LAYANI AKU

1039 Kata
"Jawab yang betul, apa kau hamil?" "Sshh, aduh, sakit!" Suara decakan kembali terdengar, akan tetapi kegemasannya tidak langsung luruh. Disisa-sisa kesabaran yang ada Mathew semakin memojokkan tubuh Sheilla. Kedua tangan tercekal, tubuh terhimpit, membuat Sheilla mati langkah. Pria yang Sheilla hadapi memang bukan penjahat, bukan pula perampok. Akan tetapi, pria yang selama beberapa bulan ini resmi menjadi suami super posesifnya. Merasa tak punya celah, Sheilla menghela napas. Sejak kepulangannya dari Swiss–satu minggu yang lalu, Sheilla memang merasa ada keanehan pada tubuhnya. Berawal dari acuh, tidak menganggap pusing, tapi lusa kemarin dirinya sukses dibuat jantungan. Garis dua. Garis itulah yang tertera setelah Sheilla mendapat desakan dari Daisy untuk mengecek. Jika di luar sana banyak yang mendambakan moment ini tapi sayangnya tidak berlaku untuk Sheilla. Otaknya sudah pening, itu artinya saar mereka bulan madu, sudah ada janin yang berkembang. Melihat sang istri terdiam Mathew mengangkat dagunya. Tatapan mereka bertemu, detik kemudian cengiran Sheilla tak bisa ditahan lagi. Otak Sheilla sudah pening, sudah tidak bisa mikir, bahkan dia lelah menangis saat tahu Tuhan kembali mempercayainya untuk menjadi ibu. "Kau...." "Apa? Kau puas sekarang?" sahut Sheilla memotong ucapan Mathew. Rasanya memang sulit berkelit, ditambah Sheilla tahu kalau ini ulah Daisy. Padahal sejak awal Sheilla sudah mewanti-wanti untuk tutup mulut. Bukankah itu sangat menyebalkan? Seringai serta tatapan Mathew kembali membuat Sheilla mencak-mencak. Sepertinya memang hanya dia wanita yang tak mengharapkan anak dalam pernikahan. Persetan tidak tahu terima kasih, tetap saja Sheilla kesal. "Lepas, menjauh dari tubuhku! Aku kesal, aku tidak mau lihat wajahmu!" Sebisa mungkin Sheilla melepaskan cekalan kuar di pergelangan tangannya. Entah sudah berapa lama, yang jelas cukup panas. Mendengar perintah itu tidak Mathew gubris. Alih-alih menuruti, pria itu justru mendaratkan beberapa kecupan di leher jenjang Sheilla. Akibat dari tindakan Mathew itu tubuh Sheilla bergeliat layaknya cacing kepanasan karena geli. "Mathew, stop!" "Jaga anakku baik-baik, tapi ada satu yang harus kau ingat, Sheilla," bisik Mathew tepat di telinga Sheilla. Sheilla tidak berkutik, dia menunggu apa yang akan pria itu katakan lagi. Sesaat suasana kamar berubah panas, padahal di depan sana cuaca sangat mendung. "Hamil bukan alasan kau tidak bisa melayaniku." Glek! Perkataan singkat, jelas, padat. "Awas!" Hempasan keras Sheilla, lalu disusul dorongan, membuat tubuh Mathew menjauh darinya. Seperti biasa, kekesalan Sheilla selalu berbanding terbalik dengan Mathew. Pria itu kini tertawa sembari bersedekap d**a. Satu langkah Mathew mundur, akan tetapi tatapannya masih terus tertuju pada wanita cantik di depannya. Ditatap lekat dari atas sampai bawah sontak membuatnya salah tingkah. Sial memang, tidak seharusnya Sheilla merasakan itu. "Layani aku malam ini, pakai pakaian yang menantang. Tenang, semua sudah aku siapkan, kau tinggal eksekusi." Mathew mengedipkan matanya. Setelah mengatakan itu Mathew berlalu ke luar dari kamar. Bukan marah, hanya saja dia enggan terkena omelan sang istri. Mulut Sheilla mengatup, tangannya tanpa sadar mengusap perut ratanya. Kalau otaknya tidak salah ingat, saat ini kandungannya masuk tujuh minggu. "Oh, ayolah, apa ada bayi di perutku? Apa aku akan jadi ibu seperti mama?" Sheilla berugam frustasi. Menikah, hamil, jadi ibu. Astaga, mimpi buruk! *** "Jadi, semua sudah deal?" Dua pria berpakaian formal kompak mengangguk. Salah satu dari mereka mematikan layar laptop, lalu fokus pada pembahasan. Sangat lelah sebetulnya, akan tetapi dia juga tahu yang kini dihadapi bosnya. "Untuk material, semua aman ya?" "Sampai saat ini semuanya aman, Tuan." Senyum puas Mathew terpancar. Orang-orang di kantornya memang orang terpecaya plus bisa diandalkan satu sama lain. Seharusnya hari ini Mathew ke kantor, tetapi tadi pagi dia mendapat kabar dari Daisy jika Sheilla positif hamil. Perjalanan pernikahan ini memang mengalir layaknya air. Sekalipun ada desakan tak kasat mata, Mathew bisa menarik kembali Sheilla ke dalam dekapannya. Karena sampai kapanpun dia tak akan melepaskan wanita itu. Dari arah lain, Sheilla menghembuskan napas lelahnya. Kurang lebih dua puluh menit dia duduk di anak tangga terakhir. Bukan tanpa alasan, dia menatap tiga sosok pria yang sejak tadi asik berdiskusi. Selain kapasitas otaknya rendah soal kantor, Sheilla teramat enggan tahu isi pembahasan mereka. Hanya saja ... rasa bosan menghantui Sheilla. "Ada siapa di depan, Bi?" "Itu, ada driver antar makanan, Tuan." Kening Mathew mengerut, dia juga berusaha mengingat apa tadi pesan makanan? Dan seingatnya ... tidak. "Bibi Rubby, itu pesananku, bukan bom. Tadi aku pesan pizza sama pasta." Sheilla bangkit berdiri, membuat semua mata tertuju padanya. Tidak ada yang berubah dari Sheilla, bahkan saat ini dia hanya menggunakan dress selutut tanpa lengan. Dress ketat itu tentu membuat lekukan tubuh Sheilla terlihat sempurna. Lagipula Mathew tidak pernah mempersalahkan, hanya saja ... apa wanita itu tidak melihat di sini ada tamu? "Bi, berikan lalu ajak Sheilla ke kamar. Seperti biasa, cek terlebih dahulu sebelum dia memakannya," kata Mathew yang langsung mendapat anggukan dari Rubby. Rubby Margareth–asisten rumah tangga yang baru masuk beberapa hari belakangan. Selain Rubby, ada satu asisten rumah tangga serta dua satpan. Setidaknya rumah ini tidak terlalu sepi jika Mathew di kantor atau urusan lainnya. Walaupun baru masuk, masih meraba, tetapi saat bertemu Sheilla Rubby tidak terlalu canggung. Selain sifatnya yang apa adanya, di mata Rubby sosok Sheilla sangat manja, mirip putrinya. Kedua mata Sheilla menyipit, lalu dia mengikuti Rubby yang mengajaknya ke atas. "Nona, mau Bibi buatkan cokelat panas?" Sheilla menggeleng seraya menjawab, "tidak, Bi, nanti saja. Aku mau makan pizza dulu." Rubby tertawa kecil, tangannya terulur mengusap punggung majikan mudanya itu. Saat Sheilla hendak masuk, dia dibuat bingung kenapa Rubby tidak ikut. Justru wanita paruh baya itu sibuk melihat paper bag bawaannya. "Bibi, jangan dengarkan apa kata Mathew, dia berlebihan. Makanan ini aku pesan sendiri, mana mungkin ada racun." Sheilla mendengus kesal, lalu mengambil paksa paper bag itu dari tangan Rubby. Berbeda dengan kekesalan Sheilla, di bawah Mathew kembali berdiskusi dengan Victor dan juga Fredy. Masalah kantor memang aman, kini Mathew kembali membahas soal Alexander. "Sekretaris tuan Alexander menitip pesan, jika tuan Alexander ingin bertemu anda. Saya belum menjawab apapun sebelum Tuan memutuskan," ujar Victor seperti tahu apa yang akan bosnya bahas. "Kosongkan jadwal pagi saya, lalu malam ini kau bilang kalau besok pagi saya mau bertemu. Dan kamu Ferdy, tetap awasi pengeluaran uang kantor, lusa saya minta rekapan data dua tahun belakangan." Perintah serta tatapan tegas Mathew layangkan kepada dua karyawannya itu. Dreet...dreet...dreet. Chat from : Sheilla Watson. Sebelah alis Mathew terangkat menatap nama yang tertera di layarnya. Tidak salah baca, itu memang nama istrinya. Tapi ada apa? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN