8. Aku ...?

1510 Kata
“Pris, sorry kemarin aku tinggalin!” ucap Arumi sambil menyerahkan sebuah nano flashdisk untuk temannya itu. Meski dirinya tak bisa ikut bergabung dalam kerja kelompok, tapi Arumi tetap bertanggungjawab dalam mengerjakan bagiannya. “Iya, nggak apa-apa. Kita juga minta maaf karena udah ninggalin kamu kemarin. Ini bagian kamu udah?” tanya Priska pada Arumi. Perempuan itu pun mengangguk. “He’em, Pris. Kalau ada yang kurang bilang aja ke aku nanti biar aku perbaiki.” Teman Arumi itu pun tersenyum. “Sip, Arumi!” “Eh, Rumi, ngomong-ngomong Mas Riko dari kemarin nelpon ke aku terus nanyain kamu. Memang kamu ... lagi berantem, ya, sama dia?” tanya sahabat Arumi yang seorang lagi. Gadis itu pun terkejut, karena dia baru ingat jika kemarin ia sempat memblokir nomor pacarnya sendiri. Entah kenapa, Arumi juga tak tahu penyebabnya, akan tetapi benar sekali jika dirinya masih belum siap untuk bertemu dengan Riko. Sebelum dirinya bisa mengembalikan keperawanan seperti sedia kala, Arumi rasanya masih tak punya muka untuk bertemu dengan Riko. “Kasihan, loh! Sampe nanyain tempat kamu tinggal juga. Mana aku, kan, nggak tahu rumah kamu di mana,” lanjut Lani bercerita. Arumi memang tak pernah bercerita pada kawan-kawannya jika dirinya ikut tinggal di rumah salah seorang konglomerat ibu kota. Bukan berarti Arumi gengsi memberitahu jika dirinya anak pembantu, tidak seperti itu. Baik Riko maupun kawan-kawan Arumi semua tahu jika ibu dari gadis itu memang bekerja sebagai asisten rumah tangga, akan tetapi Arumi tak pernah memberitahu, orang kaya mana yang menjadi majikan sang ibu. “Kalau ada apa-apa, lebih baik dibicarakan agar ketemu solusinya. Apa lagi kalau kamu merasa sayang pada Mas Riko. Jangan kabur, Mi ....” Priska memang terlihat lebih dewasa baik dari segi penampilan maupun dari segi pemikiran. “Nanti pulang kuliah aku bakal samperin dia ke kosannya, kok.” Arumi pun mengusaikan pembicaraan tentang Riko bersama kawan-kawannya. Meski keputusan untuk menemui Riko ke kos langsung itu entah benar atau tidak, karena hatinya sendiri masih pilu dan belum sanggup untuk menghadap pada pria yang menjadi kekasih hatinya itu. Mereka pun langsung duduk pada bangku kuliah masing-masing. Selagi ingat, Arumi juga membuka blokir pada nomor sang pacar yang tak bersalah itu. Kemudian ia menyimpan ponselnya karena tak sanggup untuk membaca pesan-pesan yang mungkin dikirim oleh Riko. Mencoba untuk terus fokus, tapi itu sulit. Kejadian malang yang menimpanya, rasa malu bertemu Riko, ketakutan akan hamil sampai operasi selaput dara yang ia rencanakan bersama Aksa menguasai pikiran Arumi bergantian. “Apa Pak Aksa tidak akan ingkar janji?” gumamnya dalam hati. Arumi yang gelisah tak bisa berhenti memainkan tutup pulpennya selama sang dosen menjelaskan. Pikirannya kosong dan yang membuat ia beruntung adalah dosen tidak memberinya pertanyaan atau menyuruhnya untuk ke depan kelas. ** “Mau langsung pulang?” tanya Priska pada teman yang ada di sebelahnya, yaitu Arumi. “Penjelasan dosen baru tadi benar-benar seru banget, sampai-sampai kuliah tiga SKS saja sama sekali tidak terasa. Bener, nggak?” timpal Lani yang masih membereskan tasnya. “Bener banget! Keren, sih, cara jelasinnya.” Kali ini Priska ikut memberikan pendapatnya. “Aku ada urusan dulu, kalian kalau mau pulang duluan nggak apa-apa.” Arumi mengangkat tasnya dan meninggalkan dua kawan yang ada di sampingnya. “Heh! Mau ke mana?” tanya Lani sambil mencoba memegang tangan Arumi. “Aku ada urusan dulu, Lan. Duluan, ya,” jawab Arumi sambil mencoba melepas pergelangan tangannya. Priska dan Lani hanya bisa berpandang melihat Arumi yang sejak tadi tidak bisa fokus, lalu kali ini pergi mendahului mereka. Sebenarnya ada apa dengan Arumi? Pikiran mereka bertanya-tanya. “Rumi!” Seorang pria dengan ransel dan perawakan yang tinggi mencegat Arumi begitu keluar dari pintu ruang kuliah. Tangannya langsung mencekal pergelangan Arumi dan pria tersebut menarik Arumi untuk menjauh dari tempat itu. “Kita harus bicara,” tutur pria tersebut pada Arumi. “Mas Riko?” timpal gadis berambut panjang dengan wajah bingung tersebut. Pergelangannya tiba-tiba saja terasa ditarik dan Arumi terpaksa melangkah mengikuti pria tersebut. “Kita mau ke mana?” Pria dengan hoodie hitam dan tinggi lebih dari 180 sentimeter itu tak memberi jawaban ke mana ia hendak membawa Arumi pergi. Dia hanya menggandeng lengan perempuan yang menjadi pacarnya itu hingga mereka keluar dari gedung perkuliahan. “Aku punya salah sama kamu?” tanya Riko setelah mereka ada di luar. Riko membawa Arumi untuk berdiri di bawah pohon besar yang ada di dekat gedung. Arumi tak bisa menjawab, ia belum siap untuk bercerita ataupun memberi keterangan kenapa ia melakukan hal tersebut sama Riko. “Arumi ...?” panggil pria tersebut sambil membelai pipi Arumi yang ditepis langsung oleh perempuan itu. “Kamu marah padaku? Baiklah, tapi ... setidaknya tolong beritahu aku, apa yang menyebabkan kamu seperti ini?” tanya Riko meminta kejujuran Arumi. Seperti biasa, jika sedang tak bisa berkata-kata, Arumi selalu menggigit bibir bawahnya. Rasanya ia ingin meminta tolong kepada angin untuk membuat keributan saja, agar ia selamat dari percakapan ini dan tak perlu menjawab apa-apa. “Kita memang baru sebentar pacaran, tapi ... aku kenal kamu sudah lama. Tolonglah, Arumi! Jangan begini, kalau aku ada salah, kamu bilang padaku,” tuntut Riko sekali lagi yang masih tak membuat Arumi membuka mulutnya. “Atau ... kau sudah mulai bosan padaku?” tebak Riko asal saja karena ia sangat putus asa melihat sifat Arumi. Arumi menggelengkan kepala. “Aku ... aku ... sekarang masih ingin sendiri, Mas. Maafin aku!” Dengan berat hati, Arumi mencoba melepaskan pergelangannya dari genggaman Riko. Hatinya benar-benar hancur saat ia memutuskan untuk meninggalkan pria yang ia cintai begitu saja tanpa penjelasan. “Arumi ... nggak!” Riko masih berusaha mempertahankan genggamannya. “Mas Riko ... bisa dapat perempuan yang lebih baik dari aku. Aku nggak pantas buat kamu,” tuturnya sambil berlinang air mata. Riko terkejut melihat Arumi yang menangis hanya karena pembicaraan sederhana. “Oke ... aku minta maaf, Sayang. Aku ... bakal kasih waktu buat kamu dulu. Kamu ... mau sendiri, kan? Oke, aku akan nunggu kamu. Aku nggak akan ganggu kamu sebelum kamu merasa siap untuk bertemu lagi sama aku. Oke, baiklah,” ucap Riko dengan suara yang berat. Pria tersebut meletakkan kedua tangannya di pundak Arumi dan bicara sambil menatap pada wajah ayu gadis yang sedang menunduk tersebut. Kemudian, satu tangannya beralih ke arah pipi dan ia mengusap air mata yang mengalir di sana. “Jangan nangis lagi, ya! Aku akan memberi kamu waktu. Kalau aku ada salah, aku minta maaf,” tutur Riko sekali lagi yang kali ini ia langsung mendekap Arumi. ** Hingga satu berlalu, Arumi masih menghindar dari Riko dan ia masih belum mau bicara dengan pria tersebut. Walau begitu, Riko masih mencoba untuk sabar dan menunggu wanitanya. Diberi pacar seperti Riko yang tampan, pandai dan baik hati, membuat siapa pun wanita yang ada di sampingnya merasa beruntung. Belum lagi, Riko telah memiliki pekerjaan sendiri meski ia masih kuliah. Pria tersebut telah berjanji pada Arumi untuk membuat perempuan itu bahagia dan kini berusaha menabung, agar bila Arumi lulus nanti mereka bisa langsung menikah. Sebelum ada kejadian di apartemen Aksa yang menimpanya, gadis itu merasa sangat beruntung dalam hal percintaan. Akan tetapi, sekarang bagaimana? Ia merasa tak pantas untuk bersanding dengan pria sebaik Riko. Arumi merasa kotor, bahkan jika ia melakukan operasi selaput dara sekalipun, dia tetap tak berani untuk berdiri lagi di samping Riko. Perempuan itu benar-benar meninggalkan Riko dan menghindar dari pria tersebut. Rasa bersalah selalu menghantuinya setiap ia berpapasan dengan pacarnya tersebut. Walau begitu, sampai satu bulan kemudian, Riko masih tetap setia kepada Arumi dan menunggunya. Sementara itu ... perubahan semakin terasa dalam diri Arumi selama satu bulan ia menghindar dari Riko. “Arumi ... kamu baik-baik saja?” tanya Bi Minah saat ia mendapat anak gadisnya datang dari kampus dengan wajah yang selalu murung. Sambil melepas sepatu, Arumi hanya memberi senyum pada sang ibu. “Kalau ada masalah, cerita sama ibu. Kamu putus dengan Riko?” tanya Bi Minah lagi. Walaupun dia belum pernah bertemu dengan Riko, tapi Bi Minah tahu bagaimana putrinya itu menyukai pria bernama Riko tersebut. Arumi tersenyum lagi. “Nggak, kok! Arumi hanya kurang enak badan saja.” Perempuan itu pun segera berlari ke kamarnya dan ia merasakan ponselnya bergetar selagi meniti anak tangga untuk pergi ke lantai dua. “Sebuah pesan? Pak Aksa?” gumam Arumi sambil membuka pintu kamarnya. Gadis itu mengabaikan pesan tersebut dan langsung masuk ke kamar saja. Arumi mengeluarkan sebuah benda yang baru saja ia beli dari apotek dan langsung berlari ke kamar mandi sebentar. Suara guyuran air terdengar dari dalam sana, setelah itu Arumi pun keluar dan ia pun membaca pesan dari Aksa dengan perasaan yang tak karuan. Apalagi, sebelah tangannya yang bergetar menggenggam benda yang ia bawa dari kamar mandi. [Aku sudah mendapat dokter yang memiliki reputasi baik untuk operasi selaput dara di Singapura. Kau harus menyiapkan dokumen seperti paspor untuk pergi ke sana. Aku akan membiayai semuanya!] ~ Pak Aksa. Sambil membaca pesan tersebut, Arumi melihat benda yang ia genggam di sebelah tangannya. Benda tersebut menunjukkan dua garis berwarna merah muda yang membuat Arumi ambruk seketika. Tangannya bergetar sambil memegang ponsel dan juga benda panjang bergaris dua tersebut. “Aku ... hamil?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN