10. Aku yang Melakukannya!

1235 Kata
Tergagap oleh pertanyaan yang dilontarkan oleh Aksa. Arumi hanya bisa mengembuskan napas dengan cukup kencang sambil menyembunyikan sebagian wajah di balik punggung sang ibu. Sementara itu, Bi Minah menyenggol-nyenggol Arumi agar anaknya tersebut mau menampakkan dirinya seperti biasa agar sang majikan tidak salah sangka. Lebih tepatnya, dirinya merasa tidak enak karena pertanyaan Aksa sebelumnya. “Aksa ...! Mana mungkin Arumi berani melakukan hal itu. Mungkin lebih tepatnya, dia sungkan, malu. Bukan menghindar,” tutur Laura, sang ibu tiri, mencoba memperbaiki suasana. Aksa membuang pandangannya sembari memutar bola mata. Dia tak mau menyahut perkataan perempuan yang berstatus sebagai ibu tirinya tersebut. “Ah, sudah! Sudah! Kita bicarakan lagi ke intinya tadi. Arumi, satu-satunya anak muda di rumah ini hanya kamu. Saya yang secara pribadi menginginkan kamu untuk menjadi asisten pribadi Aksa selama dia di rumah ini. Kebetulan, karena dia katanya telah mengenalmu, jadi Aksa langsung setuju. Kami akan memberi kamu gaji yang cukup besar, tentunya lebih dari pendapatan kamu memberi les privat selama ini.” Nyonya Marissa mengungkapkan pikirannya. Wanita itu menatap pada Arumi dengan penuh harap. Bagian keriput di sudut matanya tampak sedikit bergetar saat ia memberi senyuman. Sungguh wajah seperti itu membuat gadis polos semacam Arumi tak mampu menolak permintaan tersebut. “Kalau tidak ada asisten pribadi di sini, aku tidak akan tinggal di rumah ini lagi!” pungkas Aksa dengan suara baritonnya yang terdengar arogan. Tentu saja hal tersebut membuat Nyonya Marissa langsung khawatir. Ia tak mau menjadi semakin jauh dengan cucu sulung kesayangannya. “Aku mohon, Arumi. Buat cucuku mau tinggal di sini lagi ....” Nyonya Marissa mengungkapkan permohonannya. Arumi masih bertahan dengan posisinya. Yaitu di balik punggung sang ibu. Bi Minah pun menggeser posisi agar tubuh Arumi tak tertutupi olehnya. “Rumi ....” Gadis itu terkejut karena begitu sang ibu menggeser tubuhnya, mata Arumi langsung bertatapan dengan mata Aksa yang sedang menusuk pada dirinya. “Hweeeek.” Arumi refleks merasakan mual saat ia bertatapan secara jelas dengan mata Aksa. Gadis itu pun spontan berlari ke toilet terdekat yang ada di sana dan berusaha menumpahkan isi perutnya ke dalam kakus. “Arumi ....” Bi Rumi pun langsung mengejar anaknya. Begitu juga Nyonya Marissa dan Laura yang terkejut akan hal seperti itu. “Arumi kenapa?” tanya Marissa saat ia berdiri di belakang Bi Minah. Mereka semua ada di depan kamar mandi, tempat Arumi menumpahkan semua isi perutnya. Sementara itu, Aksa sendiri masih duduk dengan santai di tempatnya semula. Ia sama sekali bergeming meski melihat semua orang sedang panik mengejar Arumi. “Kau tidak apa-apa, Arumi?” Bi Minah mencoba mendekat untuk memegang tubuh anaknya. Akan tetapi, tatapan mata Arumi pun mendadak kosong. Gadis itu merasakan kakinya yang melemah dan rasa sakit di kepala yang cukup hebat. “Arumi ....” Sekali lagi Bi Minah memanggil anaknya, kali ini sambil ia membopong Arumi. Sayangnya, gadis itu sama sekali tak menjawab dan ia jatuh di atas pangkuan ibunya. ** “Saya pasti akan mengusahakannya, Nyonya. Arumi pasti berkenan untuk menjadi asisten pribadi Mas Aksa," tutur Bi Minah ketika mereka berkumpul lagi di ruang tengah. Masih sama, di ruang tersebut ada Aksa, Nyonya Marissa, Laura dan Bi Minah. Sementara itu, Arumi sedang diperiksa oleh dokter yang baru saja dipanggil di kamarnya. “Semoga Arumi tidak kenapa-kenapa. Mungkin dia telat makan,” timpal Laura agar ruangan tidak hening. Nyonya Marissa hanya mengembuskan napas kasar sambil menatap pada cucunya yang saat itu sedang berdiri menatap ke luar melalui pintu kaca. Aksa terlihat tak acuh dengan apa yang terjadi. Pria itu seakan tidak mau tahu, ia tetap pada pendiriannya untuk menginginkan seorang asisten pribadi bila dirinya tinggal di rumah mewah milik keluarganya. “Biar nenek carikan orang untuk menggantikan Arumi sementara kalau begitu. Bila nanti Arumi sembuh dari penyakitnya, dia yang akan kembali bekerja menjadi asistenmu.” Nyonya Marissa mencoba memberi solusi sementara. Aksa masih bergeming di tempat sambil berdiri dengan kedua telapak tangan yang masuk ke sakunya. Dia sama sekali tak menoleh untuk memberi tanggapan akan pernyataan dari sang nenek. “Bagimana?” ulang Marissa. “Aku akan membantu mencarikan orang,” timpal Laura juga. Masih dengan cara menatap yang sama, dingin dan lurus. Aksa berbalik dan memberikan jawaban. “Kalau begitu aku akan tinggal di apartemen, sampai gadis itu sembuh. Aku tidak mau orang luar dari rumah ini yang menjadi asistenku!” tegasnya dengan sedikit memaksa. Tentu saja hal tersebut membuat Nyonya Marissa begitu sedih. Bukan apa-apa, melainkan ia harus berjauhan lagi dengan sang cucu. Padahal ia sudah terlanjur sangat senang begitu mendengar cucu kesayangannya itu ingin tinggal di rumahnya lagi. “Baiklah jika itu maumu, nenek bisa apa,” ungkapnya dengan wajah yang mendung dan suram. Pria bertubuh itu hendak meninggalkan ruangan tersebut, akan tetapi langkah kakinya urung begitu melihat seorang dokter wanita paruh baya yang hendak masuk ke ruang tengah. Dokter tersebut baru saja selesai memeriksa kondisi Arumi. “Bu Dokter, bagaimana kondisi Arumi?” tanya Bi Minah dengan spontan begitu melihat dokter tersebut datang. Wanita berhijab dengan jas putih itu meletakkan tasnya terlebih dahulu di atas meja. Laura mempersilakan sang dokter untuk duduk. “Silakan, Dok,” ucapnya. Dokter itu pun duduk dan menatap semua orang yang ada di sana. “Ibu dari Dek Arumi, apakah ada di sini?” “Saya, Bu dokter!” spontan Bi Minah langsung mendekat. Sang dokter pun memberanikan diri untuk bertanya. “Apa anak ibu, sudah memiliki suami?” tanyanya. Raut wajah Bi Minah pun langsung berubah, begitu pula dengan semua orang yang ada di sana. “Memang Arumi kenapa, Dok?” tanya Bi Minah khawatir. “Saya takut dugaan saya salah, karena ... secara samar saya mendengar detak jantung bayi. Maka dari itu saya menduga jika Arumi ....” “Anak saya tidak mungkin hamil, Dok. Dia bahkan belum menikah,” sela Bi Minah saat itu juga. Sementara itu, Aksa langsung mematung di posisinya dan ia urung pergi dari ruangan tersebut. Pria tersebut berdiri tanpa bergerak seolah sambil menahan napas. Bagaimanapun juga, ia tak ingin hal yang ia khawatirkan terjadi. “Ya, saya tahu itu. Maka dari itu, saya bertanya. Ada kemungkinan dokter juga melakukan kesalahan saat pemeriksaan. Untuk itu, jika Arumi sudah sadar nanti, saya meminta dia untuk melakukan tes ulang dengan alat uji kehamilan yang saya tinggalkan di kamarnya. Jika memang dia hamil, saya rasa sebaiknya dia segera dirujuk ke poli kandungan karena kondisi Arumi yang saat ini cukup lemah.” Sang dokter menuturkan pendapatnya. “Apa jangan-jangan malam itu ....” Bi Minah langsung mengingat saat Arumi harus memberikan kue untuk pacarnya di malam tahun baru. “Malam itu? Apa maksudnya?” tanya Laura. “Saat malam tahun baru itu ....” Bi Minah mempertegas ucapannya. Aksa pun langsung mendongak begitu Bi Minah mengatakan malam tahun baru. Wajahnya mendadak pucat dan dia pun berkeringat dingin. “Malam tahun baru?” Nyonya Marissa mengulangnya. Bi Minah menganggukkan kepala. “Benar, saat Nyonya menitipkan makanan di rantang biru untuk Pak Aksa. Saat itu Arumi juga hendak mengantar kue ke tempat ....” “Iya, aku yang melakukannya!” Mendengar suara bariton itu menjawab dengan tegas, spontan saja semua orang yang ada di sana pun menoleh pada Aksa. Sementara itu Bi Minah amat terkejut, padahal ia berpikir jika Arumi melakukan hal tidak terpuji itu dengan pacarnya. Akan tetapi di sini, malah Aksa yang dengan lantang mengakuinya. “Apa maksudmu, Aksa?” tanya Laura yang tak percaya. “Aku yang menghamili Arumi, itu kenapa aku ingin berada di dekatnya dengan menjadikannya asisten pribadiku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN