19. Galau tingkat dewa-dewi

3071 Kata
Maria menangis, meringkuk dalam ruang kamarnya yang terlihat sepi. Hanya ada suara isakan kecil dari sosok gadis. Gadis yang kini tengah menanggung siksaan luka tak kasat mata, yang berlahan menggerogoti jiwanya. "Benz ... gue kangen elo." entah sudah berapa kali kata itu terucap. Rintihan pilu berkumandang di kamar sang gadis. Seolah kesunyian di dalam ruangan itu ikut bersaksi, menyaksikan sosok Maria yang meringkuk mengenaskan, bagai orang hilang gairah hidupnya. Maria merasa pening, rasanya sulit sekali untuk terbangun. Hingga getaran di benda pipih yang sedari tadi tergeletak ikut menemani dirinya, bergetar. Dengan malas Maria melihat pesan yang tertera di layar ponselnya. "Benz?!" satu nama yang terucap di bibir gadis itu. Dengan segenap kekuatan ia terbangun, pesan chat yang pemuda itu kirimkan mampu menjadi obat untuk kesakitan yang gadis itu rasakan. Dengan kedua mata berbinar, Maria membuka isi pesan tersebut. Dengan cepat gadis itu membaca pesan dari sang mantan. Mas Mantan : "Maria. Gimana kabar elo? Sorry semalem gue dah gag terlalu sadar. Ngantuk banget." Anda : "Gue baik-baik aja. Teleponan yuk. Biar lebih jelas." Setelah mengetik pesan itu, Maria tersenyum. Luka kesedihan yang baru saja ia rasakan menguar hilang entah kemana. Senyuman manis tak luntur dari bilah bibir pucat gadis tersebut. Gara-gara patah hati, ia lupa mandi dan bersolek. Tak berapa lama Benz menghubungi Maria. "Halo ...," sambut suara lembut dari sang gadis. "Maria. Elo lagi ngapain?" tanya Benz selanjutnya. Sungguh, suara pemuda itu terasa menggelitik di telinga sang gadis. Membuatnya senantiasa ingin tersenyum cekikikan. Maria sudah girang tak kepalang. Jingkrak-jingkrak bak orang kesetanan. Andai Benz melihat, mungkin pemuda itu akan heran. "Gu-gue lagi. Sekarang lagi nonton YouTubee." alasannya. Aduh kenapa Maria mendadak blo'on gini sih?. "YouTubee? Elo punya dua ponsel?" tanya sang pemuda. Maria menepuk keningnya. "Ah, gue nontonnya di lepi," kekehnya hambar. "Oh ... Cowok elo anak mana sekarang?" tanya Benz lagi, lambat laun Maria semakin terbiasa dengan percakapannya bersama Bebz. "Anak sini aja. Elo sendiri udah punya cewek belum?" tanya Maria sebaliknya, padahal dia nggak punya cowok. Cuma gengsi aja kalau ngomong jomblo. "Banyak. Tapi males aja, belom ada yang nempel di ati. Ada sih satu, tapi entahlah," jawab pemuda itu bingung. Maria menyunggingkan senyum evilnya. Sebelum janur kuning melengkung masih bisa di tikung. "Oh, sama dong kalau gitu. Dah gitu papa gue nyuruh cepet-cepet punya anak. Mau punya anak ma siapa coba. Ama pohon?! Dia nggat tahu kalau elo pergi." celetuknya. Benz sudah tertawa terbahak-bahak. Ternyata Maria tetaplah sama. Sejujurnya mereka sama-sama ingin mengungkapkan rasa. Jika masih saling butuh, tak ada yang bisa gantiin. Tapi ya gitu, mereka berdua sama-sama labil. Terlalu gengsi buat nyatain perasaan. Hingga gini deh saling curhat. Bilang katanya nggak nyaman sama pasangan masing-masing. Tinggal bilang 'kalau gue masih cinta sama elo, nggak ada yang bisa gantiin elo' gitu doang sih. Tapi mereka berdua suka banget buat hidup mereka ribet. "Nikah aja sama cowok elo yang sekarang." kekeh Benz. Meski dalam hatinya terasa tercubit. "Enggak, gue nggak cinta ama dia. Sebenernya cinta sih, cuma ya ... gue masih belum dapet kenyamanan ama dia, lagian gue kan belom cerai ama elo." tutur Maria. Ia kecewa, kenapa Benz nyuruh dia nikah sama orang lain. "Emang elo udah mau nikah? Kalau elo udah nemu cewek yang cocok, elo bisa ceraiin gue." ucap Maria kemudian. Meski terkesan sangat berat. "Pengen sih, gue juga lagi serius ama cewek. Gue harap dia jadi pelabuhan hati gue untuk yang terakhir. Nggak yakin juga sih, hehe. Mau sama elo, tapi elonya udah mutusin gue." Benz terkekeh renyah, sedikit bercanda namun serius apa yang dia katakan di ujung klaimatnya. Maria menggertakkan gigi-giginya. Ia tak rela jika Benz gandeng sama cewek lain selain dirinya. Benz miliknya dan akan tetap seperti itu selamanya. "Benz," panggil Maria lirih. "Iya?" Maria menyenderkan punggungnya di tembok belakangnya. Menerawang langit-langit tempat tinggalnya. Memfokuskan perhatiannya pada laba-laba kecil yang terlihat tengah membuat sarang di atas sana. Benz juga menyenderkan punggungnya di tembok ruang kamarnya. Menatap pajangan bendera kebangsaannya yang sengaja ia pajang di dinding. Agar ia selalu ingat akan tanah airnya. "Gue masih cinta sama elo." Entah keberanian dari mana, hingga Maria mampu mengutarakan perasaannya. Mungkin karena takut kehilangan Benz didalam hatinya terlampau tinggi. Hingga mendorong hatinya untuk berucap. Mencegah sang lawan hati pergi. Benz terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Kata-kata Maria di masa lalu saat memutuskan dirinya masih terngiang. Ia takut jika menerima cinta gadis itu. Masa lalu yang pernah ia rasakan akan kembali terulang. Ia takut Maria akan membuat hatinya kembali sakit. "Maria. Kita jalanin aja ya hubungan kita ini. Kayak teman biasa gitu. Elo boleh cerita sama gue, tentang kehidupan elo di sana. Gue janji bakal tetap ada buat elo. Gue nggak bakal nikah sebelum elo nikah duluan." Ucapan Benz lagi-lagi mematahkan semangat tempur seorang Maria untuk mendapatkan kembali hati seorang Benz. Namun Maria tidak akan menyerah, pantang mundur sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. "Janji ya ... elo bakal tetap ada buat gue. Melebihi seorang teman." "Iya, kita jalanin aja hubungan kita yang semu ini. Gue punya pacar, elo juga punya pacar." "Lalu hubungan kita apa namanya. Nggak estetik amat." kekeh Maria. "Apa ya? Terserah elo aja. Maunya hubungan apa." "Pacar silver, biar lebih estetik gitu. Gue mau, elo jadi pacar gue, kalau bisa jadi suami gue beneran nantinya." tawa Maria, bermaksud bercanda. Namun sesungguhnya yang ia rasakan memang begitu adanya. "Bisa ae lo. Kita pacaran diam-diam aja. Biar nggak sakit hati lagi. Nanti kalau gue pulang dan elo belum punya suami. Kita balikan lagi ya! Gue mutusin pacar gue. Dan elo juga harus gitu." Maria mengangguk brutal. Walau ia tau sang lawan bicara tak mungkin melihat apa yang ia lakukan. "Semoga aja kita berjodoh." "Iya, yakin aja. Kalau jodoh nggak akan kemana. Tapi ngomong-ngomong, si Ray udah nembak elo belom?" tawa Benz menggelegar. Maria rasanya sudah ingin mengumpat. Jika tak mengingat dirinya sedang berjuang. Jangan sampai Benz kabur dari genggamannya gegara denger dia ngumpat nggak ada akhlak. "Kok elo tau? Sumpah dedeg gue ama tuh bocah." gerutu Maria. "Gue cuma nebak aja. Soalnya dia yang udah buat kita jauh-jauhan kek gini." Maria teringat jika dirinya belum meminta maaf pada sang lawan bicaranya. "Benz. Gue mau minta maaf sama elo. Gue dah salah udah nuduh elo yang enggak-enggak." sesalnya. "Udah nggak apa-apa. Dari awal gue yang salah. Lupain aja, lagian dah masa lalu. Gue nggak mau inget lagi masalah itu. Sakit banget ati gue." dramatis Benz. Meski tak dapat dipungkiri, jika hatinya sedikit merasa lega. Karena Maria akhirnya sudah mengetahui semuanya. Di sini Benz merasa bingung, di sisi lain ia harus melindungi hati seseorang. Dan di sisi lain ada Maria yang butuh dirinya juga. Andai Maria datang lebih awal. Mungkin hubungan mereka masih bisa terselamatkan. Tapi sekarang berbeda. Mereka sudah tak saling percaya satu sama lain. Sangat sulit untuk memperbaiki kisah cinta yang sudah dua tahun terpisah. Dan sekarang kembali dipertemukan, untuk kembali menjalin hubungan tanpa status yang pasti. "Gue pengen liat cewek elo. Cantikan gue apa dia." tawa Maria. "Gue kirimin fotonya ya ... menurut elo dia cocok apa enggak buat gue." Pertanyaan bercanda Benz tanpa sengaja menusuk hati Maria. Sakit, saat elo harus disuruh nilai cewek lain buat bersanding sama cowok yang elo sukai. Maria tidak menjawab. "Maria. Gue juga pen liat cowok elo." Maria tidak bodoh. Ia tak ingin membuat Benz sakit hati jika dia memberitahukan perihal pasangannya pada pemuda itu. Ia tau bagaimana rasanya, dan ia tak ingin Benz merasakan hal yang sama. Biarlah ia menyimpan sesuatu mengenai kehidupan pribadinya. Terkadang berbohong demi menjaga hati itu lebih baik. Dari pada jujur hanya akan menambah luka. "Cowok gue banyak. Gue nggak pernah nyimpen foto mereka." ucap Maria kemudian tentunya hanya bohong belaka. Sudah hampir satu jam lamanya mereka berdua berbincang. Dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri perbincangan. Kini Maria memutuskan untuk mandi. Energi positif yang Benz salurkan benar-benar membuat Maria berasa hidup kembali. Sampai-sampai gadis itu lupa dengan dekatnya sendiri. Ah, Maria sebenarnya juga punya banyak temen deket, dia mencoba buat move on dari benz dengan cara punya banyak temen cowok yang sayangnya nggak ada yang bisa gantiin si Benz di dalam hatinya. . . Di sisi lain sosok pemuda merasa begitu kesal. Karena sang kekasih sangat sulit dihubungi. "Sial! Kenapa sibuk mulu sih? Teleponan ama siapa elo Maria?!" emosi pemuda itu. Ingin rasanya membanting HP nya. Namun jika ia melakukannya, ia sendiri yang akan rugi. Duit hasil dia kerja udah ludes buat beliin semua kemauan Maria. Ia pura-pura sok tajir, biar Maria betah pacaran ama dia. Bukan cuma jampi-jampi manis doang. Butuh pengorbanan juga buat dapetin cewek. Ah, panggil aja nih cowok dengan sebutan Dani, dia pacar Maria. Oh, lebih tepat ini cowok yang halu nganggep Maria pacar, kalau Maria sih ogah. "Udah satu Minggu lebih. Keknya gue harus belajar buat naklukin cewek lagi. Biar Maria tetap cinta sama gue. Anjir bat dah! Nggak ada cinta unlimited gitu apa. Biar full tiap bulan. Nggak bolak-balik belajar gombal.” Gerutunya, berat amat ta Tuhan cinta sebelah pihak doang. Anjim banget tuh bocah curut. Di kata cinta kek isi kouta? Pakek nego ada yang unlimited segala. Di sinilah sekarang Dani berada. Di kediaman Maria. "Mama ... apa kamu ada di dalam?" tanyanya di luar pintu. Maria ingin melempar sendal ke arah pemuda itu rasanya. Ih, geli banget denger panggilan sayang dari tuh anak. Mama-mama, sejak kapan Maria jadi emaknya itu cowok, hei! Maria mengehentikan langkahnya menuju ke arah pintu. CKLEK!! "Udah gue bilang berapa kali ama elo Dan! Jangan pernah panggil gue dengan sebutan menggelikan kek gitu!" "Kan ini panggilan sayang aku buat kamu Ma." "Sekali lagi elo manggil gue dengan sebutan gitu. Gue tabok! Norak tau nggak?!" "Iya-iya, aku nggak bakalan manggil kek gitu lagi ke kamu. Ini makanan buat kamu." ucapnya, sembari menyodorkan makanan ke arah Maria. "Kita makan bareng ya!" ajak gadis itu. "Enggak-enggak, makasih. Aku udah makan tadi di rumah." tolaknya cepat. Maria sedikit merasa aneh. Kenapa Dani selalu terlihat aneh jika sedang membawakan makanan untuknya. Dia selalu menolak jika ia ajak makan bersama. Tapi, ya sudahlah ... nggak penting juga. Maria memakan makanan yang dibawakan Dani, dengan lahapnya. Tanpa menyadari seringaian dari pemuda yang kini berada di sebelahnya tersebut. Seperti biasa, Dani selalu nyamperin Maria. Buat dia ajak malam mingguan. Tapi malam ini tuh cewek keknya lagi males keluar ama tuh cowok. Dengan alasan lagi dapet, perut melilit. Padahal mah, dia pengen keluar ama gebetan dia yang lain. "Tumben absen!" cerca Bela, yang sudah hapal dengan tabiat sahabatnya. Abis si Dani pulang Bela dateng ke rumah Maria. "Males gue." "Wih ... nggak salah denger nih gue? Maria Queenza sang pecinta brondong tajir, males malmingan. Ada angin apa nih?" Maria nyengir bodoh. "Gue ada janji ama cowok sebelah." "Ck, udah gue duga. Mana mungkin elo hiatus kencan. Kek ada keajaiban tuhan gitu kesannya." Maria cemberut. "Elo gitu amat sih ama gue," cicitnya. "Lha emang bener kan?" "Ya, bener sih. Hahaha ...." Setelah sedikit bercengkrama, tak lama jemputan Maria datang. Kali ini gebetan tuh cewek bawa mobil. Maria meneguk ludahnya, bukan karena terpana dengan mobil mewah punya tuh cowok. Tapi karena dia takut, belum pernah ketemu. Gimana kalau tar dia diculik, terus di perkaos. Aduh, nggak kebayang deh pokoknya. "Ayo naik," ajak pemuda itu, tersenyum manis. Namun mengerikan di mata Maria. "Em, kita ngobrol di kafe depan itu aja ya." tunjuknya, pada kafe kecil di sebrang jalan. Pemuda itu mengangguk, ada raut sedikit kecewa yang terlihat dari raut wajahnya. Mereka pun akhirnya mengobrol kecil. Hanya berbincang ringan saja, Maria sudah merasa risih. Pemuda itu terlalu sombong. Hah, bukan tipe Maria sama sekali. Lagi-lagi ia kembali teringat Benz. Kenapa ia tidak bisa bertemu lagi dengan cowok semacam Benz di dunia ini. Tiba-tiba phonesel Maria berdering. Tertera nama Benz di sana. Senyum lebar tertera di bibir Maria. "Gue harus balik. Ada hal penting!" ucapnya, mengabaikan teriakan pemuda yang kini berada di belakangnya. Maria buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Mengangkat panggilan telphon dari sang pujaan. Tak lupa ia menghapus riasan yang menempel di wajahnya. "Hai, lagi ngapain?" tanyanya gugub. Ada desiran lembut yang menyapa hatinya. "Lagi rebahan, elo abis dari mana?" tanya pemuda itu. "Em, nggak dari mana-mana." bohongnya. Benz tersenyum, ia tak akan mudah mempercayai gadis itu begitu saja. Terlalu sering di khianati Maria, membuatnya semakin banyak belajar. "Kenapa elo harus bohong sama gue? Elo keluar sama cowok lain, gue juga santai aja." Kicep, hati Maria terasa tersayat pisau tumpul. Gini yak rasanya nggak dipeduliin sama orang yang kita cinta. Sakit banget, tapi nggak ada yang tau gimana tuh gambaran sakit yang sesungguhnya. Apa ini yang Benz rasain pas dulu Maria abaikan. "Kenapa diem?" tanya Benz. "Enggak kok. Benz ...," panggil lirih gadis itu. "Elo nggak cemburu, misal gue jalan ama cowok lain?" Benz malah terkekeh geli. "Maria ... udah gue bilang. Gue nggak bakal cemburu ataupun larang elo. Elo bebas jalan ama cowok yang elo suka. Begitu juga dengan gue. Jangan makek perasaan, kan elo sendiri yang bilang gitu. Masa elo lupa?" Maria menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak yang tiba-tiba terasa menyerang hatinya. "Elo udah bener-bener nggak ada perasaan ama gue, Benz?" "Kapan gue bilang nggak punya perasaan sama elo, Maria? Gue masih sayang ama elo. Cuma ... gue mau bebasin elo aja. Gue takut, kalau gue terlalu cinta sama elo. Entar elo tinggalin gue lagi." Maria memejamkan matanya, begitu kecewakah Benz kepadanya. Hingga merasa trauma hanya sekedar memberikan cinta padanya?. 'Benz', jangan gitu. Cukup Benz! Sakit hati gue, denger ucapan elo. Gue pengen, elo jadi Benz yang gue kenal. Benz yang selalu setia, perhatian, dan posesif ama gue.' batin Maria, menangis. "Maria, keknya elo udah nggak minat ngomong ama gue. Gue tutup aja ya," ijin pemuda itu. "Jangan! Gue masih pen ngobrol ama elo." "Dari tadi diem aja. Gue pikir udah males ngomong ama gue." "Benz, di kantor kamu ada pekerja cewek nggak?" Benz tertawa, pertanyaan macam apa itu. Namanya juga kantor, ya ... pastilah banyak ceweknya. "Banyaklah ... kenapa?" Maria lagi-lagi ingin berteriak, kenapa ia bisa bertanya hal bodoh seperti itu? Sudah jelas jawaban Benz akan semakin membuatnya sakit. Ucapan Benz yang keterlaluan, atau karena Maria yang terlalu baper?. "Cantik-cantik ya, pasti?" Lagi-lagi mulut bodoh Maria berucap salah. Benz yang memang tak peka hanya menjawab apa adanya. "Iya, cantik-cantik. Banyak yang dari Thailand juga." "Yang dari Indonesia ada nggak?" Nah kan ... dia yang bertanya, dia juga yang terbakar emosi. "Banyaklah, kenapa sih?" Heran Benz. "Elo pernah pacaran ama mereka?" Benz yang mulai sadar dengan kecemburuan Maria segera mengalihkan pembicaraan. "Maria, udah deh. Jangan mulai lagi. Tanya yang lain kek? Masak apa hari ini? Gitu misal." Maria tak menggubris, hidungnya sudah kembang kempis. Napasnya mulai memburu. Kedua matanya sudah memanas, siap menumpahkan cairan beningnya. "Jawab pertanyaan gue, Benz! Elo pernah pacaran ama mereka, kan?!" Maria berteriak emosi. "Maria, udah deh. Jangan mulai ya ...," lembut Benz. "Hik ... hik ... jawab gue, Benz!" Mengalir sudah air mata yang sedari tadi ia tahan. Benz hanya bisa meraup wajahnya kasar. Tak habis pikir dengan tindakan Maria yang begitu berbeda. Di mana gadis ketus yang dulu ia kenal?. "Maria ... jangan nangis ya, gue nggak bisa tenangin elo." bingung pemuda itu. "Cepet pulang! Gue pen mukul elo!" teriak Maria, disela tangisannya. "Belum waktunya, Maria. Kontrak kerja ama klien gue belum abis." "Bilang aja, Kalau elo masih mau seneng-seneng sama cewek di sana." Benz mengusak rambutnya kasar. Rasa kantuk yang sedari tadi mendera kedua matanya lenyap seketika. "Maria, ngertiin gue. Gue nggak kek--" "Mana tanggung jawab elo?! Elo udah pernah nyentuh gue. Jangan-jangan elo juga lakuin hal yang sama, pada gadis-gadis di sana. Iya kan? Atau mungkin elo udah kelon sama mereka!" Cukup sudah kesabaran yang Benz pertahankan sedari tadi. Maria sudah sangat keterlaluan. Namun ia juga tak tega membentak gadis itu. "Mending elo tidur ya Maria. Biar nggak marah-marah lagi. Gue juga ngantuk, bentar lagi gue kerja." tanpa menunggu jawaban dari Maria. Benz memutuskan sambungan telponnya. Yang mana hal itu semakin membuat Maria emosi. Pikiran negatif mengenai Benz semakin menjadi. "Benz sialan! Lelaki kadal, lelaki bunglon, lelaki biawak!!!" umpatnya, kesal. Ingin melempar ponselnya, namun sayang baru aja beli. "Benz!!! Elo gila!!" marahnya. Tak menyadari bahwa cinta yang tumbuh di dalam hatinya saat ini membuatnya hilang akal sehat. Memang benar apa kata orang, jika cinta itu gila. Maria menubrukkan tubuhnya di atas kasur, menangis semalaman. Melampiaskan rasa kesalnya. Ia bingung dengan perasaannya, antara rindu atau benci. Atau mungkin saja ia terlalu merindukan sang pemuda, hingga membuatnya berasumsi negatif. Karena terlalu mencinta sosok itu. Benz merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit ruang kamarnya. Dengan berbantalkan kedua lengannya. "Maria, apa elo bener-bener udah ngerasain cinta sama gue? Gue takut, jika elo masih sama seperti Maria yang dulu gue kenal." gumam Benz. Tak lama ponselnya berdering, tertera nama Maria di sana. "Pasti elo mau lanjutin marah elo lagi." tebaknya, tanpa ada niatan untuk mengangkat panggilan telphonenya. Hingga beberapa detik kemudian. Muncul kembali notis pesan chat. Benz sengaja membuka pesan tersebut tanpa ingin membalas nya. "Gue benci sama elo!!" "Elo pasti lagi selingkuh kan?" "Elo pasti lagi kelon sama cewek elo kan?" "Bales b*****t! Jangan cuma elo baca doang!" Masih banyak lagi kata-kata mutiara yang Maria lontarkan. Membuat Benz semakin kesal. Tanpa banyak berpikir ia mematikan ponselnya. Dan beralih tidur. Maria meraung kesetanan. "Sialan! Kenapa HP nya malah dimatiin?!" marahnya. "Udah gue duga. Pasti dia lagi selingkuh!" Keesokan harinya. Maria sampai tak masuk kuliah. Karena malu kedua matanya tak bisa melihat. Mata sembab bagaikan habis di tonjok. Benz terbangun dari tidurnya. Menatap layar ponselnya yang baru saja ia aktifkan kembali. Tak ada lagi pesan dari sang gadis. Membuat Benz bisa bernapas lega. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya. Haruskah ia menghubungi gadis itu?. Ia sedikit bimbang, takut jika Maria ngamuk lagi. "Ck, mending gue kerja." putusnya. Maria merasa kepalanya sangat pening. Semalaman menangis bagaikan orang gila. "Dia nggak ngubungin gue. Bener-bener b*****t! Nggak tanggung jawab. Udah bikin anak orang nggak waras." gerutunya. Tak lama ada pesan singkat masuk. Senyum manis tergambar di bibir gadis tersebut. Nama Benz begitu spesial untuknya. Tertera pesan. "Maria, maafin gue. Tadi malem gue ketiduran." Entah mengapa, hanya sekedar membaca kata maaf dari pemuda itu membuat hatinya menghangat. Maria mulai meragukan kewarasannya. "Jual mahal ah, nggak gue bales. Biar kesannya dia ngejar-ngejar gue." kikik Maria. Berharap jika Benz akan memohon padanya seperti dahulu. Namun salah, nyatanya Benz tak lagi mengirimkan pesan untuknya. Pemuda itu terlalu acuh terhadap Maria. Mungkin saja, pemuda itu tak lagi ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti terdahulu. Untuk apa mengejar gadis yang akan berakhir membuang mu, jika di luar sana masih banyak gadis yang membutuhkanmu. Malam ini, waktunya pergantian shift. Benz mengakhiri pekerjaannya. Dan duduk di pinggiran tempat peristirahatan. Bersama sang kakek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN