Begitu pria yang baru saja menggagahinya usai menumpahkan benih, perempuan dengan pakaian yang berantakan itu pun mencoba untuk bangkit.
Dia masih sadar dengan apa yang baru saja ia lewati. Semuanya terjadi begitu cepat tanpa bisa ia cerna, akan tetapi semua bayangan itu masih terasa nyata.
“Aaw!” lenguh Arumi begitu ia mencoba turun dari ranjang.
Sambil memeluk selimut, ia menangis lirih karena menyadari apa yang baru saja terjadi padanya. Dalam hatinya ia pun bergumam, “Ibu ....”
Hanya satu orang yang ia ingat saat itu.
Sang ibu.
Perasaan bersalah tiba-tiba larut dalam pikirannya. Kenapa dia bisa kehilangan mahkotanya pada pria yang baru ia lihat sekali dan itu adalah anak dari majikan ibunya? Bagaimana jika mereka tahu dan hal tersebut membuat sang ibu dipecat, bagaimana?
Sambil mencoba menahan perih, Arumi pun berdiri. Ia tarik selimut untuk menutupi tubuhnya, akan tetapi ... saat ia berdiri dengan selimut tersebut, justru tubuh pria yang baru saja memperkosanya itu terekspos. Spontan Arumi pun mengalihkan padangan dan terburu-buru memungut semua baju yang ia gunakan.
Ia masuk ke kamar mandi setelah melempar kembali selimut untuk menutupi tubuh Aksa. Ingin menangis, tapi ia sadar jika ini bukanlah saatnya. Dengan terburu-buru, ia pun menggunakan pakaiannya dengan cepat.
Mengendap keluar, ia melihat Aksa masih tertidur. Arumi pun mencoba untuk berjalan keluar dan mengambil tasnya.
Begitu ia melihat bingkisan kue yang dibawanya untuk sang kekasih, mata Arumi pun langsung berembun. Gadis itu menahan tangis dengan menggigit bibir bawahnya, bahkan ia serasa tak sanggup untuk menemui pria tersebut.
Dengan segera, Arumi keluar dari kawasan apartemen tersebut. Ia tetap berusaha untuk melangkahkan kaki dengan cepat, walau sesuatu yang telah robek di bawah sana membuat ia tak nyaman untuk melangkah.
Dalam lift, Arumi berusaha untuk merapikan kembali rambutnya yang terikat. Ia juga menghapus air mata yang membuat wajahnya tampak sembab itu.
Melalui gawai, ia melihat waktu yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hatinya pun ketar-ketir dan ia pun melangkah terburu-buru begitu pintu lift terbuka.
Urung untuk menemui sang kekasih, Arumi memilih untuk menaiki dan kembali pulang.
Hatinya sungguh hancur begitu semua bayangan tentang bagaimana Aksa menguasai tubuhnya, ia merasa tak sanggup untuk melihat dunia lagi.
Menyusuri trotoar di jam sepuluh malam, bukannya semakin malam semakin sepi, jalanan ini malah terasa lebih ramai dari biasanya. Semua pasangan muda-mudi menaiki sepeda motor untuk berkeliling kota menikmati malam tahun baru yang tinggal beberapa jam lagi.
Tapi ... ke mana senyum itu, dia yang sudah tak bisa lagi tersenyum karena rasa sakit di tubuh dan hatinya. Ketika di akhir tahun ini semua orang merayakan tahun baru, Arumi merasa akhir tahun ini adalah akhir dari hidupnya.
**
23:30
Apartemen Aksa.
Suara bel membangunkan pria yang sedang tertidur dengan lelap. Belum selesai ia menghabiskan lelahnya, dirinya harus terbangun oleh suara yang mengganggu tidurnya.
“Ah, siapa, sih?” tukasnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata dan pening di kepalanya. Efek mabuk tadi masih belum hilang dari pikirannya.
Bel itu terus berbunyi yang membuat kepala Aksa semakin pening.
Dia segera memungut baju dan menutupi tubuhnya. Lalu berjalan terhuyung menuju ke pintu apartemen.
“Siapa?” tanya Aksa sambil melihat pada layarnya.
Seorang wanita cantik dengan busana kasual berdiri tepat di depan pintunya.
Aksa pun mengucek-ngucek mata dan mencoba mengembalikan kesadarannya. Meski dalam hati ia terus menggerutu, siapa wanita yang berdiri di depan pintu apartemennya?
Pria itu pun membuka pintu dan wanita yang ada di sana langsung tersenyum memasang mata genitnya. “Mas Aksa?” panggil wanita tersebut dengan suara yang dibuat begitu sensual.
Wanita itu mengulurkan tangan sambil menggeser kakinya sedikit, agar belahan gaun tersebut menunjukkan betapa indah dan molek paha dan betis yang ia miliki.
Aksa tiba-tiba termenung dengan apa yang ia lihat. “Si ... siapa?” tanyanya dengan suara yang parau dan wajah dinginnya.
“Aku ... Amelia,” jawab wanita bergaun hitam tersebut menggunakan bibirnya yang merah merona.
Aksa langsung menggeleng. “Aku tidak mengenalmu, aku hanya memanggil satu wanita untuk malam ini. Tak perlu kau datang lagi,” ujar Aksa sambil berusaha menutup pintu apartemennya.
Pria itu mengabaikan sang wanita yang menekan belnya kembali. Namun Aksa tak peduli, lalu ia mencoba untuk masuk ke kamarnya.
Baru beberapa langkah, bel itu terdengar lagi dan pria itu sungguh terganggu karenanya. Dengan cepat ia berjalan menuju ke pintu dan membukanya.
“Uang cancel!” Wanita itu menatap tajam pada Aksa sambil menengadahkan tangan.
Aksa bingung, kenapa sekretarisnya memesankan dua wanita untuknya?
“Minta pada orang yang mengirimmu kemari!” tukas Aksa dengan kesal sambil ia membanting pintu apartemen sekali lagi.
Setelah hal itu, pria tersebut tak lagi mendengar suara bel yang bising di pintu apartemennya.
Pria itu pun ingat pada suatu hal. “Aku belum membayar wanita tadi,” gumamnya sambil mengingat-ingat. “Biar, Ray saja yang kuminta untuk transfer padanya.”
Kemudian langkahnya tertahan saat ia hendak masuk ke sebuah kamar.
Rantang biru milik neneknya. Kenapa ada di rumah ini?
Pria itu menghampiri ruang makan dan membuka apa yang ada dalam rantang tersebut.
Rendang, kering kentang dan tempe, acar ikan mas dan juga nasi. Ini semua adalah masakan dari rumah neneknya. Aksa tahu, karena setiap ia berkunjung pasti sang nenek meminta para ART-nya untuk membuat semua masakan itu.
“Kenapa bisa ada di sini?”
Di kala kebingungan tersebut, Aksa mendengar ponselnya yang bergetar dari arah buffet di ruang tengah.
“Halo, Ray?” ujar pria tersebut begitu mengangkat telepon. Suaranya masih sedikit agak serak karena ia baru saja tidur sebentar dan terbangun.
“Pak Aksa, apa Anda tidak memesan Amalia? Dia meminta uang cancel pada saya?”
“Hmm, benar! Kenapa kaupesankan aku dua wanita, Ray? Aku sudah selesai bersenang-senang, meski ... ya, aku tidak tahu sekarang wanita itu pergi ke mana! Oh, ya, jangan lupa transfer pada wanita itu. Emm ... aku belum menanyakan siapa namanya,” jawab Aksa dengan santai.
“Maksud Anda, transfer pada siapa, Pak? Amalia? Saya akan bayar uang cancel Amalia, baik, Pak.”
“Bukan, Amalia! Wanita yang sebelumnya! Wanita yang datang sebelum Amalia,” tutur Aksa sekali lagi.
Namun lagi-lagi, sekretaris dari Aksa itu semakin kebingungan. “Yang sebelum Amalia yang mana, Pak. Saya tidak mengirim wanita lain ke tempat Anda selain Amalia,” jawab Ray yang membuat Aksa terpaku.
Pria itu menatap pada rantang biru di atas meja makannya. Pikirannya mendadak tak enak dan ia langsung mematikan begitu saja teleponnya.
Dengan terburu-buru, pria itu pun segera menelepon sang nenek.
“Aksa, kaumau pulang atau tidak?” Suara cempreng sang nenek tiba-tiba langsung terdengar begitu telepon tersambung, bahkan saat Aksa sendiri belum sempat menyapa.
“Nek ..., makanan ini?”
“Oh, itu? Sudah sampai, ya? Tadi nenek suruh Arumi yang mengantar,” jawab sang nenek yang membuat keringat dingin di dahi Aksa keluar.
“Arumi?” Aksa menyebut nama itu untuk pertama kali.
Pria itu pun langsung berlari ke dalam kamar bekas tempat dia meniduri perempuan tersebut. Disingkapnya seprai yang menutupi kasur dan ia melihat noda berupa bercak merah muda di atas kain putih tersebut.
“Aksa, kamu dengar nenek bicara?”
Pria itu pun langsung menjatuhkan ponsel yang ada di genggamannya. Dia mendadak terkejut, karena telah salah meniduri wanita.
Satu penyesalan pun terbit dari hatinya. “Kenapa aku sampai salah meniduri gadis yang masih perawan?”