“Ugh! Kenapa harus hujan. Aku… jadi… hik... basah kuyub,” ucap laki-laki berpawakan bongsor. Dari gelagatnya dia sedang mabuk. Terlihat dari botol yang sedang dia pegang.
“Shhh, dingin. Hik….”
Tatapan laki-laki itu mengarah pada Rahel dan Ziya. Menyorot dengan tatapan m***m.
Setiap langkah laki-laki itu mengikis jarak dengan mereka. Semakin dekat, semakin banyak keringat dingin yang keluar. Tenggorokan Ziya terasa kering. Menelan saliva saja ia tidak bisa. Laki-laki itu benar-benar mengerikan!
“Ma-mau apa?” tanya Ziya memberanikan diri. Sedangkan Rahel tak bergeming dengan tubuh gemetar.
Laki-laki itu tak bersuara. Ia justru menyipitkan mata seolah menimbang-nimbang. Kemudian, saat seringai itu menampakkan eksistensinya. Tubuh Rahel diangkat paksa. Suara jeritan menggelegar.
“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Rahel ketakutan.
“Hei Tuan! Jangan macam-macam dengannya! Kau akan menerima akibatnya nanti. Di-dia….” Ayolah cari segala macam alasan agar laki-laki itu melepaskan Rahel. Ziya benar-benar punya firasat buruk!
“Dia itu akan dijual ke tempat b***k!” celetuk Ziya. Argh terserahlah! Yang penting Rahel selamat dulu. “Kau akan dimarahi oleh bos mu jika terjadi sesuatu padanya. K-kau tahu kan? Para bangsawan tidak mau barang cacat. Itu akan mengurangi harga jualnya.”
Dalam hati, “maafkan aku Rahel. Itu demi menyelamatkan mu.”
“Bos?” ulang laki-laki itu. “Kenapa aku harus memarahi diri ku sendiri?”
“A-apa?!”
“Hahaha, akulah bosnya. Mau aku apakan gadis ini tidak ada yang akan memarahi ku. Jadi… hik…. “ laki-laki itu beralih ke Rahel. Menyeringai m***m. “ Layani aku gadis kecil.”
“Tidaaaaak! Tidak mau!” Rahel berteriak histeris. Setiap teriakan membuat Ziya panic. Ia harus melakukan sesuatu!
Tapi… apa yang bisa Ziya lakukan? Sedangkan dirinya saja gemetaran seperti ini!
“Arghhh! Kuatkan diri mu Ziya! Di masa depan kamu bakal mati. Seenggaknya jangan seret orang nggak bersalah!”
Dengan tekad kuat itu Ziya berlari ke arah laki-laki bongsor itu. Menyeruduknya dengan sisa kekuatan yang ada.
Berkali-kali Ziya dijatuhkan. Berkali-kali juga Ziya dibanting. Ia terus bangun dan kembali menyerang laki-laki itu secara membabi buta. Menggigitnya, menendangnya, menyeruduknya. Tak peduli bibirnya pecah. Tak peduli lututnya tergores. Pokoknya Rahel harus selamat!
“Nyo…nyonya….” gumam Rahel. Tak menyangka Nyonya yang dulu sering menyiksanya kini dengan segenap hati ingin melindungi.
“Nyonya. Ku mohon berhenti. Jangan sakiti diri mu lagi.” Suara tangis pecah. Rahel tidak peduli seberapa menyeramkannya laki-laki ini. Yang ia inginkan hanya Nyonyanya berhenti menyakiti diri sendiri.
“Rahel. Kau tahu?" Tubuh yang baru saja dibanting itu kembali berdiri. “Aku pernah mati konyol sekali. Jika memang di sini kuburan ku. Setidaknya aku akan bangga karena mati menyelamatkan orang. Hihi.”
“Jadi… jangan berteriak terus. Gunakan energi mu untuk menyelamatkan diri.”
“Hais! Bicara apa kau sejak tadi!” bentak laki-laki itu. Amarahnya tersulut. Alkohol mengendalikan dirinya. “Tck! Persetan dengan tebusan! Aku akan membunuh mu di sini!”
“Nyonyaaaa!”
DOR!
***
Sentuhan halus Ziya rasakan. Berkat itu kesadarannya kembali. Tapi… emh, bagaimana ya? Ziya sedang malas membuka mata tuh. Bukan malas sih. Lebih tepatnya tidak mampu. Badannya benar-benar kaku. Gerak sedikit saja tulang-tulangnya beresonansi menimbulkan ngilu. Rasanya ia ingin hibernasi panjang seperti beruang.
Samar, Ziya mendengar suara obrolan. Oh apa ini obrolan untuk menentukan Ziya akan masuk surga atau neraka?
"Kondisinya bagaimana?"
"Nyonya harus banyak istirahat."
"Dia belum bangun sejak kemarin."
"Itu...."
Emang ada ya malaikat maut manggil Nyonya? Batin Ziya. Ngomong-ngomong suaranya familiar. Rasanya seperti saat Ziya pertama kali ke dunia n****+.
Ah! Apa Ziya masih hidup? Tapi matanya sulit sekali dibuka. Sumpah deh, kalau Ziya punya tenaga untuk membuka mata. Ia ingin melihat siapa gerangan pemilik suara halus itu.
Beberapa jam yang lalu juga Ziya sempat merasakan pucuk kepalanya dielus.
Bunyi derap langkah mengisyaratkan orang itu akan pergi. Entah ini malam atau siang. Ziya tidak tahu. Satu hal yang ia rasakan. Tiap hari rasanya dingin.
Terakhir yang Ziya ingat setelah bunyi menggelegar ia melihat darah. Karena kaget, Ziya pingsan begitu saja. Meninggalkan Rahel yang tampak terkejut. Ah, anehnya waktu itu Rahel tidak sedang menatap Ziya. Sorotnya mengarah ke sisi lain.
Apa ada orang yang menyelamatkan? Oke, anggap saja seperti itu. Tapi siapa?
Ah, itu dipikirkan nanti saja. Ziya harus fokus hibernasi.
***
Dua hari kemudian.
“Huweee, Nyonya… aku kira Nyonya akan menyebrangi sungai kematian. Ternyata masih hidup. Huweee. Huhuhuuu….”
“Aku… aku benar-benar bersyukur Nyonya sadar. Aku… huwaaa, huhuuu. Aku akan mejadi orang paling bersalah kalau Nyonya mati….”
“Terimakasih Nyonya. Terimakasih sudah menyelamatkan ku waktu itu. Ya, walaupun sia-sia sih. Tapi aku benar-benar terharu. Nyonya tiran ku sudah berubah. Aku bersyukur Tuhan tidak mengambil Nyonya Tiran ku.”
Ziya tersenyum canggung. Sengaja ia mendorong kepala Rahel yang terus bergelayut di lengannya. Bukannya gimana-gimana sih. Hanya saja, ingusnya itu lho!
“Nyonya! Katakana! Bagaimana cara ku berterimakasih? Aku akan melakukan apapun yang Nyonya perintahkan.”
“Emh… mungkin agak menjauh dari ku," ujar Ziya. Jangan lupakan bibir atasnya mengangkat sebelah. Tersalurkan sekali wajah jijiknya itu.
“Baiklah. Apa segini sudah cukup? Ucap Rahel seraya mengusap benda cair di hidungnya. Iuh. “Lebih jauh!” pekik Ziya.
“Segini?”
“Terus! Jangan berhenti sampai aku bilang berhenti."
Sesuai perintah. Rahel terus berjalan mundur sampai kakinya terpantuk lemari. “Nyonya, apa segini cukup?”
Ziya melirik. “Hum, good!”
“Good?” gumam Rahel. Sering kali ia mendengar bahasa asing dari bibir majikannya. Tapi tak sekali pun Rahel bertanya. Sebab, yah, bertanya juga majikannya tidak akan memberi tahu.
Ziya beralih dari tempat tidur. melakukan peregangan sejenak sambil menatap pemandangan di luar jendela. “Rahel, sudah berapa hari aku tidur?”
“Tiga hari Nyonya.”
“Hmm….” Sebenarnya banyak yang ingin Ziya tanyakan. Mengenai kronologi malam itu. Yah, itu disimpan nanti saja deh. Ziya harus makan. Sumpah laper kali. Santapan di meja langsung diembat rakus. Jangan sampai ia mati konyol untuk yang kedua kali.
“Nyonya, makannya pelan-pelan saja. nanti tersedak,” ucap Rahel di ujung sana.
Ziya hanya mengacungkan jempol. Tak mengindahkan. Ia lanjut makan dengan rakus. Sesuai kebiasaannya, kakinya diangkat sebelah dengan mangkuk sereal di angkat. Sesekali Ziya menyeruput s**u dari sereal. Benar-benar tak mencerminkan jiwa kebangsawanan betina satu ini.
Kalau ditanya, kenapa Rahel tidak curiga dengan perubahan majikannya. Dari yang tegas dan elegan jadi grusak-grusuk. Yah, awalnya Rahel menaruh curiga. Namun, kenapa otaknya harus memikirkan jawaban dari perubahan Nyonyanya? Toh, dari perubahan itu Rahel banyak diuntungkan kok. Mungkin bukan hanya Rahel. Semua orang di kediaman ini berharap ingatan Nyonyanya tidak pernah kembali.
“Nyonya, biscuit itu jangan dimakan. Itu sudah dingin. Aku akan mengambilkan yang bar—“
“Rahel!” sahut Ziya. Sedikit kesal. “Kau tahu? Orang kelaparan itu tidak boleh diganggu. Mau itu dingin atau sudah basi. Makanan tetap makanan!”
“Sekali lagi kau bicara. Aku akan memotong gaji mu.”
“Oh ya satu lagi. Tolong jangan berkata lemah lembut seperti itu. Tidak seperti diri mu saja! Jadilah diri mu sendiri. jangan merasa hutang budi karena aku berusaha menyelamatkan mu. Itu membuat ku geli tau. Perhatian mu,” ucap Ziya bergumam di akhir kalimat.
Satu dari banyaknya hal yang membuat Ziya dicap unik. Sebagai wanita ia tidak terlalu suka diperhatikan. Maksud Ziya, ia tidak suka perhatian over. Seperti ditanya, “Udah makan belum?” atau “udah mandi belum?”. Ya kali Ziya harus laporan tiap kali mau makan. Ngasih beras aja nggak! Ia juga selalu bergidik ngeri saat seseorang memperlakukannya dengan lembut. Curiga! Kayaknya memang Ziya mengidap penyakit masokis.
Di sisi lain Rahel menatap Nyonyanya penuh arti. Ah, ternyata Rahel sudah menemukan tempatnya. Padahal setelah ditunjuk akan menjadi pelayan pribadi Duchess. Rahel sempat kepikiran akan mengundurkan diri. Mendengar perangainya saja Rahel tidak sanggup.
Tapi… ternyata begini.
Senyum Rahel mengembang syahdu sampai matanya menyipit. “Baiklah, Nyonya. Lagi pula aku tidak merasa hutang budi kok. Emh… berat mengatakan kenyataannya. Tapi… Nyonya bilang aku harus jadi diri ku sendiri. Jadi dengan tidak mengurangi rasa hormat ku, aku akan bilang kalau usaha nyonya waktu itu sia-sia, hehe.”
“Uhuk! Ha?” Mulut Ziya menganga lebar. Bagaimana bisa dia mengucapkan kalimat kejam itu dengan tersenyum?!
“Hais! Jangan terlalu jujur! Kau membuat ku sakit hati tahu!” Bantal di kursi sudah melayang ke arah Rahel. Tapi sayang tidak sampai. Cih! Lihat saja habis ini, ia akan memberikan pelatihan pelayan kejam seperti tiran!
Ah, ngomong-ngomong energinya sudah lumayan terisi. Mungkin sudah waktunya menagih kronologi cerita di malam itu. Ziya menyuruh Rahel duduk. Bukan di kursi tapi di lantai. Biarin! Salah siapa ngomong nggak pake filter!
“Jadi yang dateng malam itu siapa?” tanya Ziya to the point. Ini hanya asumsi sih. Kalau melihat alur cerita romance kan harusnya pahlawan yang dateng. Ziya akan bertaruh pasti Duke Lukas yang datang.
“Emh… pengawal.”
“Ha?”
“Bu-bukan Duke Lukas?”
“Dari segi perasaan. Apa seorang Duke Lukas mau mengorbankan waktunya untuk menyelamatkan Nyonya?”
SNAP!
Rasanya satu anak panah melesat tepat ke jantung.
“Baiklah, itu memang sudah nasib ku. Tidak dicintai suami dan hidup mengenaskan sebagai istri pajangan. Aigoo! Nasib ya nasib.”
Terdengar tawa tertahan. Ziya menoleh ke sumber suara. “Tck! Kau terlihat menikmati penderitaan ku ya, pelayan tidak tahu diri!”
“Hahahaha, aduh wajah Nyonya kasihan sekali….” Tawa Rahel semakin keras. Satu-satunya pelayan tidak tahu diri di mansion ini adalah Rahel.
“Cih! Nikmati kesenangan mu! Kau akan berakhir kalau aku diceraikan. Ingatlah aku akan menyeret mu ke lubang neraka sekali pun!” dengus Ziya.
Tawa pingkal itu semakin redup. Rahel menyahut kedua tangan Nyonyanya. “Tenanglah Nyonya, kau tidak akan diceraikan. Aku akan menjadi tim sukses penyatuan Duke Lukas dan Nyonya,” ucap Rahel yakin.
“Hah! Bilang saja kau tidak ingin dipecat!”
“Hehe, ketahuan ya?”
“Dasar pelayan tidak tahu diri.”
“Itu memang aku.”