Istri Rahasia CEO

Istri Rahasia CEO

book_age18+
848
IKUTI
5.0K
BACA
HE
age gap
heir/heiress
drama
childhood crush
like
intro-logo
Uraian

Myria tak menyangka bahwa cinta pertamanya jatuh kepada pria beristri. Ia berniat menjauh, menghapus lelaki itu dari benaknya, meski itu mustahil. Janji akan mencintai lelaki hanya sekali menggiringnya pada rasa begitu dalam dan tak bisa dilupakan begitu saja. Demi melupakan Arka, Myria terus menjauh.

Akan tetapi, lelaki itu kembali datang dan mengisahkan semuanya. Ia sangat ingin mengabulkan permintaan terakhir sang istri dengan memberikan anak. Egois memang, tetapi Arka merasa tak ada yang pantas menjadi ibu dari anaknya, selain Myria. Lalu, pada saat yang sama, pria itu jatuh cinta.

chap-preview
Pratinjau gratis
Kabar Menyakitkan
“Kedua indung telur saya harus diangkat?” Bergetar bibir Azmya tatkala mengucap demikian, sedangkan matanya mulai mengembun. “A—apa Dokter tidak salah?" Penjelasan dari dokter membuat sepasang ia dan sang suami saling tatap sesaat, dengan perasaan tak menentu. Sementara itu, Arka meraih tangannya, seakan-akan menyalurkan kekuatan di tengah kehancuran hatinya sendiri. “Sayang ....” Arka berkata sembari meremas jemari istrinya. “Semua akan baik-baik saja, percayalah.” Begitu kalimat Arka, coba menguatkan hati wanitanya yang tengah rapuh. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, Azmya terus tergugu. Entah berapa banyak air mata yang tertumpah, di sela doa dan harapan yang terlantun dari bibirnya. Beberapa kali wanita itu menepuk d**a yang kini terasa sesak. Betapa tidak, vonis dokter itu serta merta meruntuhkan harapan akan momongan yang didambakannya. Tak menghirau apa pun, Azmya langsung menelungkupkan diri di ranjang setibanya di rumah. Dia bahkan abai pada sang suami yang terus membujuk dan menguatkan. “Aku harus bagaimana, Mas? Bagaimana?” rintih Azmya dalam tangis. “Sayang ... percayalah, semua akan baik-baik saja.” Dengan lembut, Arka membelai kepala istrinya. Ia mendaratkan beberapa kecupan pada wanita terkasih yang tengah terguncang. “Semua hal yang terjadi di muka bumi ini membawa hikmah dan pelajaran hidup masing-masing. Tidak akan ada yang sia-sia, termasuk juga cobaan.” “Tapi, Mas ....” “Itu bukan akhir, Sayang. Masih banyak cara yang bisa kita tempuh. Kita hanya harus berdoa dan berusaha lebih lagi, ‘kan?” Hanya tangis yang kembali mengudara dalam kamar bercat putih bersih itu, usai Arka berucap. Pria itu lantas naik ke ranjang, lalu membawa sang istri dalam dekapan. Membisikkan banyak kata, berusaha menenangkan wanita yang begitu ia kasihi. Setelah vonis dokter terucap, entah berapa banyak hari yang dihabiskan Azmya berkubang dalam kesedihan. Tentu saja, itu membuat Arka sedikit kepayahan mengatasi duka yang melanda sang istri. Pelukan, rayuan, apa pun yang dilakukan Arka sama sekali tak berguna. Azmya justru semakin larut dalam kesedihan. Sebenarnya kesedihan itu beralasan, mengingat suami istri itu sangat mendamba keturunan. Sebelumnya, tiga kali Azmya keguguran. Hal yang membuat wanita itu terpuruk, karena merasa tidak mampu memberi yang terbaik bagi suami dan keluarga besarnya. Bedanya, kala itu Azmya bisa kembali sehat dan ceria karena semangat dari banyak pihak. Terlebih dukungan dari sang suami membuatnya lekas pulih, dan kembali menjalankan program kehamilan. Akan tetapi, kali ini berbeda saat dokter mengatakan bahwa opsi terbaik penyembuhan Azmya adalah memotong kedua indung telur, lalu melakukan serangkaian pengobatan sebagai penunjang. Mengangkat indung telur, sama saja dengan memutus harapan lahirnya sorang anak dalam rumah tangga mereka. Oleh karena itu, wajar jika Azmya merasa sangat terpukul. Hari berganti. Meski tak lagi menyambut pagi dengan wajah sembab, tetapi tetap saja Azmya tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Muram masih saja tampak dari wajah ayunya, yang kian hari kian tirus dan memucat. “Hei ... selamat pagi, Sayangku,” sapa Arka saat melihat istrinya datang ke meja makan. Hal yang tak pernah terjadi selama beberapa bulan terakhir. “Bagaimana jika kubuatkan tumis sayuran kesukaanmu?” Arka bangkit dan menarik sebuah kursi untuk Azmya. “Tidak perlu, Mas. Aku hanya ....” Wanita itu menggantung kalimatnya. “Apa kamu mau kita jalan-jalan?” Arka mengembangkan senyumannya. “Bukankah kamu suka pantai? Bagaimana kalau kita—“ “Mas ...,” potong Azmya seraya meraih tangan Arka yang terbiar di meja. “Maafkan aku.” Kalimat itu terucap diikuti sebulir bening yang meluruh. Saling berkejaran di pipi, lalu membasahi wajahnya. “Ada apa, Sayang?” “Maaf karena mengecewakanmu.” “Hey ... ada apa denganmu?” “Aku akan bertahan, dan tidak mau operasi. Aku tidak ingin menghapus kesempatan melahirkan anak kita, Mas. Aku—“ “Aku mencintaimu, aku ingin membuatmu bahagia sepanjang sisa hidupku, Azmya. Apa itu masih kurang?” “Rumah kita butuh hal lain sekedar cinta, Mas! Keluargaku, keluargamu, semua butuh penerus. Aku bahkan—“ “Cukup!” Arka menarik tangan dari genggaman Azmya. “Hanya satu hal yang aku butuhkan dalam rumah tangga kita, Azmya. Yaitu kamu! Bahagia bersamamu, tidak peduli apa pun keadaannya.” “Mas ....” Azmya mengiba. “Kumohon ....” “Kesehatanmu lebih penting dari segalanya, Sayang. Menurutlah apa kata dokter.” “Aku sehat, Mas! Aku baik-baik saja!” “Ada yang tidak baik, Sayang. Ada. Yaitu aku, jika melihatmu terus seperti ini.” Arka bangkit di akhir kalimatnya. Meninggalkan Azmya yang masih terpekur di kursi, menikmati tangis. Ia tidak habis pikir, mengapa istrinya begitu teguh dan rela menahan sakit demi memberi keturunan. Padahal Arka telah menyampaikan berkali-kali, tak ada momongan di antara mereka pun tak apa, asal keduanya tetap bersama. *** Setelah satu minggu lebih berada di Ternate, hari ini Arka kembali dengan banyak rindu untuk sang tambatan hati. Ada kekhawatiran, saat ia meninggalkan Azmya yang kala itu belum sepenuhnya pulih. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, tuntutan jabatan sebagai pengurus himpunan pengusaha muda, mau tak mau membuatnya pergi menangani sebuah proyek di berbagai daerah, utamanya untuk beberapa hal yang tidak bisa diwakilkan. Saat menyelesaikan pekerjaan di Indonesia bagian timur kemarin, pikiran Arka terus melayang pada keinginan sang istri yang menginginkannya menikah. Entah berapa kali permintaan itu terucap dari Azmya, hingga menjadi beban tersendiri baginya. Bahkan, saat bertemu atau berbincang dengan lawan jenis, pria itu banyak merenung. Bisakah lawan bicaranya itu menjadi ibu bagi anak yang diinginkan Azmya? Arka mengayun langkah melewati pintu kaca. Sesaat ada keheranan manakala matanya menangkap sosok wanita cantik, mengenakan gamis berwarna pastel menjuntai hingga kaki. Wajah teduh yang melengkungkan senyum manis di bibir sebagai sambutan. Wanita yang tak lain adalah Azmya itu lantas mendekat dan menyambut tangan Arka. "Pak Aziz mana?" tanya Arka setelah mendaratkan sebuah kecupan di kening istrinya. "Tidak masuk, lebih tepatnya, kularang masuk kerja." “Terus, ke sini sama siapa?" "Sendiri. " Azmya tersenyum lebar. Mendengar jawaban istrinya, Arka mengernyit. "Sendiri?" "Iya!" jawab Azmya semringah. Wanita itu meyakinkan sang suami bahwa apa yang ia katakan benar adanya. "Bukankah sudah kubilang, jangan mengemudi sendiri, sejauh ini?” kata Arka saat keduanya berjalan beriringan. Tangan mereka saling menggenggam saat menuju area parkir. "Sepertinya tidak apa jika sekali-kali aku melakukannya. Bukankah, sekali waktu kita juga butuh waktu berdua?" Senyuman Azmya merekah, seolah-olah dia telah lupa akan kesedihannya saat terakhir kali Arka pamit. Namun, begitulah Azmya, wanita yang mendampingi Arka selama hampir sepuluh tahun. Selalu seperti ini. Hangat dan manis, selalu bisa menjadi penyempurna hidup bagi pasangannya dalam kekurangan. Wanita yang rela meletakkan seluruh karir dan gelar master yang ia miliki, hanya demi lebih memusatkan perhatian pada keluarga. Tutur katanya lembut dan selalu menyejukkan hati. *** "Aku bisa bertahan, Mas! Aku bisa, jangan memaksaku melakukan hal yang tidak bisa aku lakukan!" isak Azmya siang itu, sepulang dari rumah sakit. Sementara, Arka menggenggam erat tangan wanitanya, coba menenangkan tangis yang menyayat. Azmya bukanlah wanita cengeng, ia begitu lembut dan penuh wibawa, sosok tepat sebagai panutan, seorang ibu dan istri. Bahkan Arka tidak pernah melihat istrinya sehancur ini. Arka memeluk tubuh yang terus meronta, agar tak jatuh menyentuh lantai. "Jangan keras kepala, Sayang. Kamu dengar sendiri bukan, apa kata dokter siang tadi?" "Aku tidak ingin kehilangan harapanku, Mas. Bukankah kamu yang paling tahu?" "Kamu hanya harus bisa menenangkan diri." "Aku ingin ada seorang anak yang memanggilku dengan sebutan Bunda, Mas ...," lirih Azmya, setelah lelah meraung. Arka mengusap kepala wanitanya dan berucap, "Aku yang akan melakukannya untukmu." Duka wanita itu berawal siang tadi, ketika dokter mengatakan bahwa kista telah membesar, meski sejak awal dilakukan tindakan. Jika pada umumnya, kista bisa dikikis atau dibuang, jenis penyakit yang menggerogoti salah satu organ kewanitaannya ini berbeda. Kata dokter pula, tak ada jalan lain, kecuali harus memotong indung telur tempat kista itu terus tumbuh secepatnya, jika ingin Azmya benar-benar sembuh. Akan tetapi, Azmya menolak mentah-mentah saran dokter. Dia masih berkeras dengan impian memiliki seorang putri, seperti keinginannya saat pertama kali menikah. Bujuk dan rayuan Arka bahkan sama sekali tidak bisa meredam kesedihannya. Sikap manis dan hangat yang menjadi ciri pun hilang, berganti dengan tangis berkepanjangan yang memperburuk kondisi tubuhnya. "Kita bisa mengadopsi anak, kalau kamu menginginkan seorang putri kecil di antara kita." Begitu kata Arka saat Azmya telah tenang kembali. Mendengar itu, Azmya menggeleng lemah dan berucap, "Aku tidak mau.” "Bukankah sudah kukatakan, memilikimu sudah lebih dari cukup?" "Sampai kapan kamu akan bertahan, Mas?" "Sampai napasku berakhir, bersamamu." "Jangan bodoh." "Kita bisa mengadopsi anak, sebanyak yang kamu mau." Arka mengulang kalimatnya. "Aku menginginkan anak darimu, Mas. Bukan anak dari orang lain." "Bunda, Sayang ...." "Aku tidak bisa lagi memberikan apa yang kamu inginkan, Mas. Bahkan, sebutan itu menyakitiku sekarang." "Aku tidak menginginkan apa pun lagi darimu, Mya. Cukup kamu saja." "Keluargamu, orang tuamu, mereka menginginkan cucu perempuan dariku, dan aku tidak bisa memberikannya ... tidak bisakah kamu pahami betapa aku sakit karena itu semua, Mas?" Seperti yang sudah-sudah, Azmya terisak. Membenamkan tangis di d**a Arka. Keinginan berbakti pada lelaki terkasih yang terlalu besar, membuat batinnya tersiksa. Kerinduan menjadi ibu yang sesungguhnya, menghadirkan rasa bersalah yang tak bertepi. "Orang tuaku bisa menerima semuanya, Sayang. Karena bagaimanapun, dirimu jauh lebih penting bagiku, daripada keinginan mereka." Entah berapa kali Arka mengucap kalimat yang sama. Azmya menarik diri dari dekapan suaminya. Mengambil jarak, lalu menatap mata suaminya lekat-lekat. "Menikahlah." Begitu kalimat yang diucapkan Azmya, hingga membuat Arka terkesiap. "Menikahlah ...," ulang Azmya, dengan mata memejam, yang mengalirkan air di setiap sudutnya. "Kamu tidak perlu sejauh itu, Azmya! Apa kamu pikir, pernikahan adalah sebuah permainan?" Tak ada jawaban. Hanya terdengar isak tangis yang semakin jelas dari tubuh Azmya yang terguncang pelan. *** Bersambung .... Catatan : Tentang penyakit kista ini, saya mengambil pengalaman adik sepupu yang harus memotong indung telurnya, dengan kasus yang sama.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.6K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
295.9K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
173.0K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
214.9K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.7K
bc

TERNODA

read
193.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook