TIDAK PEKA

1040 Kata
Makan malam memang sudah usai, akan tetapi Sheilla masih merenung memikirkan semuanya. Jika biasanya Sheilla enggan berfikir yang menjurus masa bodo, kali ini tidak. Bukan hanya itu, otak mungil Sheilla kini sedang menerka apa yang membuat dirinya dicap pembohong. Heningnya ruang tamu membuat desahan frustasi Sheilla terdengar. Kalau memang iya Mathew tahu kejadian tadi siang, tamat sudah riwayatnya. Setelah ini ... apa dia akan dikembalikan kepada sang ayah?! Tidak, tidak! Itu mimpi buruk! Pasca memantapkan keputusan memilih Mathew, hubungan Sheilla terhenti dengan Aledander—ayahnya. 'Kalau begitu, mulai sdetik ini stop memanggil saya dengan sebutan Ayah. Ah, iya, semua fasilitas akan saya tarik. Silahkan ke luar, bawa sisa semua bajumu.' Kata-kata itu kembali terngiang bahkan tak jarang membuat Sheilla meringis. Sheilla kembali menghela napas sembari memijat keningnya yang berdenyut. Sejenak melupakan sang ayah, kini Sheilla kembali memikirkan Mathew. Saat sedang asik berfikir sekelebat ide muncul di dalam kepala. Sheilla mengambil ponsel yang berada di meja, lalu mencari nama yang menurutnya bisa memberi solusi. Setelah mendapatkan nama orang yang dituju, Sheilla langsung menghubunginya. "Hallo, Mah?" 'Ada apa, Sheil?' Tidak butuh waktu lama memang, hanya hitungan detik panggilannya langsung terhubung. Sesaat Sheilla terdiam, otaknya tengah menyusun kata demi kata yang ingin dia sampaikan kepada Daisy. 'Kamu masih di sana? Dengar suara mama?' "Aku lagi bingung, Mah. Aku tidak tahu punya salah apa, tapi ... sejak pulang tadi Mathew diamin aku. Aku sudah tanya, tapi aku dibilang pembohong. Aku bingung, bohong dibagian mana?" 'Kalian bertengkar? Rasanya tidak mungkin seorang Mathew marah tanpa sebab. Beritahu mama, kamu melakukan kesalahan apa?' Bak tertimpuk batu, mulut Sheilla seketika keluh untuk menjawab. Kenapa bisa dirinya langsung diulti seperti itu? Cukup lama Sheilla terdiam sampai telinganya mendengar kekehan pelan sang mama. 'Lekas dekati, minta maaf. Cari saja jalan yang mudah, layani contohnya. Kalau sudah begitu, pria mana yang bisa menolak? Selamat berdinas, tetapi ingat kandunganmu.' "Mama! Ak—" Tut! "Iisshh!" Sheilla menggeram kesal karena Daisy langsung mematikan sambungan. Tanpa rasa bersalah Sheilla melempar ponsel miliknya ke sofa. Kata-kata Daisy kini berputar di dalam otaknya. Layani? Berdinas? Oh Ayolah, itu ide buruk! Tapi jika dipikir-pikir ... Mathew memang tidak akan bisa menolak. *** Rasa haus di tenggorokan membuat Mathew terbangun dari tidurnya. Sekilas dia melihat jam di dinding, ternyata masih pukul satu. Selain itu, Mathew juga baru ingat jika dia ketiduran setelah membahas pekerjaan dengan Victor. Tatapan Mathew kini beralih pada sisi sebelah kanannya. Kosong. Iya, tidak ada sosok Sheilla di sampingnya. Ke mana wanita itu? Sebelum beranjak turun dari kasur Mathew kembali teringat kejadian tadi. Mathew memang sedikit kesal pada istrinya itu. Bagaimana tidak kesal, Sheilla sudah berani berbohong padanya. Mathew tentu ingat betul saat Sheilla izin pergi bersama Chelsea. Tapi pada kenyataannya? Saat dia mencari kebenaran pada sumbernya, jawabannya sungguh berbeda. Lalu ... yang dia temui tak sengaja di restoran Sheilla bersama Maurena. Mathew mengusap kasar wajahnya, lalu pria itu turun dari atas kasur. Saat membuka pintu, keheningan yang menyambut. Tidak ada rasa takut, Mathew terus melangkah menuruni satu per satu anak tangga. Suasana benar-benar hening, saking heningnya dia bisa mendengar langkah kakinya sendiri. Perlahan namun pasti, kini Mathew sudah berada di ruang tamu. Dari jarak lumayan dekat dia menatap seseorang tengah tertidur pulas di atas sofa. Mathew kembali melangkah, memastikan jika tebakan hatinya benar. "Ya Tuhan, wanita ini," guman Mathew sambil menggelengkan kepala. Sesuai dugaan, yang tidur di sofa adalah Sheilla. Sampai saat ini Mathew tidak habis fikir, bahkan ekspektasinya dipatahkan sampai lebur. Ternyata menanan rasa marah lalu mendiamkan tak membuatnya dapat perlakuan manis dari sang istri. Padahal Mathew berharap istrinya itu membujuk agar tidak marah lagi. Akan tetapi, Sheilla tetaplah Sheilla dengan rendahnya kapasitas otak. Mathew duduk, tangannya terulur merapihkan rambut yang menutupi wajah cantik Sheilla. "Kau ini jadi wanita tidak ada pekanya sama sekali. Apa susahnya membujuk suami? Bertanya? Atau lakukan apapun agar rasa kesalku hilang?" Ingin rasanya Mathew menepuk kening Sheilla, namun keinginannya itu dia urungkan. Tanpa membuang waktu, ditambah hari semakin malam, perlahan Mathew mengangkat tubuh Sheilla layaknya anak bayi baru lahir. Gerakan itu tentu membuat tidur nyaman Sheilla sedikit terusik lalu bergeliat. Walaupun begitu, matanya tetap terpejam. "Tuan?" Langkah kaki Mathew terhenti, kepalanya sedikit menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang menegur. Mengetahui itu Rubby, tubuh Mathew berputar membuat keduanya saling bertatapan selama beberapa detik. "Sejak kapan Sheilla tidur di sofa, Bi?" "Sejak Tuan ke lantai atas setelah makan. Saya sempat menyuruh nona Sheilla tidur di kamar, tetapi beliau menolak. Maka dari itu saya bawakan selimut untuknya," jawab Rubby dengan jujur. Apa yang dia katakan memang benar apa adanya. Hanya saja Rubby tak membahas jika Sheilla sempat bilang jika Mathew sedang marah. Mendengar itu Mathew mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah itu Mathew kembali melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga. Layaknya tanpa beban, tubuh Sheilla bagi Mathew tidak berat sama sekali. Ah, Mathew jadi tidak sabar menunggu buah hatinya lahir. Apa sifatnya akan sama seperti istrinya? Sesampainya di kamar, Mathew merebahkan tubuh Sheilla secara perlahan di atas kasur. Lagi-lagi tubuh Sheilla bergeliat membuat Mathew dian menatapnya. Kedua tangan Mathew terlipat di d**a, tatapannya tertuju pada tubuh Sheilla. Penampilan terbuka Sheilla memang tak pernah berubah, yang ada semakin menantang. Tubuh Mathew sedikit merunduk lalu mengecup tiap inci wajah Sheilla. Tak perduli wanita itu akan terbangun, Mathew terus saja melancarkan aksinya. Kacupan Mathew semakin turun menjelajahi leher hangat milik Sheilla. "Malam ini kau bisa lolos," bisik Mathew tepat di telinga Sheilla. Puas menjamah tubuh sang istri, Mathew merangkak naik ke atas kasur lalu memeluk erat tubuh Sheilla. Entahlah, semarah atau sekesal apapun, tetap saja Mathew langsung luruh melihat wajah Sheilla. Biarlah perkara kebohongan Sheilla akan dia kupas esok pagi pakai kepala dingin. Berbeda dengan kehangatan Mathew dan Sheilla, di tempat lain keributan kecil terus saja terjadi tanpa henti. Walaupun disekeliling banyak orang, tetapi tak ada satupun yang berniat untuk melerai. Mereka memilih diam sambil berharap jika sang wanita memilih mengalah daripada mempertahankan perdebatan. "Itu saranku, Xavier! Kau jangan ceroboh, jangan pula cari masalah! Kal—" "Aku tidak butuh saranmu, Maurena!" Mulut Maurena mengatup, rasa kesalnya kini sudah sampai ke ubun-ubun. Entah sudah berapa lama, tetapi pembahasan tak kunjung usai. Entah harus membenturkan kepala Xavier ke mana, yang jelas Maurena sangat geram. "Kau tahu Mathew seperti apa, bahkan kau tahu resiko jika ada yang mengusik orang-orang terdekatnya. Apa lagi ini, mana bisa aku mencelakai Sheilla?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN