Semua orang sudah meninggalkan kamar mungil yang berada di loteng asrama khusus asister tersebut. Hanya terdengar isak tangis yang pilu dari dalam kamar. Lalu lalang para asisten rumah tangga yang lain melewati depan pintu, tapi tak ada satu pun yang berani mengetuknya atau mungkin hanya untuk sekedar memastikan, apakah pintu tersebut dikunci atau tidak?
Mereka yang menginjakkan kaki di depan pintu hanya mencoba melirik untuk sekedar ingin tahu. Tak ada satu pun yang berniat untuk menghibur atau membantu mengurangi penderitaan yang diderita oleh anak gadis dengan usia masih hijau ini.
“Hu ... hu ... hu ....”
“Maaf ....”
“Hu ... hu ... hu ....”
Permintaan maaf terucap lirih di sela tiap isaknya. Entah pada siapa ia menujukan kata maaf tersebut, padahal di sini ia hanyalah korban, tapi ia sendiri juga yang menanggung rasa bersalahnya.
“Ibu ... maafkan Arumi ....”
Tangis itu benar-benar nyaring, tapi setiap kata-kata yang ia ucapkan terdengar lirih bahkan seperti bisikan pada angin.
“Nyonya Marissa dibawa ke rumah sakit.”
“Kenapa memangnya? Jantungnya kumat?”
“Kayaknya begitu. Barusan pingsan, Pak Aksa yang bawa mobilnya.”
Obrolan dari luar terdengar oleh Arumi. Gadis tersebut langsung menghentikan tangisannya dan memindahkan fokus sambil mendengar percakapan para asisten rumah tangga.
Rasa bersalah semakin menghunjam pada jantungnya. Apa kejadian ini yang membuat majikan ibunya tersebut sampai jatuh sakit?
Arumi benar-benar tak berani menampakkan wajahnya karena ia merasa seakan ada noda hitam yang mencoreng tepat di muka. Para asisten yang lain pasti juga akan membencinya, sementara ia sendiri tak sanggup untuk menunjukkan apa yang terjadi padanya. Bagaimana nanti anak yang ada dalam kandungannya ini bisa hidup?
Tangis Arumi masih berlanjut tiap ia mengingat momen tersebut. Hening sejenak, lalu gaduh lagi. Suara isaknya seakan berlomba dengan deru angin yang berembus di luar sana.
Tirai di kamarnya itu masih terbuka, menampilkan dedaunan yang rimbun dari pohon tinggi di luar sana. Beberapa menit berlalu, sinar matahari kini tak menembus celah daun itu lagi. Langit semakin gelap, angin semakin kencang, tapi jendela itu tetap terbuka.
“Arumi!” Suara panggilan itu tak disertai dengan ketukan pintu.
Akan tetapi, engselnya langsung berderit tanda jika pintu langsung dibuka meski tanpa seizin yang empunya ruangan.
“Rumi ...!” Perempuan cantik dengan usia mendekati paruh baya tersebut langsung duduk di tepi ranjang yang berseberangan.
Perempuan yang dipanggil itu mengusap sedikit air matanya, kemudian dia menghadapkan kepala pada orang yang sedang mengajaknya bicara. Meski, ia masih tak berani menunjukkan wajahnya.
“Apa Aksa benar-benar menghamilimu?” tanya Laura yang ke sekian kali. Akan tetapi, dari pertanyaannya saat ini, dia tak bertanya ‘siapa’ melainkan ‘apakah Aksa’, seakan ia telah mengetahui sesuatu.
Arumi yang sedang menunduk semakin memperdalam pandangannya. Ia tak berani memberi jawaban meski seharusnya mudah untuk sekedar mengangguk saja.
Laura bingung bagaimana ia membuat Arumi mau bicara. Bahkan saat ini, ia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Sejak tadi, Arumi menyuguhkan belahan rambutnya saja untuk menghadap salah satu majikannya tersebut.”
"Arumi ... dengarkan aku, jika memang benar Aksa yang melakukan itu padamu, jangan pernah sungkan untuk meminta pertanggungjawaban darinya. Asal kamu mau berterus terang padaku, maka aku akan membantu untuk memperjuangkan hakmu dan hak anakmu,” tutur Laura yang seharusnya terdengar bak angin segar di telinga Arumi.
Akan tetapi anak itu tetap saja merasakan hal yang tak nyaman. Sudah bulat tekad dalam hatinya, ia akan pulang bersama sang ibu dan mengurus buah hatinya seorang diri. Dirinya tahu bagaimana nanti keluarga Aksa akan memperlakukannya jika dia menuntut agar menjadi bagian dari keluarga majikannya. Arumi tak mau berlarut dalam nestapa jika harus menjadi menantu dari keluarga ningrat yang berbeda kasta dengannya.
“Bagaimana, Arumi?” tanya Laura lagi yang menyadarkan Arumi dari lamunannya.
Kali ini gadis itu berani mengangkat kepala, akan tetapi dia menghadapkan wajah pada dedaunan yang berada di luar jendela sana. Dengan kata lain, ia kini sedang memunggungi majikannya.
“Aku serius menawarkan bantuan padamu! Jika kau sudah siap untuk bercerita, hubungi saja aku dan aku akan mendengarkan.” Begitu kalimat terakhir yang wanita tersebut ucapkan sebelum ia meninggalkan kamar dari anak pembantunya itu lagi.
Arumi mendengar lagi engsel pintunya berderit sekejap dan diiringi suara ‘Blak’ yang berasal dari pintu. Wanita itu sudah pergi, gadis berwajah suram tersebut akhirnya berkenan menatap ke belakang untuk melihat jejak-jejak kepergian sang majikan.
Sehalus apa pun Laura berkata, sedikit pun hatinya tak tersentuh. Entah kenapa, apa karena Arumi yang memang enggan untuk mengatakan kebenarannya pada siapa pun? Atau karena ia yang tak bisa merasakan ketulusan dari ucapan ibu tiri Aksa tersebut?
Gadis itu pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Tangannya meraih salah satu daun jendela dan hendak menutupnya. Satu per satu grendel pengunci ia kaitkan. Angin pun berhenti berembus menyibak tirai kamarnya.
Namun engsel pintu itu kini berderit lagi. Apa seharusnya Arumi mengunci pintu bukan mengunci jendela? Angin memang sering masuk tanpa permisi, tapi setidaknya kehadiran angin tak pernah mengusik hati.
“Arumi ....” Kali ini suara perempuan yang memanggil sedikit serak dan berat. Seperti menahan tangis yang belum sempat ia keluarkan.
“Ibu,” timpal lirih gadis itu begitu melihat wajah siapa yang muncul dari balik pintu.
Bi Minah berwajah pucat dengan mata sembab dan kelopak yang memerah.
Tak mampu berkata apa-apa, Arumi langsung tersungkur di depan kaki ibunya. Bahkan bagi Arumi, meminum air cucian dari kaki sang ibu pun rasanya tak bisa membuat rasa bersalahnya ini terhapus begitu saja.
Gadis itu bermental sangat kuat, tapi ia tak mampu jika harus melihat ibunya rapuh. Apalagi orang yang membuat kerapuhan itu adalah dirinya sendiri.
“Kita harus bergegas pergi dari sini. Ibu minta kontak laki-laki itu! Siapa namanya? Riko! Dia harus bertanggungjawab, ibu akan mendatangi orang tuanya.” Bi Minah tampak bertekad dan masih sangat yakin jika kehamilan anaknya itu disebabkan oleh sang pacar.
“Bu! Kita pergi saja! Arumi yang akan menanggung semuanya! Tak perlu meminta tanggung jawab dari siapa pun.” Gadis itu merengek sambil mengusap segala cairan yang ada di wajahnya.
“Tapi ibu tidak rela! Sampai mati ibu tidak ikhlas, Arumi! Riko harus bertanggung jawab! Bukan hanya kamu yang membuatnya!” tegas Bi Minah dengan berapi-api.
Arumi malah semakin kencang menangis. “Sudah, Bu, ayo kita pergi!” jawab Arumi sambil memasukkan semua bajunya ke dalam tas tanpa memeriksa lagi.
“Arumi! Berikan alamatnya pada ibu!” pinta Bi Minah sekali lagi dengan mata yang berlinang air mata.
“Kenapa ibu seteguh itu menuntut pertanggungjawaban dari Riko? Arumi sudah bilang, anak ini tanggung Rumi! Kita tinggal pergi dari rumah ini,” ujarnya sambil mengancingkan tas yang berisi barang-barangnya.
Bi Minah tak mampu lagi memaksa sang anak untuk meminta pertanggungjawaban dari laki-laki yang telah menghamili gadisnya. Perempuan yang menggunakan penutup kepala berwarna merah itu menatap nanar pada sang anak yang berusaha untuk mengangkat tasnya sendirian.
“Biar ibu yang membawanya,” ujar perempuan tua tersebut.
“Arumi saja!”
“Jangan membahayakan kandunganmu dengan membawa yang berat-berat. Biar ibu saja,” tawar Bi Minah sekali lagi. “Ayo lekas kita pergi! Kita ke kamar ibu dulu untuk mengambil barang ibu.”
Bi Minah merebut tas jinjing di tangan Arumi dan kemudian ia hendak meraih gagang pintu untuk membukanya.
Belum sempat tangan Bi Minah meraih gagang berwarna coklat tersebut, engselnya telah berderit dan daun pintu itu terdorong ke arahnya seakan terbuka dari luar.
Perempuan dengan penutup kepala merah tersebut pun mundur dari posisinya, begitu pula dengan Arumi.
Pria bertubuh jangkung dengan tinggi hampir menyamai daun pintu itu langsung menatap tajam pada tas jinjing yang ada di tangan Bi Minah. Dia juga mengedarkan pandangan dan jatuh tepat di wajah Arumi. Tatapan yang menghunus disertai dengan kerutan di dahi itu seakan tengah memindai bagaimana penampilan anak pembantu tersebut telah bersiap untuk pergi. Langkah kaki pria tersebut langsung mendekat dan ia menundukkan pandangan untuk melihat gadis bertubuh mungil yang tengah menyembunyikan wajahnya.
Baritonnya pun langsung menggema dan membuat tubuh Arumi mematung kaku di tempatnya. “SIAPA YANG MENGIZINKANMU PERGI?”