4

1681 Kata
Rekan kerja Lorra segera mendekati Lorra. Mereka memeriksa tubuh Lorra, tidak ada memar atau apapun. Syukurlah, mereka bernapas lega. “Kau baik-baik saja, kan, Lorra?” tanya rekan kerja Lorra di shift pagi. Ia tadi sudah mendengar dari rekannya yang lain yang berada di shift malam tentang Rex, si pria arogan dengan tempramental buruk di ruang VIP 3. “Memangnya kalian berharap terjadi sesuatu yang  buruk padaku?” tanya Lorra sembari melangkah memasuki nurse station. Ia melihat ke monitor komputer di depannya. Memeriksa laporan pasien yang akan ia kunjungi setelah ini. “Kau tidak dicaci maki oleh Rex Dalton, kan?” tanya Louisa penasaran. “Tidak.” “Seperti biasanya, Lorra tidak pernah mengecewakan.” Amanda memuji Lorra. Rekan satu profesinya ini selalu bisa menjinakan orang-orang galak. Pernah satu kali Lorra berkelahi dengan seorang pria yang melakukan kekerasan fisik terhadap pasien di rumah sakit yang merupakan istri pria tersebut. Lorra baru bekerja satu tahun di rumah sakit itu, tapi ia sudah menjadi idola banyak pasien. Terkadang ada pasien yang ingin menjodohkan Lorra dengan anak, keluarga, kerabat atau teman mereka. Bahkan ada juga pasien yang menyatakan perasaannya pada Lorra. Selain keterampilan yang baik, Lorra juga memiliki wajah yang di atas rata-rata. Ia lebih cantik dari rekan-rekannya. Ia memiliki tubuh seperti model. Jika saja Lorra melamar untuk bekerja sebagai selebritis atau model, percayalah ia pasti akan diterima langsung, Wajah Lorra pasti akan menghiasi banyak majalah dan televisi. “Jadi, apakah Rex Dalton sangat tampan?” tanya Rose penasaran. “Lebih baik kau melihatnya sendiri,” balas Lorra. “Kau salah bertanya, Rose. Bagi Lorra tidak ada yang lebih tampan dari Altair.” Louisa mengedipkan sebelah matanya pada Lorra. Altair adalah cinta pertama Lorra, tapi ia tidak mencintai Altair secara membabi buta. Ia mengakui ada banyak pria yang jauh lebih tampan dari Altair. Rex Dalton salah satunya. Mungkin jika Altair dan Rex dibandingkan, keduanya akan tampak seperti langit dan bumi. Rex ketampanannya terlalu berlebihan jika untuk disandingkan dengan Altair yang memiliki wajah tampan rata-rata. “Aku akan memerika pasien di kamar VIP 1.” Lorra meninggalkan teman-temannya. Lagi-lagi ia mengabaikan pembicaraan temannya mengenai Altair. Saat ini Altair menjadi topik yang sangat malas untuk ia bicarakan. Pria sialan itu bahkan tidak merasa bersalah setelah menyelingkuhinya. Lorra yakin itu bukan yang pertama kalinya Altair menyelingkuhinya. Lorra masuk ke dalam kamar yang terdapat tidak jauh dari kamar Rex. Ketika ia masuk, ia langsung memasang wajah tersenyumnya. “Selamat pagi, Jason.” Lorra menyapa remaja berusia lima belas tahun yang saat ini tengah duduk di atas ranjang sembari bermain game. Jason segera meletakan ponselnya. “Selamat pagi, Lorra.” “Bagaimana kabarmu saat ini?” tanya Lorra. Ia membawa obat untuk Jason. “Sangat baik.” “Aku senang mendengarnya.” Lorra tersenyum senang. Melihat kondisi pasien jauh lebih baik adalah sesuatu yang membahagiakan untuk Lorra. “Kau sudah memakan sarapanmu?” “Aku tidak lapar.” Lorra menggelengkan kepalanya. “Kau tidak boleh melewatkan sarapanmu, Jason. Ayo makan. Setelah itu aku akan menemanimu bermain game sebentar.” “Tiga ronde?” Jason sedang membuat kesepakatan dengan Lorra. “Tiga ronde.” “Kau yang terbaik, Lorra.” Jason segera mengambil piring sarapannya. Ia menyantap sarapan itu dengan perasaan senang. Lorra hanya memandangi Jason yang makan dengan lahap. Lorra sejujurnya mengasihani Jason, anak remaja ini memiliki nasib yang mungkin bisa disamakan dengannya. Jason anak dari istri tidak sah yang diabaikan oleh ayah kandungnya. Namun, masih cukup beruntung karena kebutuhan Jason masih dipenuhi. Setidaknya Jason hanya kekurangan cinta, dan masih memiliki kehidupan yang baik. Selama Jason di rawat di rumah sakit, tidak sekalipun ayah Jason datang berkunjung. Jason hanya dirawat oleh ibunya. “Aku sudah selesai, Lorra.” “Bagus.” “Minum obatmu dahulu.” “Berikan padaku.” Jason meminum obatnya dengan baik, lalu setelah itu barulah ia bermain game dengan Lorra. “Lorra, kau benar-benar hebat.” Jason tampak sangat gembira. Ia memenangkan game berkali-kali dengan Lorra sebagai anggota timnya. “Bukan aku yang hebat, tapi kau.” Lorra menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. “Aku tahu kau jimat keberuntunganku, Lorra. Jika kau di tim ku, aku pasti akan menang,” ucap Jason bersemangat. “Baiklah, cukup dengan bermain game. Kau ingin pergi ke taman denganku?” tanya Lorra. “Ya, Lorra. Aku sudah sangat bosan berada di dalam ruangan ini.” “Baiklah, ayo aku bantu turun ke kursi rodamu.” “Baik, Lorra.” Lorra juga memiliki banyak adik seperti Jason,dan ia sudah menganggap Jason seperti adiknya sendiri. Lorra mendorong kursi roda Jason, ia membawa remaja tampan itu ke taman rumah sakit. Di sana juga terdapat beberapa pasien yang sedang berjemur. Di taman itu, Jason melihat ke arah seorang anak laki-laki kecil yang sedang ditemani oleh ayahnya. Jason merasa iri, ia tidak pernah merasakan hal seperti itu. Ayahnya bahkan enggan melihat wajahnya. “Lorra, bagaimana rasanya memiliki ayah?” tanya Jason. Matanya masih tidak lepas dari ayah dan anak beberapa meter darinya. Pertanyaan Jason sulit untuk Lorra jawab. Ia juga tidak tahu bagaimana rasanya memiliki ayah karena selama ia hidup ayahnya juga tidak mempedulikannya yang sama saja dengan ia tidak memiliki ayah. “Jason, jangan memikirkan sesuatu yang akan menyakiti dirimu sendiri. Saat ini kau mungkin tidak tahu bagaimana rasanya memiliki ayah, tapi beberapa tahun ke depan kau akan tahu bagaimana rasanya menjadi ayah,” balas Lorra dengan lembut. “Aku tidak ingin memikirkannya, Lorra. Namun, terkadang aku merasa begitu iri dengan mereka yang memiliki seseorang yang bisa mereka sebut sebagai pahlawan dalam hidup mereka.” “Aku mengerti perasaanmu, Jason.” Lorra benar-benar mengerti, karena dahulu ia juga merasakan hal yang sama sebelum akhirnya ia benar-benar mengerti bahwa di dunia ini tidak semua hal bisa didapatkan. Semua orang hidup dengan takdirnya masing-masing. “Saat ini kau mungkin kurang beruntung tentang ayahmu, tapi bukankah kau memiliki ibu yang sangat mencintaimu? Tidak semua anak bisa merasakan kasih sayang ibunya seperti yang kau miliki. Daripada memikirkan apa yang tidak kau miliki, bagaimana jika kau menjaga apa yang kau miliki saat ini,” seru Lorra. Jika dibandingkan dengannya, hidup Jason lebih beruntung. Lorra kehilangan ibunya di saat ia berusia dua belas tahun. Saat itu ia harus melewati semuanya sendirian, tanpa wanita yang selalu menjadi alasannya untuk tetap tersenyum. Namun, hidupnya masih terus berlanjut hingga sampai detik ini. Bagi Lorra kematian ibunya bukan berarti akhir dari hidupnya. Ibunya akan selalu menemaninya, yang pergi hanya raga, bukan jiwanya. Jason memiringkan wajahnya, menatap Lorra yang selalu bisa membuat ia merasa lebih baik. “Kau benar.” Saat Lorra sedang menemani Jason, di nurse station, Amanda melangkah menuju ke ruang rawat Rex. Ia akan mencoba keberuntungannya, siapa yang tahu mungkin saja Rex akan tertarik padanya. Bukan rahasia umum jika Rex suka bergonta ganti pasangan tidur. Mungkin saja ia bisa menjadi salah satu penghangat ranjang Rex. Dari yang Amanda tahu Rex selalu berbaik hati dengan teman wanitanya. Pria itu akan memberikan barang-barang mewah yang harganya puluhan kali lipat dari gajinya sebagai perawat. Amanda masuk ke dalam ruangan Rex. Bokongnya yang padat bergoyang sesuai dengan iringan langkahnya. “Selamat pagi, Tuan Dalton, apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanya Amanda sembari memandangi Rex yang saat ini memejamkan mata. Rex membuka matanya, dan menatap perawat yang tidak ia inginkan untuk datang ke ruangannya. “Aku memanggil perawat Lorra, bukan kau!” seru Rex ketus. “Saat ini Lorra sedang merawat pasien di kamar VIP 1. Jika Anda membutuhkan sesuatu katakan saja pada saya,” balas Amanda dengan senyuman cantiknya. “Enyah dari sini! Segera perintahkan perawat Lorra untuk datang ke sini!” Amanda tidak menyerah dengan mudah. “Apakah Anda merasa tidak  nyaman? Saya bisa membantu Anda agar merasa lebih nyaman.” Tatapan Rex semakin tajam. Jenis wanita bebal macam apa yang ada di ruangannya saat ini. Membuatnya merasa lebih nyaman dengan apa? d**a yang hampir keluar dari seragam perawatnya, atau bokongnya ketika roknya disingkap sedikit akan terlihat. Rex bingung, wanita ini perawat atau pemain film porno yang menggunakan kostum perawat. “Apa kau ini jenis i***t yang memiliki otak hanya untuk pajangan saja!” desis Rex. “Enyah dari sini dan jangan pernah menampakan wajah memuakanmu lagi di depanku!” Wajah Amanda berubah pucat. Kata-kata Rex seperti pisau tajam yang melukai hatinya. “Tuan Dalton, saya hanya berniat membantu.” “Namun, yang aku tangkap kau bukan ingin membantu, tapi merayu. Kau lebih cocok jadi pemain film dewasa daripada perawat. Ckck, b****g dan payudaramu pasti hasil operasi plastik.” Rex memandang dua bagian tubuh kebanggan Amanda dengan menghina. Amanda mengepalkan kedua tangannya, matanya memerah menahan tangis. Tanpa mengatakan apapun ia keluar dari ruang rawat Rex. “Dasar w************n, apa dia pikir aku akan tergoda dengan belahan dadanya itu,” gerutu Rex. “Kalian yang di luar, masuk sekarang juga!” Rex memanggil dua penjaganya. Dua penjaga itu segera masuk ke dalam ruangan Rex. “Apakah Tuan membutuhkan sesuatu?” tanya salah satu dari dua penjaga itu. “Kalian benar-benar membuang uang saja, kenapa kalian membiarkan pemain film porno tadi masuk!” marah Rex. “Maafka kami, Tuan. Kami mengira Anda memanggil perawat itu,” balas yang lainnya. “Mulai sekarang, kecuali perawat yang bernama Lorraine Parker, jangan biarkan yang lainnya masuk ke dalam ruanganku! Mereka mencemari udara di sekitarku! Kalian paham!” “Paham, Tuan.” Kedua penjaga menjawab bersamaan. “Sekarang cari perawat Lorra!” titah Rex. “Baik, Tuan.” Kedua penjaga itu lalu keluar dari ruangan Rex, segera menjalankan tugas dari majikan mereka. Penjaga menemukan Lorra masih berada di taman. Ia segera mendekati Lorra. “Perawat Lorra, Tuan Rex mencari Anda,” seru penjaga itu. “Kenapa dia mencariku?” tanya Lorra. “Tuan Rex sepertinya membutuhkan bantuan Anda.” “Ada banyak perawat lain di rumah sakit ini. Katakan pada atasanmu bahwa saat ini aku sedang merawat pasien yang lain,” seru Lorra. “Perawat Lorra, sebaiknya Anda menemui Tuan Rex sekarang juga.” “Kembali ke atasanmu, aku akan datang ke ruangannya setelah ini.” “Baik, Perawat.” Penjaga Rex segera meninggalkan Lorra dengan perasaan lega. Jika ia tidak bisa membawa Lorra ke kamar tuannya, ia pasti akan dimarahi oleh tuannya yang bermulut tajam.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN