat sesuatu di bawah telapak kakinya. Ia sadar betul jika telah menginjak sesuatu.
"Apaan sih ini?" cicitnya, mengambil sebuah amplop yang baru saja ia injak.
"Siapa yang naroh?" gumamnya, menelisik ke sekitar. Yang sayangnya tak ada orang.
Maria menghedikan bahunya, dan masuk ke dalam kontrakannya. Melihat isi amplop tersebut.
Betapa terkejutnya dia, saat membaca isi surat tersebut.
Yang berisikan:
"Maria! Tinggalin Benz sekarang juga. Dari pada elo menyesal. Dia hanya mainin perasaan elo. Dia cuma buat elo sebagai bahan taruhan."
Begitulah isi surat tersebut.
"Enggak, gue nggak percaya. Benz cinta sama gue, dia nggak mungkin mainin perasaan gue. Apalagi buat gue sebagai bahan taroan." gumam Maria, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Namun lagi-lagi Maria penasaran dengan CD yang juga terdapat bersama surat tadi.
"Ini CD apaan?" daripada penasaran, Maria mencoba menyetel CD tersebut.
Seakan nyawa gadis itu tercabut saat itu juga. Otaknya seolah berhenti bekerja. Kedua pasang bola matanya kini sudah berkaca-kaca, genangan air mata sudah membendung di dalam pelupuk matanya, siap tumpah kapan saja.
Hatinya terasa perih, bak disayat sebilah belati. Saat melihat vidio dihadapannya.
Yah! Vidio yang menampilkan gerombolan anak muda tengah bertaruh sejumlah uang di atas meja. Dengan tawa menggelegar, membuat telinga Maria terasa memanas. Ditambah sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Benz-kekasih sekaligus suaminya sendiri.
"Benz, elo tega mainin gue. Ternyata elo cuma buat gue sebagai bahan taruhan. Gue nggak nyangka, gue sakit Benz! Hah, bodoh banget gue. Kenapa gue bisa ketipu sama cowok?" kekeh Maria, dengan diiringi deraian air mata. Baru saja ia merasa berbunga-bunga, bagaikan di ajak terbang ke atas nirwana. Lalu setelahnya dihempas sekeras-kerasnya hingga jatuh ke bumi. Sesakit itu perumpamaan hati Maria saat ini.
Gadis itu berjalan gontai, dan ambruk di atas kasurnya. Tak ingin lagi memikirkan sang kekasih. Namun entah mengapa, otaknya tak ingin berhenti memikirkannya. Air mata seolah ikut menjadi saksi, saksi kesakitan hati seorang Maria.
"Mungkin ini alasan mama, gue nggak boleh pacaran. Ternyata rasanya bener-bener sakit." gumamnya, air mata tak henti membanjiri kedua mata bengkaknya.
Bayangan tentang apa saja yang ia telah lakukan bersama Benz membuatnya semakin benci. Ia merasa seperti gadis murahan. Pasti Benz sudah menceritakan apa yang pernah mereka lakukan, bersama kelompoknya. Dan mungkin kini mereka sudah tertawa, menertawakan kebodohan Maria.
"Gue benci sama elo Benz!!" teriak tertahan gadis itu, melempar boneka tak tentu arah.
Sedang di tempat lain.
Benz tengah tersenyum sendiri. Membayangkan apa yang habis ia lewati bersama kekasihnya hari ini.
"Gue bahagia banget hari ini. Setelah masa sulit yang udah gue lewatin. Akhirnya Maria bisa nerima gue. Hah, Maria ... kenapa elo cantik banget sih? Pengen deh gue meluk elo terus." gumam Benz, sembari memeluk guling di hadapannya. Sambil membayangkan wajah sang kekasih.