4

2966 Kata
'Kupu-kupu itu terus menarik perhatianku, hingga aku berpikir untuk memilikinya'- Ares Pratama Setelah acara bisnis tadi selesai, Ares kini duduk santai di sofanya sambil menyesap segelas wine. Dia tidak berhenti menyeringai karena membayangkan rencananya yang akan segera dia mulai. Dia juga merasa tidak sabar untuk memiliki Mikaela. Dia ingin wanita itu segera menjadi miliknya. Saat berbincang dengannya tadi, Ares sudah sangat menahan diri untuk tidak menunjukkan ketertarikannya. Dia ingin sangat hati-hati karena tahu Marcel ternyata sangat teliti. “Huftt! Ada lawan yang sedikit kuat juga ya!” gumamnya sambil meletakkan gelas winenya di meja.  Ares menyandarkan kepalanya lalu menutup matanya.                                          Ares POV             Saat aku menutup mataku, aku merasakan seseorang sedang berbisik nakal di telingaku. “Tuan Ares.” Mendengar bisikan itu, aku menyeringai dan membuka mataku. Aku melihat Mikaela kini hadir dalam bayanganku dan datang dengan pakaian nakalnya lalu duduk di pangkuanku.  Aku tahu ini tidak nyata, tetapi aku membelai wajahnya lalu menyesap aroma yang menguar dari tubuhnya. Aku bisa membayangkannya, apalagi setelah pertemuan kedua kami tadi. “Kau tergila-gila padaku?” tanyanya sambil mengarahkan tangannya ke d**a bidangku. “Sangat!” jawabku sambil meraih tangan nakalnya yang meraba-raba dadaku dan menciuminya. Dia hanya terkikik melihatku yang sangat menggilainya. Aku tahu ini hanya bayanganku saja, tapi aku sudah sangat senang. Dia mengalungkan tangannya dileherku sambil mendekatkan wajahnya padaku. Dia tersenyum sambil menggigit bibirnya yang sangat sexy itu. “Baby! Kamu membuatku tidak bisa menahan diri,” bisikku tapi dia malah mengendus telingaku dan berbisik dengan nada menantang,” kalau begitu, cepat miliki dan kuasai aku, Tuanku.” “Jangan panggil aku Tuan, My Baby! Kamu adalah ratuku,” balasku lagi dan aku bisa melihat senyumannya yang sangat senang ketika aku mengatakan dirinya sebagai ‘Ratuku’.             Tak lama, aku tersadar saat akan menyentuh wajahnya lagi, dia menghilang. Jujur, aku sangat kesal dan langsung mengepalkan tanganku. Aku tidak bisa membayangkan saat ini dia sedang bersenang-senang dengan suaminya yang cacat itu. Ya, memang bukan cacat dalam artian fisik, tapi cacat karena sudah melukai hati wanitaku dan masih bisa memilikinya. Aku bersumpah pada diriku sendiri, jika aku bisa memiliki Mikaela, maka dia akan menjadi satu-satunya di dunia ini bagiku. Aku tidak peduli kalau dia akan menggunakan seluruh kekayaanku, yang aku inginkan saat ini adalah dia menjadi milikku.             Lalu, aku bangun dari dudukku dan mengambil beberapa file bisnis yang akan menjadi rencanaku. Aku mengambil sebuah pion di papan catur di bagian lain meja. Marcel Arya Buana akan menjadi pion yang bisa menutupi semua kejahatanku.  Lalu setelah itu, kuhancurkan mereka berdua dengan mudah.  Tapi, aku harus sedikit berhati-hati dengannya juga. Karena jika tidak hati-hati, pion bisa saja membunuh raja. Dari tatapannya aku tahu, dia tidak terlalu mempercayaiku. ‘Ah… kita lihat saja nanti. Setelah semuanya selesai, aku akan mengambil hadiahku, Mikaela My Baby.’ End of Ares POV   ~ARES~ Normal POV Apartemen Marcel             Saat ini, Mikaela sedang menyantap sarapannya setelah selesai menyuapi putrinya.  Suaminya sudah pergi ke kantor beberapa waktu yang lalu karena dia harus menyelesaikan banyak proyek kantor. Di tambah lagi, kontrak bisnis baru dengan Ares harus segera disahkan. Ya, tentu saja pria itu sekarang semakin repot. Mikaela sudah tahu kalau ini adalah resiko jadi istri seorang pebisnis seperti Marcel. “Mama? Hari ini kita jadi jalan-jalan ke taman?” tanya Selena membuyarkan lamunan Mikaela. “Oh tentu saja, sayang!” balas Mikaela tersenyum pada putrinya.             Mereka pun bersiap untuk pergi ke taman, tapi sebelum itu Mikaela mengambil tasnya yang tertinggal di meja riasnya. Tanpa sadar, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Dia memerhatikan rambutnya yang sudah semakin panjang hampir sepinggang. Dia memegang ujung rambutnya dan tiba-tiba teringat dengan Willy. Dia melihat bayang-bayang Willy sedang menata rambutnya dan mengepangkan rambutnya di cermin. Seketika, Mikaela langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya. Dia lagi-lagi teringat tentang Willy, apalagi setelah bertemu dengan kembarannya, Ares. Mereka berdua benar-benar sama persis secara fisik. “Hahh!” Mikaela menghela napasnya lalu menyusul putrinya untuk pergi berdua ke taman. Hari ini dia akan masuk agak siang ke Kampus, soalnya sedang tidak banyak pekerjaan. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama putri kesayangannya itu.   Perusahaan Buana             Marcel kini sedang mengecek semua file yang berhubungan dengan proyek kerja samanya dengan Ares. Pria itu berusaha se-teliti mungkin karena takut ada kesalahan dan jebakan yang disengaja dalam proyek ini. Bahkan semalam Marcel tidak bisa tidur karena terus memeriksa pekerjaannya. Parahnya lagi, dia sampai mengabaikan Mikaela. “Cih! Semuanya terlihat baik dan tidak ada kesalahan. Tapi, kenapa Papa begitu yakin kalau Ares hanya berencana menjebakku? Apa yang sebenarnya dia rencanakan dan bagaimana Papa bisa menilai sampai sebegitunya?” Marcel bertanya- tanya.             Marcel sudah tahu profil Ares sejak beberapa tahun yang lalu. Ares Pratama adalah seorang CEO yang memimpin banyak Perusahaan Property di dunia. Dia salah satu pengusaha terkaya di Amerika Serikat, dan banyak Perusahaan yang menjadi bawahannya selalu sukses besar. Ares Pratama juga dikenal tidak pernah mengecewakan rekan bisnisnya, itulah alasan kenapa banyak Perusahaan besar mau, bahkan berusaha menggaet simpatinya. Tentu saja, Marcel juga ingin meraih kesuksesan yang sama. Dia adalah seorang pengusaha dan pebisnis. Banyak rekan kerjanya juga menyarankan untuk melakukan kerja sama dengan Ares. Marcel seperti tidak punya celah untuk mencurigai saudara dari William Simon itu.             Setelah beberapa saat berpikir, Marcel kemudian mendapat telepon dari mertuanya, Adinata. Tentu saja dia langsung mengangkatnya,”Iya, Pa?” “Nak, Papa ingin bertemu denganmu! Kita bicarakan soal bisnis yang ditawarkan Ares Pratama padamu,”  Adinata meminta Marcel menemuinya. “Ah, baiklah! Nanti setelah makan siang,” jawab Marcel menerima ajakan mertuanya. “Ya! Papa ingin memberi tahu kamu sesuatu,” balas Adinata lalu memutuskan sambungan teleponnya. Mendengar itu, Marcel mengernyit mengenai ‘sesuatu’ yang ingin diberitahukan oleh mertuanya itu. Marcel berpikir, ‘Pasti ada sesuatu yang penting.’ “Pagi kak! Bagaimana harimu? Aku dengar dari Pak Darwin kalau kau sudah disini sedari pagi. Apa bisnismu terlalu sibuk akhir-akhir ini?” tanya Michael sang adik yang menyelonong masuk ke ruangan kakaknya. Lagian, sudah dipastikan Marcel tidak akan marah. “Mike, apa kamu pernah bertemu dengan Ares sebelumnya?” tanya Marcel memulai topik pembicaraan dengan adiknya. Michael mengernyitkan dahinya, lalu duduk di hadapan kakaknya. Dia kemudian berkata,”Tidak. Aku tidak pernah bertemu langsung dengannya. Tapi, profit yang dijanjikan dalam kontraknya sangat menggiurkan. Awalnya aku ragu, tapi setelah diperiksa, semuanya aman. Memangnya kenapa? Kakak merasa curiga dengannya?”             Pertanyaan itu membuat Marcel bingung harus menjawab apa. Dia memang curiga,  tapi tidak punya bukti untuk menguatkan kecurigaannya itu. Marcel lalu menjawab,”Ya, aku sedikit curiga.” Dia mengakuinya pada sang adik. Michael yang mendengar itu hanya mengangguk paham dengan apa yang dirasakan sang kakak. “Tapi, kenapa kakak bertanya padaku? Memangnya, Tuan Ares Pratama itu penampilannya mencurigakan?” Michael bertanya lagi. “Tidak, dia sama sekali tidak terlihat seperti itu. Tapi, apa kamu tahu William Simon?” jawab Marcel lalu bertanya lagi soal Willy pada adiknya. “Ya, aku tahu. Mantan pacar istrimu yang meninggal karena dibunuh oleh Raymond. Bagaimana bisa aku melupakan soal kasus itu? Memangnya, apa hubungannya dengan dia?” Michael tidak mengerti maksud pembicaraan kakaknya, terlebih lagi dengan melibatkan nama William Simon. “Nah, jadi Ares Pratama dan William Simon adalah saudara kembar. Sejak pertama bertemu dengan Ares, aku seperti merasa melihat William yang kembali hidup. Tetapi dari sisi yang berbeda, maksudnya kalau William adalah pria yang memancarkan aura hangat, maka Ares sangat mendominasi. Kalau William adalah terang, maka Ares adalah kegelapannya,” jelas Marcel menyampaikan apa yang dipikirkannya soal Ares.             Mendengar itu, Michael membelalak tak percaya. Dia tentu saja terkejut mengetahui soal hubungan persaudaraan antara Willy dan Ares. Tapi sebuah pemikiran muncul di kepalanya. “Kak, kalau mereka saudara kembar yang sedemikian identik, kenapa munurutku ada keanehan dalam nama mereka ya?” “Maksudnya?” Marcel balik bertanya. “Maksudku adalah biasanya nama anak kembar itu nyaris identik, seperti Dana-Dani atau Andika-Andiki. Bahkan nama belakang mereka berbeda. Kita aja yang tidak kembar memiliki nama belakang yang sama.” Michael menjelaskan kebingungannya.             Marcel mengerti maksud kebingungan adiknya. Tapi pria itu tidak terlalu ambil pusing soal nama. Dia menjawab adiknya, “Itu adalah urusan orang tuanya. Biar pun kembar, mungkin mereka ingin nama yang bervariasi. Lagi pula, tidak semua orang yang punya nama keluarga besar seperti kita. Contohnya istrimu Michelle Prasasti, namanya hanya itu tanpa mengandung unsur nama keluarga besar. Kalau pun dia punya adik, belum tentu orang tuanya memberi nama belakang yang sama.” Mendengar penjelasan kakaknya, Michael mengangguk mengerti. Tapi entah kenapa pemikiran demikian terbesit diotaknya ketika mendengar soal perbedaan nama. “Baiklah kak. Sekarang, aku akan membantu kakak. Bagikan pekerjaanmu padaku,” suruh Michael membuat Marcel semangat untuk melanjutkan pekerjaannya. Bagaimana tidak, adiknya kini menjadi rekan kerja terbaiknya di kantor. Mereka kini sangat kompak, apalagi Michael melakukan setiap pekerjaannya semakin baik setiap harinya. Mereka langsung melanjutkan pekerjaan mereka dan menyelesaikan proyek lama mereka untuk memulai proyek baru lagi. ~ARES~ Di sisi lain… “Senang bertemu dengan anda, Tuan Djuanda.” Ares menyambut kedatangan Adinata di Perusahaannya. Pria itu langsung menyunggingkan seringaiannya kala  melihat ayah dari wanita yang di ingin miliki kini duduk sebagai tama di hadapannya. “Katakan Ares, apa maksud dan tujuanmu kesini? Kenapa kau melibatkan Marcel menantuku! Urusanmu adalah denganku!” Adinata langsung pada intinya. Tetapi Ares malah menyeringai sambil menjawab,”Bukannya sudah jelas kalau saya ingin berbisnis? Harusnya saya yang tanya kepada anda, kenapa anda tiba-tiba menarik penawaran anda? Bisa rugi besar, lho?”             Mendengar itu, Adinata langsung mengepalkan tangannya kesal. Dia tahu kalau Ares tidak semudah itu memberitahukan rencananya yang sebenarnya. Tapi ada kemungkinan juga dia sebenarnya memang hanya mau berbisnis. Kalau dipikir dari besarnya bisnis yang harus di pegang oleh Ares, mungkin saja dia tidak tahu apapun soal masa lalu keluarganya.  Pria itu pasti terlalu sibuk berbisnis. Adinata sempat berpikir demikian, tapi dia langsung mengenyahkan pemikira dangkalnya itu. ‘Terlalu bodoh jika aku berpikir dia datang kesini hanya untuk berbisnis. Ini pasti ada hubungannya dengan dendamnya,’ batin Adinata menatap kesal pada Ares. “Kenapa diam, Tuan Djuanda? Anda masih punya kesempatan untuk mengajukannya kembali. Anda pasti khawatir karena banyak Perusahaan Property tidak mau bekerja sama lagi dengan anda. Jadi, mari bekerja sama,” ajak Ares dengan licik membuat Adinata memicing. Pria tua itu sudah menduga kalau banyaknya investor yang melepas saham mereka dalam waktu singkat adalah pekerjaan Ares. ‘Dia lebih berbahaya daripada yang kuduga,’ batin Adinata lagi. “Masih keras kepala, ya? Tapi tenang saja, Tuan Djuanda. Saya ini sangat baik hati, lho! Jika anda kehilangan banyak property, maka bagaimana Perusahaan anda bisa berjalan? Apa menantumu bisa membantu? Dia mungkin akan kehilangan banyak hal kedepannya.” Ares sedikit membuka rencananya.   ‘BRAKK!’   Tanpa basa-basi, Adinata langsung berdiri dan menggebrak meja kerja Ares.  Beberapa bawahan Ares mencoba menghalangi Adinata yang terlihat emosi dan seperti ingin menghajar Ares. Tapi dengan santainya, Ares berdiri tanpa menghilangkan seringaian di wajah tampannya. Dia kemudian mendekati Adinata dan menatapnya remeh. “Hei! Jangan remehkan aku. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bungkam. Aku juga tidak bisa kau lenyapkan dengan mudah seperti yang kau lakukan 20 tahun yang lalu,” bisiknya membuat Adinata mengepalkan tangannya kesal. Tapi, pria tua itu masih berusaha menahan emosinya. “Hahahaha! Kau sangat emosian ya? Apa karena terlalu lama di kepolisian, eh? Kuberi tahu satu hal, emosimu itu bisa menghancurkanmu dengan mudah. Jadi, santailah sedikit,” ejek Ares lagi. “Kau tidak tahu apa-apa soal insiden itu. Jadi kusarankan, kau berhenti sebelum menyesali segalanya.” Adinata memperingatkan tapi Ares membalas ucapan Adinata dengan nada meremehkan,”Ares Pratama tidak mengenal penyesalan apapun. Harusnya kau yang menyesal!” “Pulanglah, Pak Tua! Nikmati dulu sisa hari tuamu!” lanjutnya lagi sambil menepuk pundak Adinata.  Perlakuan Ares yang demikian benar-benar mencoreng harga dirinya. Segera saja, Adinata mengebaskan tangannya ke bekas sentuhan Ares tadi di pundaknya. Pria itu keluar dengan penuh kekesalan pada Ares. “Aduh! Sudah mau mati tapi masih sombong. Aku jadi ingin melihat sejauh mana dia masih bisa mempertahankan kesombongannya itu,” gumam Ares setelah kepergian Adinata. Dia kembali duduk di kursi kebesarannya dan memeriksa beberapa pekerjaannya. Perhatiannya kembali teralihkan dengan file khusus mengenai profil seorang Mikaela. Dia tersenyum dan membuka kembali file itu. Dia memerhatikan  dengan semakin seksama wajah wanita yang sialnya sudah menjadi istri orang lain. Semakin memperhatikan foto itu, obsesi seorang Ares untuk memilikinya semakin kuat. “Eumm… Ares? Apa saya mengganggu anda?” sebuah suara mengalihkan perhatian Ares. Pria itu menatap kesal ke sumber suara itu karena mengganggu konsentrasinya yang sedang berfantasi soal wanitanya. Tapi tak lama, pria itu kembali menyunggingkan senyum palsunya dan menjawab,”Siska? Kamu sama sekali tidak menggangu, Ada apa?” ‘Aku harus sedikit lunak pada parasit yang satu ini,’ batin Ares. “Begitu ya? Kalau kamu mau, boleh kita keluar sebentar?” ajak Siska dengan senyuman manisnya. Bisa dibilang, Siska ini termasuk cantik karena body-nya yang bagus dan lesung pipi yang terukir diwajahnya. Kulitnya kuning langsat dan rambutnya hitam, tapi Ares sama sekali tak tertarik. Wanita itu sama sekali tidak memancarkan aura menggoda di matanya. Malah memuakkan! ‘Aku harus bisa mendapatkan pria ini! Dia kelihatan baik dan sepertinya dia agak perhatian kepadaku. Kalau aku memenangkan hatinya, aku pasti menjadi wanita paling beruntung di dunia ini. Setelah itu, akan kuhancurkan kalian, Marcel dan Mikaela,’ batin Siska merasa menang karena saat ini dia dekat dengan Ares. Entah terlalu bodoh atau apa, dia tak sadar kalau Ares hanya menjadikannya boneka. Boneka yang bisa menutupi maksud tujuannya. “Tentu saja! Kita mau kemana, Siska?” Ares menerima ajakan Siska bahkan menanyakan tujuan mereka pada wanita itu. “Bagaimana kalau ke taman? Di dekat sini ada taman yang cantik. Aku sangat menyukai taman.” Siska menawarkan dan diangguki setuju oleh Ares. Wanita itu tentu sangat senang dan merasa dilangit-langit saat ini. Mereka langsung turun dari kantor dan berjalan menuju taman.   ~ARES~             Sesampainya di taman, Ares langsung memandangi sekitar. Siska terlalu banyak bicara tetapi Ares hanya mengangguk saja sebagai jawaban. Pria itu lebih fokus pada ingatan masa lalunya saat bersama adiknya, Willy. Sebenarnya, Ares sangat membenci taman. Karena semua tentang taman kembali membuatnya teringat akan sang adik yang kini sudah tidak ada. Flashback “Kak? Bunga ini sepertinya bewarna biru, ya? Apa aku benar?” tanya Willy sambil menunjuk sebuah bunga lavender. Ares tersenyum sambil menatap adiknya. “Sebenarnya bukan biru, lebih tepatnya ungu. Ini adalah bunga lavender, jadi nanti kalau kamu dengar nama Lavender, kamu harus ingat kalau itu identic dengan ungu.”             Mendengar jawaban sang kakak, Willy tersenyum sambil mengangguk. Dia dan Ares selalu ke taman setiap selesai belajar. Ares mengajak adiknya ke taman supaya terbiasa dengan berbagai warna disekitarnya. Willy kemudian berujar lagi,”Kakak tahu? Berkat kakak, aku bisa sedikit banyak mengetahui dan mengingat banyak warna. Kalau rumput hijau, padi keemasan, lavender keunguan, mawar warnanya merah dan lain lagi. Aku bisa menyimpan semuanya dalam pikiranku! Aku bisa membayangkan warna lagi! Terima kasih ya, kak!” End Of Flashback “Ares? Kamu melamun?” tanya Siska kala melihat Ares memerhatikan bunga-bunga di taman sambil terdiam. “Eumm… maaf ya, aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” jawab Ares dibarengi dengan senyuman palsunya. Siska hanya mengangguk dan tersenyum melihat Ares. Wanita itu selalu berdebar-debar kala dekat dengan Ares. Dia sendiri tak percaya bisa sedekat ini dengan pria yang memiliki pamor dan sukses luar biasa di Amerika Serikat. Dia berpikir bisa menyombongkan dirinya di depan teman-temannya kalau Ares bisa menjadi miliknya nanti. “Om baik!!” sebuah panggilan dari seorang gadis kecil mengalihkan perhatian keduanya. Tapi, gadis kecil itu terus berlari ke arah Ares dan berusaha menggapai pria itu. Setelah meraih jas Ares, gadis kecil itu berkata,”Om baik kemana saja? Aku sangat melindukanmu! Kata mama, Om baik sudah pelgi jauh. Tapi sekalang,  om baik sudah pulang. Selena lindu!” ‘Siapa anak ini?’ batin Ares menatap datar Selena. “Selena! Ternyata kamu larinya kesini.” Mikaela berlari menyusuli anaknya. Dia agak terkejut juga saat melihat ada Ares dan Siska disini. “Lain kali jaga anakmu! Jangan sembarangan menarik orang,” tegur Siska dengan nada tak suka pada Mikaela. Mendengar itu, Mikaela memilih mengabaikannya dan meraih tangan kecil putrinya. “Sayang, ini bukan om baik. Ini adalah kakaknya Om baik.” Mikaela menjelaskan soal siapa orang yang dikiranya ‘om baik’. “Benalkah? Om sangat milip dengan om baiknya Selena. Maaf ya.” Selena langsung minta maaf. Ares tersenyum hangat untuk menarik perhatian gadis kecil itu. Dia sebenarnya tidak mau berekspresi seperti ini, tapi karena tahu Selena adalah anaknya Mikaela, dia mau saja melakukannya. “Tidak masalah. Kamu bisa panggil om dengan sebutan uncle Ares,” katanya sambil mengelus kepala Selena. “Uncle Ayes? Baiklah!” Selena mengangguk. “Maaf ya, jadi buat kamu bingung. Soalnya, Selena dan Willy dulunya sangat dekat. Willy selalu menggendong Selena setiap mereka berjumpa dan mengajaknya bermain. Di taman ini, cukup banyak kenangan antara aku, Selena dan Willy,” jelas Mikaela dibalas senyuman oleh Ares. Melihat interaksi antara Ares dan Mikaela, Siska jadinya kesal sendiri. Dia tidak suka melihat Mikaela selalu merebut segala yang dia miliki. ‘Tolong ya Mikaela, cukup Raymond saja yang sudah kau curi dariku. Ares adalah milikku!’ tekad Siska dalam hatinya. “Oh iya, ini sudah jam makan siang. Siska, kita makan siang ya? Mikaela dan Selena mau sekalian?” ajak Ares pada mereka semua. “Ah, tidak perlu! Saya dan Selena harus ke kampus secepatnya. Kami akan makan disana saja. Kami permisi, ya.” Mikaela undur diri bersama putrinya. “Bye, uncle Ayes.” Selena melambaikan tangannya pada Ares dan disenyumi oleh Ares.             Kemudian, dia mengajak Siska untuk makan di restoran. Dia tahu Siska tidak menyukai Mikaela, sedari tadi wajahnya kesal setiap melihat wanita itu. Lagipula, Ares tidak ingin rencananya terbongkar secepat ini. Dia mau semua orang mengira dia dekat dengan janda dari Raymond Alexander itu. ‘Akting itu sulit, ya? Tapi dengan begini, aku bisa semakin dekat denganmu, Mikaela Baby,’ batinnya tak lupa dengan seringaian terukir di wajahnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN