Bab 36

2327 Kata
“Kalian kemana aja?” Tanya Kirana begitu melihat Karyo dan Novan menghampiri mereka. “Sori, sori. Tadi .. ke toilet dulu ..” Jawab Karyo. “Ke toilet berdua? Kok kayak anak cewek aja,” timpal Gisel. oik “Nggak, nggak barengan. Tadi kebetulan ketemu waktu keluar dari toilet …” Jawab Karyo ngeles. Ia menyikut Novan. Novan hanya mangut- mangut. “Aneh,” gumam Gisel. Karyo dan Novan saling bertukar pandang. “Udah deh terserah. Yang penting semua udah di sini kan? Nih.” Kirana membagikan satu persatu kotak risol. “Oh ya, Gisel, Dewi, Thalita, Fio, Karyo, kalian minta maaf sama Novan soal semalam,” pinta Kirana. “Lah? Kok aku juga? Kan aku nggak ikutan,” protes Fio. “Semua minta maaf sama Novan! Mungkin kita ada salah yang nggak di sengaja ke dia,” ujar Kirana. Fio berdecak kesal. “Maafin kami ya Novan,”ujar mereka serempak. Novan gelagapan. Ia hanya mangut- mangut. “Eng … udah .. nggak apa kok ... udah aku maafin .. udah, udah! Kalian jangan bungkuk gitu hei!” Pinta Novan. Wajahnya tersipu malu karena seisi kantin melirik mereka sambil bisik- bisik. Mereka bangkit bersamaan. “Ya udah yuk, kita balik jualan lagi. Kita ganti tugas ya, yang di kelas 11 itu Karyo dan Novan, sama aku juga. Gisel dan Fio, kalian di kelas 12. Dewi dan Thalita masih sama ya, di kelas 10.” Kirana memberikan perintah. “Eh? Kok kami di kelas 12?” Protes Gisel. “Gantian bentar sama si Novan. Kan kemarin habis dia di gangguin sama kakak kelas, kasian,” jawab Kirana. “Tapi …” “Kalau memang mau ganti tugas, tuh coba minta sama Karyo dan Novan aja langsung.” Kirana menunjuk Karyo dan Novan yang berdiri di sebelahnya. Gisel menatap mereka penuh harap. “Duh, sori nih. Tapi ini kasian si Novan, udah kemakan setengah energi dia sama kakak kelas itu,” jawab Karyo. Gisel memanyunkan bibirnya. “Ya udahlah.” “Udah, nggak apa Sel. Berdoa aja semoga kamu nggak ketemu sama abang itu,” goda Kirana. “Heh, abang mana itu hah? Nggak ada abang- abang! Ayo Fi!” Kirana menarik tangan Fio. Ia pergi meninggalkan mereka. Ia mendengus sebal sepanjang jalan. “Ya udah, kita juga pergi yuk. Sebelum jam istirahat habis.” **** Novan dan Karyo kebagian menjajakan jualannya di kelas 11 IPS, sedangkan Kirana di kelas 11 IPA. Novan mengira dia akan sedikit tenang di lingkungan kelas 11, tapi ternyata ia salah. Mereka malah lebih bawel dan lebih bar- bar daripada kakak kelas. Mereka beramai- ramai menghampiri Novan. “Eh, ini Novan kan? Anak baru di kelas MIPA 2 itu kan?!” Tanya seorang anak perempuan yang rambutnya di kepang ekor kuda. Karyo mengangguk. Novan sembunyi di belakang Karyo. “Hai, kenalin! Aku Syintia, dari kelas MIPA 4!” Seorang anak perempuan berbadan mungil menghampiri mereka. Ia menyodorkan jabatan tangan. Anak perempuan lain menyerobotinya. “Aku Cilla! Aku di kelas IIS 3, kelasnya di sebelah kamu!” “Aku Kalila, dari kelas IIS 1!” “Van, tau aku nggak? Aku Kesya, sekelas sama kamu juga. Tapi aku duduk paling depan.” “Ih, yang sekelas nanti aja dong kenalannya! Kan bisa di kelas!” “Tapi nggak sempet kalo mau kenalan di kelas…” “Hei kenalin, aku Sheila dari kelas IIS 1” “Heh, kamu dari IPA ngapain ke daerah anak IPS hah?! Sana sana!” “Ih biarin! Momen langka ini! Kalian kan anak IPA bisa ketemu kapan aja!” “Apanya yang bisa ketemu kapan aja! Kami aja baru ini jumpa dia! Tuh anak sekelas dia tuh yang bisa kapan aja!” “Ih! Sirik aja lu! Kalo di kelas nggak bisa tahu kenalan sama dia, tau- tau anaknya udah raib aja!” “Dih! Kan bisa kenalan waktu jam pelajaran! Sana, sana! Biarin kami yang beda kelas ini kenalan sama dia!” “Nggak, aku yang mau kenalan sama dia! Kasihani anak IPA yang jauh- jauh kemari!” “Apanya yang jauh?! Kan kelas kalian cuma di ujung sana! Masih satu lorong juga!” “Ya kan tapi dari ujung ke ujung juga!” Suasana mulai ricuh. Mereka saling sikut satu sama lain, saling berdebat hanya untuk kenalan dengan Novan, yang sedaritadi masih sembunyi di balik punggung Karyo. Karyo malah kewalahan menghadapi mereka. “Heh! Heh! Udah! Jangan ada yang berantem! HEY!” Karyo berusaha menengahi mereka, tapi gagal. Mereka masih saling sikut dan tak sengaja Karyo terkena sikutan mereka hingga pipinya merah. “WOI! BERHENTI DI BILANGIN!” Bentak Karyo membahana sampai ke ujung lorong. Gerombolan cewek- cewek yang saling sikut itu berhenti. Semua mata tertuju pada Karyo. “Kalian apa hah sampai berantam gitu cuma buat kenalan sama Novan hah?! Kan dia cowok biasa juga, mending kenalan sama aku aja sini!” “Ye! Ngapain juga kenalan sama elu Yo. Beda jauh elu sama dia!” Timpal seorang anak perempuan, yang di ikuti oleh anggukan yang lain. “Iyalah! Nggak bisa di bandingin. Udah jelas cakepan dia kemana- mana daripada kau.” Karyo berdecak kesal. “Ini cewek- cewek emang mulutnya pedes banget ye,” gumam Karyo. “Gini dah. Yang mau kenalan sama Novan, beli dulu nih dagangan kami. Kalo kalian mau beli, baru kalian boleh kenalan sama dia!” Karyo menunjuk Novan yang sembunyi di belakangnya. Novan terbelak kaget. Ia menyikut Karyo. “Eh Yo, kok gitu …” Gerutu Novan sambil berbisik. “Udah, biarin aja dulu,” balas Karyo. “Baris dulu kalian, baris! Baru boleh kenalan sama si Novan nih!” Seketika gerombolan cewek- cewek yang tadinya rusuh langsung berbaris rapi di depan Karyo. Suasana yang ricuh seketika menjadi damai. “Yuk baris- baris, risol ayam sayurnya kakak. Murah murah, tiga biji lima ribu aja kakak.” Karyo menjajakan seperti pedagang di pasar. “Dih, mahal banget sih. Diskon kek, seribu satu ya?” Timpal seorang cewek yang memakai scraf. “Nggak bisa kak, ini udah mentok harganya. Nggak ada diskon. Tapi ini di jamin enak kok, nih cobain deh satu buat tester.” Karyo memberikan satu risol kepadanya. Ia menerimanya dan memakannya sesuap. Ia mangut- mangut. “Hem, memang enak sih daripada yang biasa di kantin. Ini kayak yang di jual di bakery gitu,” gumamnya. Karyo menyinggungkan senyum kecil dan mengangguk. “Ya, memang kak. Ini home made, buatan rumah. Fresh kak, bahan- bahannya juga kualitas punya.” Karyo mengacungkan jempol. “Hem, ya udah. Boleh deh. Kalo gitu aku beli 3 ya.” Karyo dengan cekatan memasukkan 3 bji risol ke dalam plastik dan memberikannya pada cewek itu. “Makasih ya kak, silakan ke sebelah buat kenalan sama Novan.” Cewek itu menyinggungkan senyum girang. Ia segera pergi ke sebelah Karyo, dimana Novan berdiri di sana dengan tatapan mata yang kosong dan keringat dingin yang mulai mengucur di jidatnya. “Hai, halo. Namaku Sheila, dari IIS 1.” Cewek itu memperkenalkan dirinya. Novan hanya mengangguk pelan dan tidak membalas jabatan tangannya. Ia malah menyembunyikan tangannya di balik punggung sambil terus mengusap tangannya yang berkeringat. “Udah? Udahan kenalannya? Minggir sana, aku juga mau kenalan sama dia!” Cewek bernama Sheila itu berdecak kesal saat seorang cewek di belakang menolaknya. Sheila bersungut kesal. Cewek di belakangnya tersenyum manis. “Halo, aku Syintia, dari MIPA 4. Kelas kita nggak jauh loh, kapan- kapan main ke kelasku ya,” ajak cewek bernama Syintia itu. Lagi, Novan hanya mangut- mangut dan tidak membalas jabatan tangan Syintia. Ia menggenggam tangannya erat. Satu perempuan lewat, dua perempuan lewat .. gumam Novan dalam hati. “Minggir, minggir! Aku mau kenalan woi!” Seorang cewek di belakang Syintia mendorongnya hingga nyaris terjungkal. “Eh, kamu! Jangan kasar gitu kenapa?! Hampir jatuh aku!” Protes Syintia. “Dih, lebay banget. Kan aku dorongnya pelan, badan kamu aja tuh lemah banget. Letoy. Tolak dikit udah jatuh!” “Apa lu bilang hah?!” Kericuhan kembali terjadi, kali ini lebih parah. Mereka berdua saling dorong dan saling bentak. Beberapa anak yang ada di sana mencoba merelai. Suasana semakin riuh, keduanya tak saling mengalah dan meminta maaf. Novan hanya bisa menonton pemandangan itu. Suara- suara ribut itu membuatnya pusing. Pandangannya mulai berputar- putar. “Novan!!” **** Novan mengerjapkan matanya perlahan. Matanya langsung di sapa oleh sinar lampu, yang perlahan mulai menampakkan sekelilingnya. Tirai hijau mengelilinginya. Tempat yang asing. Bau obat- obatan menyapa indera penciumannya. “Eh, eh! Novan udah sadar!” Terdengar suara seseorang di sana. Novan memperhatikan sekeliling. Karyo, Kirana, Gisel, dan Fiona ada di sana. Mereka memandang Novan dengan tatapan cemas. “Kamu nggak apa?” Tanya Karyo. Novan berusaha duduk. Karyo membantunya duduk dengan menyandarkan Novan dengan bantal yang ia berdirikan. “Ini … dimana?” Tanya Novan. Ia memegangi kepalanya yang agak pusing. “UKS. Aku gotong kamu kemari, tadi kamu pingsan,” jawab Karyo. “Pingsan? Aku?” Novan menunjuk dirinya. Semua mengangguk. “Iya, tadi kamu tiba- tiba pingsan, waktu cewek- cewek itu lagi ribut rebutan kenalan. Kamu mendadak pingsan, mereka langsung terdiam,” jelas Kirana. Karyo mangut- mangut. “Mereka heboh banget waktu kamu pingsan. Minta tolong sana sini. Kami langsung turun dari kelas 12, kaget juga lihat kamu udah pingsan gitu,” timpal Gisel. “Iya, terus nih Karyo sendiri yang gotong kamu ke UKS. Untung ini anak kuat bawanya.” Fiona menunjuk Karyo. “Aku kirain dia berat, ternyata ringan. Kurus kamu ya Van.” “MANA NOVAN?!” Kami semua menoleh ke asal suara. Pintu UKS di banting kencang dan tampak Andi berdiri di sana dengan nafas yang terburu. Gilang mendongak di belakangnya. Novan melambaikan tangannya pada Andi. “Van! Katanya kamu pingsan tadi ya? Kenapa? Kok bisa? Ada sakit nggak?” Andi menghujani Novan dengan banyak pertanyaan. “Ndi, Ndi, tenang Ndi. Aku nggak apa kok, udah sadar kok,” jawab Novan. “Bener kan nggak apa? Tapi aku ada bawa obat kamu, buat jaga- jaga. Siapa tahu butuh.” Andi memberikan bungkusan obat pada Novan. Novan mengambilnya dan memasukannya ke kantung celananya. “Loh? Kenapa nggak kamu minum obatnya?” Tanya Karyo. Novan mengeleng. “Nggak, ini obatnya tadi udah aku minum,” jawab Novan. “Oh? Nggak boleh minum lagi ya berarti? Sori sori, aku nggak tahu,” timpal Andi. “Ya enggaklah dodol! Mau overdosis anak orang nanti.” Gilang menjitak pelan kepala Andi. “Ya kan aku nggak tahu loh,” gerutu Andi. “Ada apa ini, kok rame banget?” Tanya seseorang di belakang Andi dan Gilang. Tampak seorang perawat sekolah berdiri di depan mereka. “Oh, yang pingsan udah sadar ya? Gimana nak? Kamu udah nggak apa?” Novan mengangguk. “Kamu katanya emang ada bawa obat ya? Udah kamu minum obatnya? Boleh saya lihat obatnya?” Tanya perawat. “Ah, eh … udah sih tadi …” Novan gelagapan. Ia menggenggam erat obat di dalam kantungnya. “Ah, ini … obatnya …” Perawat mengambil obat itu dan mengernyitkan alis, lalu menatap Novan sekilas. Setelah itu dia mengembalikan obatnya pada Novan. “Jangan kebanyakan minumnya, sesuai dosis aja,” ujar perawat. Novan mengangguk. “Kamu gimana sekarang? Pusing? Mual? Atau gimana?” Tanya Kirana. “Kamu masih kuat nggak? Kalo nggak kuat pulang aja, minta jemput tuh sama orangtua kamu, atau sama abang kamu …” Tawar Andi. Novan menggelengkan kepala. Jangan, jangan sampai Stevan tahu kalau dia pingsan! “Nggak, nggak apa! Aku nggak apa kok! Nggak usah di jemput, nggak usah,” tolak Novan. “Ya sudah, kamu kalau nggak kuat biar istirahat aja dulu di UKS. Nanti biar saya bilangin ke guru yang masuk nanti.” Perawat menawarkan diri. Ia melirik satu persatu yang ada di dalam. “Kalian ngapain lagi kemari hah? Balik kelas sana!” “Ah, tapi saya …” “Nggak, nggak usah alasan mau temenin dia. Masuk kelas sana! Biar saya aja yang jagain dia. Jangan modus kamu!” Potong perawat sebelum Andi menyelesaikan omongannya. “Udah, udah, balik sana! Jangan rame- rame temuin orang sakit!” Perawat itu mendorong mereka keluar UKS. Pintu UKS kembali di tutup, meninggalkan Novan dan perawat itu di dalam. “Kamu haus? Mau minum?” Perawat itu menawarkan. Novan mengangguk. Perawat itu menuangkan air putih ke gelas dan menaruhnya di meja dekat kasur. Novan meminumnya hingga habis. “Saya baru lihat kamu, kamu anak baru ya? Kelas 10?” Tanya perawat. “Iya, tapi saya dari kelas 11,” jawab Novan. Perawat itu mangut- mangut. “Hei, maaf ya. Saya nanya soal obat yang kamu minum,” ujar perawat itu. Novan meliriknya sekilas. “Mbak … tahu itu obat apa?” Tanya Novan. “Yah, kurang lebih begitu. Mungkin. Nggak terlalu asing juga sih dengan obat- obatan kayak gitu,” jawab perawat itu. “Saya nggak tahu apa masalah kamu, tapi kayaknya itu berat untukmu. Nggak apa, seengaknya kamu nggak salah langkah. Semangat terus ya, semoga kamu bisa sembuh sepenuhnya.” Novan menyinggungkan senyum kecil. “Makasih mbak.” “Hem, kamu kalau mau tidur, tidur aja dulu. Istirahat aja dulu. Kalau nggak nyaman, biar saya keluar. Kalau emang ada apa- apa, kamu panggil aja saya ya. Saya di ruangan sebelah.” Perawat itu bangkit dari duduk. Ia menunjuk ke pintu di dalam UKS. “Ini ruang istirahat perawat UKS.” “Anu mbak … izin saya gimana?” Tanya Novan. Perawat itu menepuk jidatnya. “Ya ampun, hampir lupa saya! Iya iya, biar saya pergi minta izin dulu! Kamu dari kelas berapa tadi?” “Kelas 11 MIPA 2 mbak.” “Oke, oke. Saya pergi temuin guru kamu dulu ya. Kamu istirahat aja dulu di sini ya.” Perawat itu keluar dari UKS, meninggalkan Novan sendirian di sana. Novan kembali berbaring. Ia mengeluarkan obat dari kantung celananya. Ia menatap obat itu lamat- lamat. Ia memikirkan perkataan perawat tadi. Ia menghela napas panjang. “Apa iya aku bisa sembuh?” Gumam Novan pelan. Ia kembali memasukkan obat ke saku celana. Ia tidak tahu pasti. Antara akan sembuh atau hidup bersama ‘penyakit’ ini selamanya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN