TUJUH : Hutang harus dibayar, hukumnya wajib. Apa lagi kalau hutang ke Bos sendiri agar aman tentram kehidupan di kantor

1908 Kata
Hari ini aku sengaja mampir ke Starbucks yang ada di lantai dasar gedung kantorku untuk membelikan kopi bagi Pak Tama sebagai balasan dari kejadian kemarin yang mana ia membelikanku kopi dan juga Panini. Karena kemarin Pak Tama membeli Long Black aku pun memesankan Americano dengan ekstra shot karena menu di Starbucks tidak ada Long Black. Dan sebagai ganti Panini yang kemarin juga dibayarkan oleh si Bos, aku membelikan Tuna Cheese Panini yang ku rasa semua orang akan menyukai menu sejuta umat ini. Sedangkan aku memesan Latte panas dengan Cinnamon Roll. Aku sebenarnya bukan tipe orang yang akan mengonsumsi kopi di pagi hari karena biasanya kalau minum kopi di pagi hari akan membuat perutku berkontraksi dan langsung ingin pergi ke toilet. Ada jenis-jenis orang sepertiku, dan aku memilih untuk menikmatinya siang nanti saja. Pagi hari adalah waktu yang sangat produktif untukku, di mana aku akan sangat fokus bekerja di pagi hari. Banyak pekerjaan akan selesai di pagi hingga siang hari, dan ketika sore menjelang aku baru akan merasakan sedikit kantuk. Maka siang hari kopi sangat ku perlukan untuk bisa terus terjaga dan mejalani hari sebagai pekerja korporat dari jam sembilan sampai jam lima sore bahkan lebih. Aku mengambil pesananku bergitu sang barista memanggil nama yang ku berikan saat aku memesan tadi. Tentenganku pagi ini bertambah dengan adanya kopi dan juga sarapan tambahan untuk Pak Bos dan diriku. Ah, aku sampai lupa kalau aku juga kan membawa sarapan yang dibuat Mbak berupa bubur kacang hijau dengan ketan hitam yang dibawa Mbak dari tempat Kakak. Mungkin Cinnamon Roll ini akan aku jadikan camilan menuju siang saja. Dan mungkin aku hanya akan bisa menghabiskannya separuh, sementara separuh lagi ku jadikan camilan menuju sore. Bukannya pelit, namun aku memilih untuk tidak makan sampai benar-benar kenyang atau kalau tidak aku akan jadi sangat mengantuk. Begitu aku masuk ke dalam lift, aku meminta tolong pada orang yang berdiri di dekat tombol lift untuk membantuku memencet tombol angka lantai yang ingin ku tuju. Lift tidak penuh karena aku datang di jam lebih pagi dari pada jam ramai masuk kantor, yakni jam mepet ke jam sembilan. Di mana lift akan di penuhi orang dan yang mengantre untuk masuk sudah bergerombol meski pun ada enam buah lift di lantai ini. Tiga lift ditujukan untuk lantai ganjil, dan tiga lift lainnya ditujukan untuk lantai genap. Aku tidak mengerti tentang arsitektur dan teknik sipil, jadi aku tidak paham mengapa pembagian lift harus dibuat seperti itu. Lift berdenting di lantai yang aku tuju. Aku pun segera keluar dengan kelotakan sepatu yang menggema di lantai yang masih sepi penghuni ini. “Pagi, Pak.” Sapaku pada satpam yang menempati tempatnya di depan ruangan. “Pagi, Mbak Margie.” Balas sang satpam sopan. Aku tersenyum singkat dan berjalan di lorong menuju di mana ruangan divisiku berada. Begitu sampai, aku bisa melihat ruangan yang sudah terang dan baru di huni beberapa orang saja. Aku meletakkan seluruh barang bawaanku ke meja, dan meletakkan tas tanganku di kursi karena mejaku sudah penuh dengan berbagai macam barang. Aku segera menuju pantry untuk mengisi cangkirku dengan air putih hangat dari dispenser, dan menyalakan iPad untuk menonton series yang belum selesai. Pagi ini aku akan melanjutkan Anne With And E yang baru ku tonton episode dua-nya semalam. Series yang diangkat dari cerita klasik Anne and The Green Gables yang dulu bukunya sudah k*****a. Buku hasil lungsuran dari kakakku yang sewaktu kecil suka dibacakan Bunda ketika aku ingin tidur. Dan setelahnya aku mengatakan pada Bunda bahwa aku ingin tinggal bersama nenek saja di Bukit Tinggi. Dan nyatanya, sekarang aku sama saja seperti orang-orang lain yang mengejar karir mereka dan tinggal di tempat yang jauh dari kata asri ala pedesaan. Tempat paling asri di komplek apartemenku hanyalah kolam renang dan trek lari, selebihnya hanya dipenuhi mobil dan motor dengan paving block di mana-mana. Tapi mungkin, setelah pensiun nanti, aku akan pindah ke daerah yang tidak terlalu bising dengan hiruk pikuk perkotaan yang lebih cocok untuk orang-orang di usia produktif mereka. Sembari menunggu hal itu terjadi, yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah kerja dengan baik sambil mengumpulkan uang untuk masa tua nanti. Kalau kakakku mendengar impianku ini, ia pasti akan tertawa dan menganggap kalau aku tidak realistis dan tidak akan mungkin melakukan hal itu karena sekarang aku sangat gila kerja. Meski begitu, di lubuk hatiku, aku juga ingin settle secepat yang aku bisa dan tidak terlalu gila kerja. Karena pada dasarnya, aku tidak memiliki banyak hobi dan waktu untuk dihabiskan dengan orang-orang yang memiliki kehidupan mereka sendiri. Aku menikmati bubur kacang hijau dan ketan hitam yang masih hangat, yang dibekalkan Mbak. Rasanya tidak terlalu manis, namun pas. Cocok sebagai teman menonton pagi hari agar perut lumayan terisi dan bisa beraktivitas dengan baik. Satu per satu karyawan datang. Aku pun sesekali menghentikan aktivitasku dan menyapa mereka, bahkan untuk hanya sekadar tersenyum. “Wah sarapan apa, Emje? Gue suka deh liat sarapan lo selalu beragam. Nggak kayak gue yang monoton, kalau nggak nasi uduk, lontong sayur, nasi kuning, bubur beli di belakang.” Sapa Kevin yang datang-datang langsung menyapaku. “Pagi, Vin. Bubur kacang hijau sama ketan hitam nih. Lo mau ke belakang langsung, ya?” Kevin mengangguk, “iya, mau titip?” Tawarnya seperti biasa. “Nggak, gue udah kenyang.” Jawabku. Kevin tertawa maklum, jenis tawa yang akan diberikan pada orang yang belum sepenuhnya ia kenal dengan baik. “Tumben ya Mbak Aina belum dateng jam segini. Biasanya udah nongrong di depan komputer.” Ujar Kevin yang melongokkan kepala ke kubikal Mbak Aina yang masih kosong. “Iya, tumben. Biasanya udah dateng lebih dulu dari lo.” Aku ikut mengengok ke kubik Mbak Aina. “Ngurus anak kali, ya. Gue ke belakang dulu, ya. Kalo ada apa-apa chat gue aja.” Ujar Kevin yang kemudian pergi dengan dompet dan ponsel di tangannya. Karena sedari tadi menunggu Pak Bos datang, aku bahkan tidak sadar kalau Mbak Aina yang biasanya datang lebih pagi dari yang lain belum juga sampai padahal biasanya jam segini Mbak Aina bahkan sudah selesai sarapan sembari mengobrol denganku kalau ia membawa bekalnya sendiri dari rumah. Aku mencuil sedikit Cinnamon Roll yang aku beli sembari menunggu kedatangan si Bos. Entah kenapa aku jadi sedikit deg-degan karena menunggu orang yang menurutku arogan itu. Meski pun ia telah berbaik hati dengan membelikanku kopi dan membayarkan makanan juga, namun tetap saja kesan arogannya masih ada. Dari kejauhan aku bisa melihat Mbak Aina datang bersisian dengan si Bos. Aku yang tadinya bersandar di kursi jadi duduk tegak melihat kedatangan mereka. Dan ketika Mbak Aina melihatku, ia tersenyum ke arahku dan aku pun membalas senyumannya juga. Sialnya si bos lihat, semoga saja ia tidak beranggapan kalau aku senyum padanya. Meski pun senyum itu ibadah, namun aku lebih memilih untuk senyum ke orang lain selain Pak Tama. Toh ibadah dan amalnya juga tetap sama kalau aku tersenyum ke orang lain selain Pak Tama. “Aduh, macet banget di deket stasiun. Ada yang kecelakaan soalnya, mobil sama mobil jadi macet.” Cerita Mbak Aina yang baru datang sudah heboh betul. “Trus di bawah ketemu sama Mas Tama, jadi bareng. Dia katanya habis nemenin ibunya yang di rawat di rumah sakit.” Aku yang tadinya tidak terlalu fokus karena memikirkan kapan harus memberikan kopi serta sarapan untuk Pak Tama pun akhirnya menoleh pada Mbak Aina. “Oh Ibu Pak Bos masuk rumah sakit?” tanyaku. “Iya, stroke. Udah seminggu di rawat, udah lebih baik keadaannya tapi masih tetap harus di cek lagi.” Jawab Mbak Aina. “Aku baru tahu, Mbak.” “Dia nggak cerita ke siapa-siapa, emang orangnya diam-diam aja. Aku tau juga dari suamiku.” “Oh, gitu.” “Iya, suamiku kan sepupu Mas Tama.” Aku kembali menoleh kaget. “Eh?” “Kaget ya?” Mbak Aina terlihat tertawa geli, “makanya aku sering disangka masuk sini gara-gara KKN. Padahal juga aku masuk kantor ini lebih dulu dari Mas Tama. Dia dulu kan kerjanya di Kantor pusat di Boston, trus di pindah ke sini karena memang mau urus orang tuanya.” Aku mengangguk-angguk paham. Pagi-pagi begini sudah TMI sekali, Too Much Information. Siapa sangka orang yang terlihat arigan begitu ternyata sayang dan berbaksti sekali dengan orang tua? Ah, meski begitu, tetap saja ia terlihat menyebalkan. Sangat menyebalkan di mataku, apa lagi-lagi kata-katanya yang suka menusuk dan tatapan mengintimidasinya. “Aku mau ke belakang dulu ya, mau lihat sarapan apa yang harus aku beli sebelum jam masuk kantor sebentar lagi. Kamu mau nitip nggak?” Tanya Mbak Aina yang sudah menenteng dompet dan siap untuk jalan. “Nggak usah Mbak, makasih.” Tolakku halus. “Ya udah, nanti kalau mau nitip chat aja ya.” Aku mengangguk dan melihat Mbak Aina yang sudah hilang kembali setelah keluar dari pintu kaca besar yang memisahkan ruangan antara divisiku dan divisi orang keuangan. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dalam satu hentakan keras. Selagi belum banyak orang datang, aku pun bergegas menenteng kantung kertas dan segelas kopi menuju ruangan Pak Tama. Di balik pintu kaca, aku melihat Pak Tama yang sudah membuka laptopnya dan sedang terlihat sibuk entah mengetik apa. Aku mengetuk pintu kaca, dan mendengar suara Pak Tama yang dalam itu menyahut dan mempersilakanku untuk masuk. “Permisi, Pak.” Kataku. “Hmm... ada perlu apa?” tanyanya dengan wajah tegas tak ada senyuman atau keramahan di sana. Namun aku bisa melihat kalau wajah itu sedikit lelah. “Ini untuk Bapak.” Kataku yang menaruh bawaanku itu ke atas meja kerjanya yang sisinya kosong tanpa barang-barang menumpuk. “Kenapa?” Tanyanya singkat namun membuatku bingung. Kenapa? Apa orang ini hanya mengetahui atau pun hanya mau megeluarkan kata-kata yang irit sementara ia bisa mengetikkan banyak kata dan berbicara panjang lebar ketika meeting? “Sebagai ganti atas kopi dan Panini yang Bapak bayarkan tempo hari.” Ujarku. “Kan saya sudah bilang kalau tidak perlu kamu ganti.” “Tapi saya mau, saya nggak mau ada hutang budi meski pun cuma sekadar makanan atau minuman aja.” Pak Tama terlihat diam dan ekspresi wajahnya masih sama, tidak terbaca dan tidak ramah. “Kalau begitu saya balik dulu, Pak.” Kataku. Aku pun berjalan menuju pintu kaca dan saat itu aku mendengar Pak Tama mengatakan terima kasih singkat tanpa mengatakan apa-apa lagi. “Sama-sama, Pak.” Kataku tersenyum ramah dan meninggalkan ruangan yang membuatku merasa sedikit sesak. Saka yang baru datang dan melihatku keluar dari ruangan Pak Tama pun diam tak jadi berjalan ke kubikalnya. “Habis ngapain, Je?” Tanyanya padaku dengan tatapan menyelidik. “Ada perlu.” Jawabku singkat. “Lo nggak kasih hasil laporan entah apa kan ke si bos?” Tanyanya lagi. “Belum selesai gue! Lo takut gue nyolong start, ya? Kepikiran sama kata-kata Kevin?” Tanyaku sambil tersenyum menahan tawa. “Nggak. Gue cuma penasaran aja.” Katanya yang kembali berjalan ke kubikalnya dan menaruh tasnya di lantai. “Tenang, Ka. Tapi gue yakin kalau laporan gue akan lebih awal selesai dari lo sih.” Ujarku yang ingin menjahili Saka si bungsu yang suka iri dan tidak mau kalah ini. Ia menatapku horor, “oke. Kita lomba!” Katanya. Otomatis aku tertawa mendengar perkataan Saka dan menepuk-nepuk bahunya, “santai, ih! Kita satu tim tau!” “Meski pun satu tim, gue juga nggak mau jadi anak bawang.” Katanya. “Iya deh, iya. Ya udah, silakan langsung kerjakan saja kalau begitu.” Aku pun mengikuti cara bicara Pak Tama dan membuat Saka terlihat meringis. “Nggak cocok lo ngomong dengan nada begitu.” Ia tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN