Sederet nama terpampang di laptopku. Sebelum pulang, aku memindahkan semua laporan dan juga mana-nama tersebut ke tablet agar bisa aku baca ketika senggang nanti dan aku akan mengecek setiap akun dari orang-orang yang akan dikirimi hampers produk yang sedang kami launching. Produk yang akan dikirim ke klien akan sampai pada kami tiga minggu lagi dari pihak merchandiser. Dan di rapat tadi, pembagian tugas sudah diberikan kepada kami semua. Mbak Aina akan bekerja sama dengan orang bagian marketing, Saka bekerja bersama pihak Sales, Kevin akan mengatur flow bersama pihak marchandiser, dan sisanya adalah pekerjaanku bersama Pak Tama. Alasannya karena aku dijadikan leader di tim, jadi aku harus bekerja bersama Pak Tama dalam mengatur semua pekerjaan yang sudah dibagi, dan mengecek agar semua pekerjaan bekerja dengan baik. Laporan harian harus dibuat, begitu pula laporan final nanti terhadap produk yang nantinya akan keluar dan diberikan pada deretan nama yang tadi aku pindahkan dari laptop ke tablet.
Aku segera keluar dari kantor begitu semua laporan yang diperlukan sudah ada di tabletku. Aku menenteng tiga tas. Tas bekal, tas laptop, dan tas berisi berbagai keperluan sehari-hari milikku termasuk dompet, ponsel, dan barang-barang lain yang biasa diperlukan perempuan mana pun.
Aku pulang tepat jam lima, di saat yang lain masih sibuk membereskan meja dan keperluan mereka. Hari ini aku harus mampir ke Grand Indonesia dulu untuk membeli kado. Aku juga sudah memberi tahu Ara dan juga Tjania kalau aku pulang lebih awal dan mengajak mereka makan di Sushi Hiro. Tapi ternyata mereka berdua tidak bisa. Tjania akan pergi ke Surabaya nanti malam, sedangkan Ara harus mengunjungi rumah orang tua Chris untuk makan malam bersama. Alhasil sepertinya aku harus makan sendirian. Tapi tidak masalah, aku sudah sering makan sendirian di tempat umum. Dan kalau makan sendiri, aku bisa makan lebih cepat dan bisa menikmati makanan yang ku pesan. Karena kalau serombongan, makanan lebih sering diangguri dari pada dinikmati.
Aku pun segera memasukkan semua barang bawaanku ke mobil dan begitu hendak masuk ke kursi pengemudi, seseorang memanggil namaku.
“Margie.” Oh, Tuhan yang maha kuasa, yang telah memberikanku hidup, yang maaf kalau aku sering lupa untuk bersyukur, kenapa harus suara ini yang memanggilku di area parkir kantor padahal aku sudah ngebut untuk turun karena tidak ingin terjebak macet hebat.
“Iya, Pak?” Aku pun mendapati Pak Tama yang ternyata mobilnya terparkir tak jauh dari mobilku berada, hanya dipisahkan satu mobil fortuner hitam.
“Kamu mau beli hadiah untuk Pak Hartono kan sekarang?” tanyanya.
“Iya, Pak. Ini saya jalan mau beli hadiahnya.” Jawabku.
Aku berdoa di dalam hati agar bosku ini cepat pergi dan meninggalkan tempat parkir agar aku bisa tenang tanpa memikirkan alasan-alasan yang mungkin akan dilemparkan oleh bosku ini karena aku malas sekali membuat alasan.
“Ya sudah saya temani.”
Ya Tuhan, inikah karma saya? Karena saya jarang bersyukur dan juga jarang berdoa? Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain membuat bos yang satu ini akhirnya mengintili hambamu ini untuk pergi ke Mall, belanja sebentar, makan malam sendiri, kemudian pulang dengan lega?
“Nggak pa-pa, Pak. Saya sendirian juga nggak masalah, kok.”
“Nggak pa-pa, saya temani. Ke Grand Indonesia, kan? Nanti saya ikuti mobil kamu aja.”
Wah, aku yakin ini karena Pak Tama tidak memercayaiku. Mungkin dipikirnya aku akan memalsukan harga dan sisanya akan masuk ke kantongku sendiri. Korupsi kecil-kecilan yang mungkin bisa dilakukan. Aku menghela napas, aku tidak bisa menyalahkan Pak Tama juga sebenarnya karena ini salah satu pencegahan terjadinya hal yang tidak diinginkan. Tahu begitu lebih baik tadi aku meminta Kevin atau Saka saja yang menemaniku untuk membeli hadiah Pak Hartono. Kalau Pak Tama, jadinya akan terasa canggung sekali. Terlebih aku memiliki riwayat tidak menyenangkan dengannya.
Aku akhirnya mengalah dan mempersilakan Pak Tama untuk mengekori mobilku meski sebenarnya aku tidak ingin. Aku pun masuk ke mobil dan meletakkan kepalaku di atas kemudi dengan kedua tangan menggenggam kemudi erat-erat. Ya sudah, kalau begini caranya, lebih baik aku hanya belanja saja kemudian pulang. Untuk makan aku bisa pesan saja nanti di aplikasi pesan antar. Namun kalau Pak Tama pulang ketika urusan kami sudah selesai, aku mungkin bisa makan sendirian nanti di Sushi Hiro karena aku sedang sangat ingin makan sushi hari ini.
Tanpa menunggu lama, aku pun segera meninggalkan parkiran dan bergabung dengan kendaraan lain menuju Grand Indonesia. Aku mengecek map dan sudah menduga di depan Hotel Mercure akan padat dan macet. Mau bagaimana lagi, ini rush hour, jam di mana semua karyawan pulang dan berada di jalan raya. Aku melirik kaca spion, dan mendapati mobil Pajero Pak Tama berada persis di belakang ku. Perjalanan yang normalnya bisa ku tempuh sekitar lima belas menit kalau tidak macet, kini hampir setengah jam aku baru sampai di Grand Indonesia.
Aku segera keluar dari mobil begitu mendapatkan lahan parkir. Pak Tama mendapatkan slot parkir tak jauh dari di mana aku memarkirkan mobilku. Aku pun menunggu Pak Tama keluar dari mobil dan kami berjalan berdampingan. Ini aneh, sungguh aneh. Rasanya aku ingin buru-buru menyelesaikan misiku ini kemudian berpisah dengan Pak Tama yang meski pun sudah pulang kantor namun penampilannya masih rapi. Sedangkan aku, berbeda dengan Pak Tama yang masih terlihat necis. Aku sudah mengganti sepatu hak tinggiku dengan sepatu flat yang selalu ku simpan di jok tengah mobil..
“Fossil di mana?” tanya Pak Tama.
“Di Sky Bridge lantai satu, Pak.” Jawabku.
“Oke.”
Aku yang tadinya berjalan di sebelah Pak Tama, memilih berjalan agak lambat dan kini ada di belakangnya.
“Ini jalannya benar?” Tanya Pak Tama.
Aku berhenti dan melihat sekeliling untuk mengetahui kami berada di mana karena sedari tadi aku tidak fokus dengan sekelilingku dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Dan... ini di mana? Ku kira Pak Tama tahu di mana letak dari toko yang ingin kami datangi, jadi aku mengekor saja. Dan setelah sadar, kami malah berjalan menjauhi lokasi.
“Kita salah jalan, Pak. Ini makin jauh dari yang seharusnya.” Ujarku.
Pak Tama pun berbalik dan berjalan bersisian denganku. “Jangan jalan di belakang, ya. Kamu yang hafal jalan, kan?”
“Saya kira Bapak tahu.”
“Nggak.”
Tuh, terbukti kan? Malah aku yang disalahkan karena jalan di belakangnya. Memang paling benar itu aku jalan sendirian saja biar bisa cepat dan tidak sampai nyasar segala. Tapi, entah kenapa aku ingin tertawa ketika melihat ekspresi Pak Tama yang agak malu. Meski pun perubahan eskpresinya hanya terlihat se per sekian detik, namun mengetahui bahwa bosku ini ternyata normal, rasanya lucu juga.
“Kita berlawanan arah Pak.” Ujarku.
“Kamu yang kasih tau jalan, ya.” Ujar Pak Tama yang kini berjalan di sebelahku, “jangan jalan di belakang saya, soalnya saya nggak tahu jalan.” Tambahnya.
Aku ingin tertawa ketika Pak Tama yang biasanya stoic, kini bisa terlihat bergantung pada orang lain apa lagi hanya sekadar masalah arah. Aku bahkan membayangkan mungkin kalau ia berjalan sendirian ia akan mengandalkan GPS. Tapi GPS untuk menuju toko di Mall itu ada atau tidak, ya? Kalau tidak ada, mungkin ia akan mengandalkan satpam dan juga papan informasi.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami sampai ke toko yang kami maksud. Aku segera memperkenalkan diri dan sang staff yang sudah mengenalku menegurku ramah. Jam yang sudah aku minta untuk simpan, langsung diperlihatkan kepadaku dan juga Pak Tama.
“Coba Bapak cek dulu.” Kataku pada Pak Tama yang langsung mengambil salah satu jam dan melihatnya dengan saksama.
“Bagus.” Aku mengangguk paham, lama-lama aku paham maksud dari Pak Tama tanpa ia harus lebih banyak berbicara. Bagus artinya, oke ayo beli aja buruan. Dan tanpa mengatakan lebih banyak sesuai dengan prediksiku, aku pun akhirnya melakukan transaksi sesuai dengan nominal yang laporannya kemarin di approve oleh bagian keuangan, tidak lebih dan tidak kurang.
Paling tidak, kali ini aku bisa membuktikan ke Pak Tama kalau aku jujur, nominal yang diminta memang sudah sesuai dengan harga barangnya. Aku menenteng kantung belanja berisi jam ketika kami keluar dari toko.
“Ini saya yang bawa atau Bapak mau bawa?” Tawarku untuk meyakinkan Pak Tama kalau setelah ini barangnya tidak akan aku bawa kabur.
“Kamu aja yang bawa, besok tinggal minta tolong OB untuk pesanin GoSend ke kantor Pak Hartono.” Jelas Pak Tama.
“Oke, Pak. Kartu juga udah di masukin ke kotak.” Kataku.
Pak Tama mengangguk.
“Mau makan malam?” Tanya Pak Tama.
Sedikit ambigu sebenarnya, kenapa juga orang ini tidak mau memperjelas pertanyaannya agar tidak muncul kesalah pahaman dari apa yang ia sampaikan, sih? Mau makan malam? Iyalah jelas, tapi kalau makan malam bersama Pak Tama rasanya aku akan menolak. Tapi aku bingung, ini maksudnya yang mana?
“Saya selalu makan malam, Pak.” Jawabku mencari aman.
“Malam ini mau makan apa?” Tanyanya lagi.
“Mungkin nanti saya bakalan pesan sushi buat di bawa pulang, Pak.”
“Ayo kalau begitu.”
Aku dengan pandangan bingung memandang Pak Tama dan bergeming di tempatkku berdiri. Namun tak lama pandangan Pak Tama membuatku berjalan mengikuti Pak Tama. Oke, andaikan ia mengajak untuk makan bersama, aku bisa menolak dan memilih untuk take away saja. Semua skenario sudah terbayang di kepalaku. Aku juga sudah merangkai kata-kata yang akan aku katakan pada Pak Tama, tergantung dari kata-kata apa yang akan Pak Tama sampaikan.
Pak Tama memintaku untuk kembali berjalan di sampingnya karena ia tidak tahu di mana letak restoran yang akan kami tuju. Kalau dilihat oleh orang yang kenal denganku, entah itu mantan klien atau pun rekan kerja di kantor yang lama, aku ngeri kalau akan ada gosip-gosip tentangku. Aku kepedean, aku tahu! Tapi kalau aku melihat temanku atau mantan klien yang jalan berdampingan dengan lawan jenis dengan umur yang terlihat tidak terlalu jauh, wajar saja kan kalau aku mengira bahwa itu adalah pasangannya. Dan aku tidak mau kalau itu terjadi pada diriku.
“Kayaknya waiting list.” Kataku yang melihat antrean di depan restoran. Pertanda yang sangat baik karena itu berarti aku bisa membuat alasan.
“Kamu bener-bener mau makan di sini?” tanya Pak Tama.
“Iya, Pak. Saya bisa nunggu Pak untuk di take away, mungkin Bapak mau makan di tempat lain? Saya temani buat take away.” Tawarku berbaik hati.
“Di sini nggak ada restoran sushi lain? Nggak ada Sushhi Tei atau yang lain?” tanyanya.
Pertanyaan horor ini yang membuatku jadi malas.
“Ada Pak, tapi saya kayaknya mau ini aja. Saya ke dalam aja buat pesan dulu.” baru aku mau melangkah, tangan Pak Tama sudah menahanku.
“Kita makan di restoran yang ada menu sushi lain aja.” Katanya yang lebih berupa perintah bukan pertanyaan atau permintaan.
“Saya temenin bapak ke restoran lain aja, ya, Pak.”
“Kenapa nggak bareng aja? Sushi itu sama aja kan rasanya? Sashimi ikan mentah juga sama jenisnya, celupannya juga sama.” Ujarnya enteng. Memang sih, tapi kan menu fushion di tiap restoran itu berbeda BAPAK!
“Iya sih, tapi fushion-nya beda, Pak.”
“Besok bisa pesan di kantor, sekarang di tempat lain aja. Kamu nanti kelamaan makan jadi sakit, mending ganti restoran yang nggak terlalu waiting list kayak di sini.”
What a day sekali hari ini. Akhirnya entah mengapa aku menurut saja dan akhirnya kami makan di restoran lain yang tidak waiting list. Dan pas sekali, ketika aku masuk, aku melihat teman kantorku yang dulu, yang paling vokal di antara yang lainnya berjalan berlainan arah denganku. Ia tersenyum, dan aku sudah paham sekali senyuman yang tersungging di bubirnya itu bermaksud apa.
“Eh, Emje? Lo sama siapa? Gimana kabar lo?” Tanyanya khas bersahabat.
“Hai, Can. Baik gue.” Aku tersenyum simpul, berharap kalau Candra tidak akan melihatku datang bersama Pak Tama.
Namun sayangnya, pandangan mata dan feeling Candra lebih cepat dan tepat. Ia sudah tersenyum kepada Pak Tama dan menatapku kemudian dengan senyuman yang lebih lebar.
“Wah, gandengan baru, nih, Je.” Katanya cepat.
Mati aku, kalau begini sudah bisa dipastikan kalau besok gosip tentangku jelas sudah akan tersebar di kantorku yang lama dan mungkin saja sampai beberapa divisi tahu. Si Lambe Turah di kantor ini yang akan mengumumkannya ke banyak orang layaknya toa masjid.
“Nggak, Can in--”
“Ya udah, gue duluan ya, Je. Gue mau ketemu anak-anak. Bye, take care!”
Omonganku terputus sebelum aku sempat mengklarifikasi kesalah pahaman yang terjadi.
Ya Tuhan!