11. Perkara sosis sama telur.

2102 Kata
Maria terdiam di atas balkon kamarnya dia masih mikirin suaminya. Apa tuh cowok masih ada hubungan sama si Miya? Kelurga Tsugiono ini begitu rumit, bagaimana bisa kekasih cucunya di embat kakeknya sendiri. Huft! Maria menghembuskan napas berat. Ia mengingat betul bagaimana Benz memarahi dirinya tempo hari. Gara-gara ketahuan jalan sama cowok lain. Padahal dia sendiri juga lagi jalan sama si Miya. Kenapa pria selalu egois? Padahal hubungan mereka tidak terlalu jelas. Menikah tanpa di dasari landasan cinta. "Ma, aku kangen." Maria cuma bisa mandang foto ibunya, yang kini sudah tenang di alam sana. Kalau aja nggak karena mertahanin harta keluarganya, dia ogah nikah sama si Benz. Dia bener-bener nggak rela kalau harta keluarganya di kuasai sama ibu tiri j*****m itu. Tak lama Benz pulang, dengan langkah sempoyongan. Kelihatannya dia sedang mabok. Maria hanya bisa menggelengkan kepalanya jengah, begini kalau nikah sama pria labil. Terdengar bunyi pintu terbuka. Maria menolehkan kepalanya. "Benz, kakek udah nggak nginep di sini lagi. Jadi, gue bakal tidur di luar." ucap Maria, bergegas berjalan menuju ke arah pintu. Sebelum, tiba-tiba aja Benz meluk pinggangnya dari belakang. "Mae, maafin gue. Tolong jangan tinggalin gue sendirian. Gue takut." "Benz, elo sedang mabuk. Mending elo mandi sekarang, biar otak elo encer." "Mae jangan pergi." "Gue cuma mau buatin teh hangat buat elo!" Benz perlahan melepaskan pelukannya, membiarkan sang istri pergi. Selanjutnya ia pergi untuk membersihkan diri. Selepas membersihkan diri, Benz berjalan menuruni tangga. Menyusul sang istri yang kini terlihat tengah menonton TV. "Benz, udah selesai mandinya?" tanya Maria yang tanpa sengaja mendengar bunyi langkah kaki menuruni tangga. "Iya," singkat Benz, mendudukkan tubuhnya di samping wanita tersebut. "Itu teh elo, cepet minum!" pinta Maria, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar TV di hadapannya. "Mae," panggil Benz, merasa tak enak hati. "Em?" Maria menolehkan kepalanya. "Maafin gue tentang kejadian tempo hari." Maria cuma tersenyum, begini kalau menghadapi pria aneh kek si Benz. "Iya. Gue juga minta maaf. Janji, jangan ulangi hal itu lagi." Maria mengangkat jari kelingkingnya. "Em, janji jari kelingking." Benz menautkan kelingkingnya di kelingking sang istri. Udah kek bocah aja mereka berdua. "Sekarang kita baikan, ya!" "Iya." Mereka saking menatap dan tersenyum, tanpa sengaja bertukar pandangan. Terlena dalam kelamnya bola mata keduanya. "B-Benz." Maria memalingkan wajahnya, kenapa terkadang ia seolah terpana akan ketampanan Benz?. Benz yang tak kalah gugup segera meraih secangkir teh di hadapannya. Karena terlalu gugup ia langsung menyeruput teh panas di hadapannya. "Bangke! Dower bibir gue!" Maria tak kuasa untuk menahan tawanya. Sudah tau teh masih ngebul, tuh anak main sosor aja. "Mampus! Salah sendiri main minum aja. Keknya otak elo bener-bener perlu dipertanyakan!" ejek Maria, si selingi tawa ngakak. Benz memicingkan matanya. "Dosa ya elo, ngetawain suami sendiri." Walau dalam hati ia juga seneng liat tawa istrinya kembali. "Mae." "Em?" Maria mengehentikan tawanya. "Buat little Tsugiono, yuk!" Maria melotot tajam. "b*****t! Otak elu perlu di rukyah! Mana bisa begitu!" "Bisalah Mae, kita kan udah nikah." "Tapi, kita cuma boongan." "Nikah kita sah Mae!" Maria nggak bisa berkutik lagi. Ia harus bisa nyari alasan buat lari dari kenyataan ini. "Serius? Sini gue bisikin!" Maria menarik leher sang suami. Mendekatkan wajahnya di samping telinga sang suami. "p****t gue burikan. Kalau elo berani nyentuh, emngnya elo mau ketularan?" Benz nyengir jijik, ya, kali. Masa iya Maria yang cantiknya udah kek artisnya kakek Tsugiono di Jepang. Masa sih, bokongnya burikan. Nggak percaya aja gitu loh. "Mae jangan bo'ong. Coba sini liat!" "Nggak boleh, gue udah bilang kalau b****g gue burikan." Maria mencoba lari dari terkaman pria di hadapannya ini. Benz udah tau semuanya. Cuma dia pura-pura nggak tau. "Ya udah, ayo tidur, udah malem Mae." Maria cuma ngangguk dan milih meringkuk di atas sofa. Karena malam ini bagian dia tidur di sofa. Benz yang lagi asik nonton film teralihkan oleh suara dengkuran lembut dari sang istri. "Dasar ceroboh, tidur tidak memakai selimut ataupun bantal." Benz merutuki tingkat kecerobohan Maria. Dengan sekali angkat, Benz membawa tubuh istrinya menuju ke arah kamar mereka berdua. Sesampainya di kamar. Benz langsung saja menidurkan tubuh sang istri pelan. Tanpa sengaja piyama yang di kenakan Maria sedikit tersingkap. Benz tertegun, melihat pemandangan indah di hadapannya. Seketika bayangan aneh mulai terngiang-ngiang di dalam otaknya. Ia teringat dengan ucapan Maria tadi. Katanya b****g tuh cewek burikan. Emang bener? Cewek secantik Maria burikan? Rasanya tak bisa percaya. Dengan memberanikan diri. Benz mulai menyingkap kain yang menutupi area tubuh istrinya Benz menutup kedua matanya, mungkin aja tuh cewek bohong. Benz bergetar, bagaimana jika gadis ini kebangun? Ah, tidak mungkin. Maria tidur udah kek kebo. Nggak mungkin kebangun. Benz menelan ludahnya susah payah, saat melihat pandangan dua bongkahan roti Berger yang tersaji di hadapannya. "b*****t, mulus kek p****t bayi, njirr!" Benz nelen ludah, udah lapar natap dua bongkahan di hadapannya. "Katanya burikan, mana? Dasar pembohong, pen gue gigit. Mana itu tali underwear nyelip di tengah. Untung nggak kapalan, Mae, pantatnya." Maria menggeliat, ngerasa dingin di bagian bawahnya, terkena hembusan AC. "Emh," Menggeliat, meraba area belakangnya yang kedinginan dan menutupnya. Benz cuma senyum-senyum geli, merasa lucu banget sama istrinya ini. Nggak tau aja kalau bagian little Benz nya udah mengembung. Tapi ya, gimana? Nggak mungkin main sergap gitu aja. Nunggu Maria mau dengan sendirinya, tanpa ada paksaan. "Keknya gue harus nyolo deh." Benz, mendengus dan pergi ke kamar mandi. Menuntaskan hasratnya. Sebenarnya sayang banget buang-buang benih kek gini. Siapa tau kalau benihnya yang ia buang calon presiden, calon CEO, kalau aja tuh benih bisa dipiara. Udah Benz kumpulin. Maria membuka kedua matanya. Ia merasa aneh, kok ada di kamar? Bukannya tadi ada di lantai bawah. Maria mendudukkan tubuhnya, melihat ke sekeliling. Nyariin sang suami. "Benz," panggilnya, tak ada sahutan. Namun ia yakin jika suaminya ada di kamar mandi. Terdengar kemericik air mengalir dari arah ruang kamar mandi. Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka. "Mae, kenapa bangun?" tanya Benz, yang kelihatannya baru aja mandi. "Elo abis mandi?" "Em, panas banget, gerah." alasannya. "Benz, elo yang bawa gue ke sini." "Nggak Mae, tadi elu ngigo." "Benz gue serius." "Iya, gue yang bawa elo ke sini. Di bawah dingin, tar elo masuk angin. Gue dimarahin kakek kalau dia ampek tau." "Terus sekarang gimana? Gue harus tidur sama elo?" "Biar gue tidur di bawah aja, elo tidur di sini." Maria tersanjung dengan perlakukan kecil yang Benz berikan padanya. Dia begitu manis, tapi kadang juga nyebelin banget. Maria terbangun dari tidurnya. Menuju ke kamar mandi buat buang air kecil. Dengan mata sedikit tertutup dia sempoyongan menuju ke toilet. Ampek lupa nggak nutup pintu, lagian dia pikir Benz juga nggak ada di kamar, jadi aman aja gitu. Lagi merem sambil buang air kecil di atas closed. Benz yang udah kebangun tiba-tiba pen buang air juga. Mana di bawah kamar tamu di kunci. Toilet jarang kepakek. Dia lari menuju ke atas ruang kamarnya. Sambil nangkup little Benznya. Tanpa ngetuk pintu, udah biasa juga keluar masuk kamarnya sendiri. Nyelonong masuk aja dia ke kamar mandi. "Eh, Anjir!" Kaget dong si Benz. Niat mau pipis malah liat pemandangan di hadapannya. Maria lagi jongkok menghadap ke arahnya sambil mejamin mata. Keknya dia menghayati benget acara buang airnya. Benz terdiam, nikmatin aja lah, sayang buat dilewatin. "Gayung mana?" parau Maria. Benz dengan cepat ngambilin gayung buat istrinya. Maria langsung nerima gayung yang tanpa sengaja tersentuh tangannya. Satu detik, dua detik, b*****t! Mari buka mata lebar. "Aaaaaa!!! Dasar mata keranjang!!!" teriaknya, reflek ngambil air mau nyiram Benz. Udah kek kotoran disiram, njir. "Stopp!!! Nyiram gue, gue cipoklicious!" Seketika Maria menghentikan tangannya. Menatap garang ke arah Benz. "Kenapa elo bisa ada di sini, hah?!" Benz malah menyunggingkan senyum evilnya. Bersedekap d**a, natap sinis ke arah sang istri. "Yang salah siapa? Gue atau elu? Salah sendiri pintu kamar mandi nggak ditutup. Untung gue yang masuk, suami elo. Coba kalau orang lain, udah didekep pasti." Maria terdiam, bener juga sih. Ini salah dia juga. Kenapa nggak nutup pintu coba?. "Elo liat?" lirih Maria. "Iya, lah. Mae, boleh gue ngasih saran nggak. Coba itu rumput di bersihin dikit aja. Di ratain biar rapi, terus dibentuk sengketa kotak gitu. Kek tempe di iris kotak gitulah, asik keknya. Bisa makin indah kalau diliat." Maria berpikir keras, ini anak lapar apa gimana? Pagi-pagi udah ngomongin tempe. "Benz elo mikir apa sih?" Maria langsung nutup pintu mau lanjut mandi. "Eh, Mae!!! Gue mau pipis udah diujung kepala ini!" "Bodo amat!" teriak Maria dari dalam kamar mandi. "Gue hampir ngompol Mae!" "Gue nggak peduli!" "Elo buka, atau milih kalau elo keluar langsung gue kelonin!" Maria membolakan kedua bola matanya. Bisa gawat kalau si Benz bener-bener marah, dengan cepat ia memakai handuk piyamanya. Lalu keluar dari kamar mandi. "Cepet! Jangan lupa disiram! Awas aja kalau masih nyisa baunya!" Benz tak menghiraukan ucapan istrinya. Dengan cepat dia masuk ke dalam ruang kamar mandi. Udah diujung tanduk pen pipis. Maria duduk dipinggir kasurnya. Nungguin Benz yang lagi pipis di kamar mandi. Kok lama amat sih tuh bocah. "Benz, cepet dong!" "Gue mandi sekalian!" Hah, ternyata Maria kena kibul. Terpaksa dia harus sabar nunggu Benz nyelesaiin ritual mandinya. Sekitar sepuluh menitan, akhirnya Benz keluar dari kamar mandi. "Lama amat, elo abis ngapain aja?" "Makan! Ya, mandi lah Mae!" sahut Benz, sambil ngusak rambutnya yang basah. Maria sontak terdiam menatap tubuh separuh naked suaminya. Biarpun Benz kerempeng, tapi dia punya roti sobek di perutnya. "Ciee, yang kagum ama keseksian gue!" Maria buru-buru menetralkan ekspresinya. Aduh, malu banget njir. Ketahuan mengagumi keindahan pemandangan tubuh Benz. "Keringin dulu itu rambut, liat deh! Berceceran kek gitu airnya!" seloroh Maria. Beranjak berdiri melangkah menuju ke kamar mandi. Sebelum ... SREETTT!!! "Bangsattt!! Maria kepeleset ceceran air yang ada di samping Benz. Reflek dia narik handuk yang menutupi area junior Benz. Benz melotot syok. Handuk yang ia kenakan tersingkap dengan indahnya. Yang kini menampakkan sosis ukuran jumbo tengah menggantung didampingi dua buah telur kembar di sampingnya. Maria terbaring syok, bukan karena sakit. Tapi liat sesuatu yang menggantung di atasnya. Sosis jumbo di tambah telur kembar. Benz masih berdiri syok. "Aaaaaa!!!" Mereka teriak bersamaan. Benz lari ngacir ambil handuknya lagi. Maria masih terbaring di lantai sambil ngucek kedua matanya yang udah tercemar ama sosis Benz. Boleh dibakar nggak sih? Buat sarapan. "Benz!!! Gue terngiang!!" teriak Maria. "Bukan salah gue Mae! Elo yang unboxing sendiri!" Maria buru-buru bangun dan lari menuju ke kamar mandi. Selepas aktifitas di dalam kamar. Benz udah selesai makek setelan rapi nya, udah ganteng kek Jungkooki. Sedang Maria udah siap dengan baju kebesarannya. Mereka duduk di ruang makan. Menghadap sarapan yang baru aja Maria masak. Nasi goreng dengan toping sosis sama telur ceplok. Sial! Kok menunya pas banget sama apa yang baru aja dia liat. Jadi nggak selera makan. "Mae, cepet sarapan! Nanti, keburu telat!" ucap Benz. Maria meraih s**u hangat di sampingnya. Eh, dia keinget lagi. Sosis + telur + s**u. Anjir, otak Maria traveling kemana-mana. "Astaga!" Maria nepuk keningnya. Ia sebal, kenapa bayangan ambigu itu terus aja terngiang di dalam otaknya. "Kenapa sih, Mae?" bingung Benz, santai aja dia mah. Udah biasa aja, lagian dia juga pernah liat bagian tersembunyi istrinya ini. "Inget kebanggaan gue dah itu! Gue yakin, elo nggak bakal bisa tidur tujuh hari tujuh malem." "Benz! Mau gue sunat?!" Maria menyunggingkan sebelah bibirnya. Sambil megang pisau roti. "Ini masa depan kita loh Mae. Kalau misal elo sunat nih senjata, nanti pendek. Emang mau? Nanti kalau kita udah sama-sama tua, wajah kita nggak lagi unyu. Yang diandelin cuma kekuatan burung." Maria pen mandi s**u rasanya. Nih anak otaknya ketinggalan dimana? Kenapa somplak nggak ketulungan?. Belum selesai Maria menggerutu. Datang lagi sosok absurd biang koplak di rumah ini. Siapa lagi kalau bukan kakek Tsugiono. "Selamat pagi epribadehhh!!! Gimana kabar kedua cucuku ini?" Maria mencoba buat senyum manis. Walau dalam hati pen lempar piring seisinya. "Baik kakek," ucap Maria. Benz mendengus kesal. Kenapa tuh kakek pagi-pagi udah nongol aja. Mencemari suasana pagi aja. "Kenapa kalian diem-dieman gitu?" "Capek!" jawab asal Benz. "Wahh! Kamu habis main berapa ronde Benz?!" Maria rasanya pen tutup telinga. Nggak cucu, nggak kakek sama-sama gila. "Lima puluh ronde!" "Yang ada kamu puas istri tewas Benz!" Noyor kepala cucunya. "Untung kepala gue buatan Tuhan. Coba kalau buatan pabrik, udah copot ngegelinding. Karena sering Kakek toyor!" Kakek Tsugiono bodo amat ama omelan cucunya. Langsung aja dia nyelonong masuk ke kamar tamu, megang kunci mah bisa aja. "Kek! Ngapain pagi-pagi masuk kamar tamu? Mau tidur?" "Ngabil CD nya Miya, ketinggalan." "b******k! Nyesel gue nanya." Benz meminum susunya hingga tandas. "Mae, susunya enak." Tapi pandangan dia fokus ke arah d**a Maria. "Gue congkel lama-lama tuh mata!" "Eh, jadi kek cerita si Benz dari goa nya Maria dong! Mau banget, pengen masuk!" Maria pengen nangis pagi-pagi. Untung aja nih keluarga kaya raya, kalau enggak udah Maria buang ke loakan. "Benz, kita berangkat! Udah siang!" putus Maria. Diangguki setuju sama sang suami somplaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN