Setelah diterima di perusahaan dengan sangat mudah, Kal langsung diminta untuk kerja lembur. Rua beralasan bahwa hari pertama merupakan pelatihan, Kal harus setidaknya menguasai dasar-dasar pekerjaannya. Rua sebagai editor di kantor itu kebetulan kebagian untuk membimbingnya.
Di bawah bimbingan Rua, Kal sempat diajak berkeliling kantor satu jam untuk pendekatan dengan karyawan lain. Lalu sisa waktu mereka habiskan untuk mengunci diri di ruang editoring dan Rua menjelaskan basic kerjanya. Pria itu memang awalnya menyebalkan, tapi dalam pekerjaan dia cukup kompeten.
Saat sudah sore, Kal akhirnya diizinkan untuk istirahat lagi. Ini adalah istirahatnya yang kedua. Rua bilang, mereka akan lembur, jadi Kal harus sering mengisi tenaganya dengan makanan.
Ketika melangkahkan kakinya ke kantin, Kal bertemu dengan Jia di koridor. Gadis itu melambaikan tangan ke arahnya dan langsung menghampirinya.
"Kau terlihat sangat sibuk. Jam berapa ini?" ejek Jia. Mereka beriringan ke kantin.
"Aku sedang pelatihan dan aku diminta lembur di hari pertama."
Raut wajah Kal tidak menunjukkan bahwa dia senang. Sekarang sudah hampir petang dan sepertinya Kal benar-benar terperangkap di ruangan editor. Karena hal itu juga dia terpaksa membatalkan janji untuk belanja kebutuhan bersama dengan Liu hari ini.
"Pesanlah makanan, supaya kau tidak merasa lapar."
Mereka mengambil posisi duduk di tempat terdekat dengan jendela. Tepat di ruangan yang tertempel papan smoking area. Saat itu langit sudah berubah jingga dan di kejauhan lampu-lampu sudah menyala.
"Perutku sudah demo sejak tadi." Kal menggerutu. Lalu mengeluarkan rokoknya satu batang.
"Uh. Kenapa kau merokok di depan seorang gadis?"
Api sudah menyulut ujung rokok. Asapnya telah diembuskan Kal lewat mulutnya. Dia mendengus. "Di rumah aku tidak bisa merokok, jadi jangan larang aku di sini."
"Kenapa?" tanya Jia.
Kal terlihat enggan saat menjawab, "Liu tidak suka asap rokok. Terakhir kali aku merokok di rumah, dia sesak napas."
Hal sekecil itu membuat Jia sangat cemburu. Apabila sekarang ini Jia berkata bahwa dia juga benci bau asap, apakah Kal akan mematikan rokoknya?
Sepertinya sangat egois.
Liu sangat egois bagi Jia.
"Kau sendiri ... masalah apa yang kau buat pagi ini?"
Awalnya Jia hanya mengerutkan dahi, namun sepertinya dia mulai mengerti pertanyaan itu. Dia terkekeh kecil. "Ah, itu ... aku mengerjai Bel dan Fla yang kepergok makan di kantin saat jam kerja. Aku berteriak pada mereka bahwa bos mengadakan sidak, mereka langsung lari terbirit-birit."
Kal bisa membayangkan bagaimana wajah duo wanita itu ketika mengetahui kenyataan aslinya.
Sidak memang suka dilakukan secara mendadak dan tanpa jadwal pasti, maka dari itu pegawai tidak akan tahu kapan inspeksi akan dilakukan. Wajar saja kedua wanita itu kelimpungan mendengar beritanya.
"Dasar barbar, lihat saja apa yang akan mereka lakukan padamu nanti."
"Kau menakutiku, ya?" Jia merengut.
Kal mengangkat bahu, menunjuk menu yang dimintanya pada pelayan yang menghampirinya. Lalu membalas ucapan Jia, "Aku bukan menakuti, hanya memperingatkan saja. Tunggulah sampai kau lewat pintu depan dan dihadang oleh mereka."
Dengan wajah pucat, Jia membayangkan hal yang tidak-tidak terjadi padanya. Dua orang wanita yang tadi dikerjainya memang terkenal sadis jika sudah marah. Karena mereka berdua sama-sama memiliki rambut pirang, mereka sering dikenal sebagai duo blondie yang kejam. Dia tiba-tiba merinding, keselamatan kerjanya dipertaruhkan.
"Mungkin aku akan lewat pintu belakang kali ini. Sekali-kali aku harus mencoba memanjat pagar tidak masalah, 'kan?"
"Pastikan rokmu tidak tersingkap saat jatuh nanti. Aku ingat terakhir kali celana dalammu berwarna kuning."
"HEI!"
Tubuh Kal refleks menghindar dari serangan clip board yang nyaris dihantamkan ke bahunya. Dia tertawa melihat ekspresi menyebalkan temannya itu. Ketika dia sudah mendapatkan makanannya, mereka memutuskan untuk segera menyantapnya.
"Jadi," Jia membuka topik obrolan lain, "kau sudah bertemu senior barumu?"
Kal mengangguk.
"Bagaimana orangnya?"
"Ya, baik, dia mudah akrab ... kurasa," pungkasnya dengan nada enggan. Kalau boleh jujur, mungkin dia akan menceritakan bagaimana si Rua itu berbicara padanya dengan sok akrab dan menjengkelkan.
"Apa yang kudengar itu benar? Kalian berdua adalah teman—"
"Jia, aku ke toilet sebentar. Titip minuman dan tasku. Sebentar saja," potong Kal tiba-tiba. Dia melesat begitu saja tanpa mendengar apa kelanjutan ucapan Jia.
Sedangkan wanita berambut pink sebahu itu menggerutu saat limpahan tas Kal mengenai wajahnya. "Uh, dasar bocah itu!"
Dengan sabar Jia menunggu Kal sambil sesekali menyesap red velvet-nya. Dari jauh dia mulai memantau pekerjaannya yang lain melalui ponsel, sebenarnya dia kembali ke kantor sore itu hanya untuk menyerahkan beberapa design iklan yang sudah dibuatnya.
Perhatiannya kemudian tertuju pada resleting tas milik Kal yang terbuka dan dengan lancang melihat isi di dalamnya. Jantung Jia berdegup kencang saat melakukan itu, dia buru-buru mengambil sesuatu dari dalam sana ketika melihat Kal muncul.
"Aku tidak lama, 'kan?" Kal akhirnya kembali dari aktifitasnya di toilet. Lalu mengambil posisi duduk dan melihat Jia yang sibuk dengan tas miliknya.
"Ada apa?"
"Ah, ini resletingnya terbuka, sepertinya sudah rusak."
"Benarkah?" tanyanya.
"Hum," jawab wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya. "Ngomong-ngomong, aku sudah membuat empat sample iklan dan sudah aku kirim ke komputermu."
Kal nampak kebingungan dengan kalimat Jia. Maka Jia segera menjelaskannya, "Kau akan ditempatkan di ruang editor, dan tugasmu sama dengan Rua."
Jadi itulah alasan kenapa pelatihan kerja Kal hari ini dibawahi oleh Rua. Mereka berada di divisi yang sama—satu ruangan juga.
Hal itu membuat Kal sedikit kecewa, tapi dia tidak bisa berbuat apa pun.
"Rua sangat berkompeten dan baik, kau harus banyak belajar darinya," pungkas Jia.
"Jia, sebenarnya aku ..."
"Hm?"
Jia menyeruput minumnya tanpa melirik Kal, saat tak mendengar suara Kal, dia menatap pria itu.
"Kal?" Jia melambaikan tangannya di depan wajah Kal.
Pada akhirnya tidak ada yang diungkapkan Kal. Dia merasa cukup tahu diri. Awalnya Kal berniat meminta bantuan Jia supaya dipindahkan di tempat yang berbeda dengan Rua. Tetapi rasanya cukup lancang sebab Jia sudah banyak membantunya dalam mendapatkan pekerjaan ini, seharusnya dia tidak terlalu banyak meminta lagi. Masuk ke perusahaan dan jadi karyawan tetap sudah merupakan keberuntungan.
Kal bahkan memulainya, dia tidak boleh protes.
"Kuperingatkan kau jangan berani-berani kau mengotak-atik iklan cantikku!"
Dahi Kal mengerut. "Apa maksudmu?"
"Aku hanya mengingatkanmu!" Jia bersedekap. "Rua seringkali mengubah judul iklanku jika dia tidak suka, dia terlalu perfeksionis!"
"Oh, apa kau juga tidak menyukainya?"
"Juga? Kau tidak menyukainya?" tanya Jia menyelidik.
Rokok di apitan bibirnya dilepas. "Tidak, bukan begitu maksudku."
Jia mendesah. "Kau jangan salah paham. Rua itu terlalu sempurna. Dia hanya tidak suka dengan sesuatu yang berserakan. Tujuannya selalu baik kok."
"Lalu, kenapa kau protes?"
"Aku hanya mengingatkanmu!" elak Jia. "Kalau seandainya kau tidak suka atau design-ku jelek, kau harus jujur. Rua biasanya akan memberikan advice yang baik, kau harus banyak belajar darinya. Dia pro."
"Kau terlihat sangat mengaguminya."
Tangan Kal mengambil satu batang rokok lagi. Kalau Jia perhatikan, pria itu tidak benar-benar mengisi perut. Dia hanya memesan sepotong roti melon dengan eskrim saja. Hebatnya lelaki macho seperti Kal benar-benar punya selera seperti gadis remaja. Sejak dulu Kal sangat suka makanan manis.
"Kenapa tidak? Rua itu tampan."
Tampan, ya?
Menurut Kal yang disebut tampan akan memiliki bentuk dagu yang lancip dan bibir tipis. Matanya harus punya sinar terang. Bulu matanya juga panjang dan lentik. Walaupun definisi itu sangat cocok untuk Liu.
Kal mengakui, Liu memang perpaduan tampan indah seperti lukisan yang digores dengan cat secara hati-hati dan teliti. Liu hampir tidak bercacat di matanya.
"Ya, menurutku lumayan. Dia cocok disandingkan dengan gadis berdada rata sepertimu."
"Maaf saja kalau dadaku rata!" Jia memberengut. "Ini tasmu. Kukembalikan dengan selamat!"
Tas itu sukses mendarat di wajah Kal sebagai balas dendam Jia. Gadis itu segera melesat dengan tawa yang puas.
"HEI! DASAR BARBAR!"
Kepergian Jia membuat Kal kembali merasa sepi. Jia adalah gadis ceria dan agak tomboy, jadi walaupun dia barbar, seleranya kurang lebih sama dengan Kal. Semasa kuliah mereka sering hangout bersama. Pada saat itulah Kal tahu bahwa Jia menyukainya.
Selera Jia memang sudah dihafal Kal di luar kepala. Maka dari itu, saat Jia berkali-kali menyanjung Rua, Kal sedikit merasa aneh. Kesan yang diberikan terlalu terpaksa.
Akan tetapi, itu bukan masalah bagi Kal—bukan urusannya juga. Dia justru berharap bahwa Jia bisa memilih lelaki terbaik untuk hidupnya nanti. Kal merasa dirinya bukan pilihan yang baik, dan Kal tidak ingin cinta merusak persahabatan mereka.
Setelah waktu istirahat berakhir, Kal bekerja tanpa henti selama empat jam penuh kemudian. Kal yang biasanya sangat anti dengan yang namanya serius, kini hanya terdiam dan fokus di layar komputer. Keberadaan rekan yang sebetulnya sangat membantu, diabaikannya begitu saja. Mereka benar-benar dilanda keheningan. Hanya suara keyboard yang membentur jari.
Atas inisiatif sendiri, akhirnya Kal memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan lain. Seperti; mengecek kembali design iklan yang akan diserahkan ke mesin percetakan koran dan iklan yang akan dipajang di jejaring sosial. Tidak ada yang salah, dia juga mendapatkan design iklan milik Jia. Gadis itu memang menambahkan aksen tertentu sebagai ciri khas, tapi menurut Kal sudah bagus.
Rua meliriknya, tapi karena terlalu serius Kal tidak menyadari itu.
"Kau marah padaku?" tanya Rua tiba-tiba.
"Tidak. Bagaimana mungkin?" Kal sempat menghentikan jarinya di atas keyboard sebelum melanjutkannya lagi. Sesekali matanya menyipit karena perih, empat jam dia tak lepas dari layar itu.
"Aku tahu kau marah," ujar Rua lagi.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
Akhirnya Kal melepaskan matanya dari monitor silau itu dan mengambil sebotol air putih untuk membasahi kerongkongannya. Dia menatap Rua dengan tatapan bertanya.
"Insting," jawab Rua, tersenyum tipis.
"Siapa bilang aku marah padamu? Kita bahkan baru kenal. Kau juga seniorku. Aku harus bersikap baik padamu."
Jawaban itu meluncur dengan nada yang agak sinis di ujung kalimat.
Belum sempat mendapat jawaban dari Rua, tiba-tiba ponsel Kal bergetar. Dia memprioritaskan ponsel itu terlebih dahulu daripada bersusah-susah mendengar jawaban rekannya.
Kesan pertama yang buruk membuatnya malas berhadapan dengan pria itu. Sikapnya memang berlebihan, tapi dia sadar bagaimana wataknya. Kalau hari ini dia marah, bisa jadi besok mereka akan akrab dan menempel seperti sahabat sejati.
Bisa jadi.
Kal mengernyit saat menemukan nama Liu di layar ponsel. Kekasihnya itu tidak akan mengganggunya di saat jam kerja kalau tidak terlalu penting. Daripada menduga-duga, Kal segera membuka pesan dari kekasihnya itu, sembari melihat jam—pukul sembilan kurang.
From: Liu
Kal, sepertinya aku demam. Kalau kau pulang tolong belikan aku obat.
"Kau menyebutku senior, tapi sebenarnya aku baru empat bulan bekerja di kantor ini."
Empat bulan? Waktu yang cepat untuk orang jenius menjadi pro. Kal tersenyum sinis.
"Sebenarnya aku tidak berharap kau marah, hanya saja aku merasa kau mengabaikanku sejak tadi," lanjut Rua.
Atensi Kal akhirnya benar-benar teralih pada pria pucat itu.
"Kau tahu di mana salahmu?"
Rua menggaruk tengkuknya. "Entahlah, kalau tentang pembahasan yang tadi ... kurasa aku tahu."
Kal kembali pada ponselnya dan memberi beberapa balasan untuk Liu. Kekasihnya sakit. Tentu saja Kal khawatir. Sakit apa memangnya anak itu? Seingatnya, Liu sangat rajin berolahraga. Dia punya pola makan yang sehat, bahkan apa pun dimasaknya sendiri.
Intinya, pria itu tidak akan mudah sakit.
Kal mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Rua lagi. Seketika itu pula dia merasa kemarahan yang mencucuk di kepalanya sudah menguap sepenuhnya. "Lupakan saja."
Hal itu tidak membuat Rua puas, dia bermaksud mengajak Kal ke dalam pembicaraan lagi.
"Aku hanya sedikit terganggu dengan hubungan kalian," kata pria itu.
"Apa maksudmu?"
Rua mengambil alih keyboard saat Kal lengah dan tertarik dengan ucapannya.
"Aku tahu seperti apa rasanya tidak dipercaya oleh kekasih sendiri." Tangannya masih nyaman berada di atas huruf-huruf itu bahkan saat melihat Kal mulai tak nyaman di kursinya. "Sebuah hubungan itu kuat karena sebuah kepercayaan, bukan?"
Kal mengusap matanya lelah. Dia mengingat-ingat rencana cantiknya untuk membeberkan betapa tidak menyenangkannya Rua pada Jia nanti.
"Melihat ekspresimu kurasa aku benar. Apa terlalu banyak hal yang disembunyikan oleh kekasihmu? Hm? Kau bisa menceritakannya padaku."
"Itu bukan urusanmu." Kal menjawab dengan nada menekan.
Rua mengangkat tangannya ke atas, pose menyerah. "Bukan maksudku ingin ikut campur. Hanya saja sayang sekali seorang pria yang tampan sepertimu dipermainkan oleh wanita yang bahkan tidak dapat mempercayaimu."
"Aku tidak—"
"Aku cukup terkesan dengan wanitamu ini," potong Rua. "Sepertinya dia wanita yang bisa dengan mudah menaklukan laki-laki sepertimu, ya?"
Pengakuan yang meluncur dari mulut Rua membuat kepalan tangan Kal mengerat.
Setelah menyadari bahwa Kal tersinggung atas pembahasan yang sebelumnya, pria ini justru berani membuat emosinya kembali naik. Meskipun begitu Kal masih cukup sulit untuk mengaku bahwa dia sebenarnya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, bukan wanita.
"Kau tahu, Kal, seharusnya kau tidak menghabiskan waktumu untuk wanita seperti itu," lanjut Rua dengan nada setenang angin.
Kal menggemeretakkan giginya.
"Aku punya beberapa teman wanita yang tinggal di Valmore. Mungkin aku bisa mengenalkannya pada—"
"Hentikan omong kosongmu sekarang, atau kupatahkan tanganmu!" Kal meremat pegangan kursi dengan kuat. Dia sadar bahwa baru saja kehilangan kontrol.
Rua sepertinya tidak mendengarkan.
"Aku heran. Orang seperti apa kekasihmu ini, sampai-sampai kau begitu mempertahankannya," katanya. "Dengar ... kalau hubungan sepasang kekasih selama dua tahun saja sudah penuh rahasia. Menurutmu bagaimana ke depannya nanti? Aku yakin akan banyak kebohongan lagi yang dia lakukan di belakangmu, Kal."
Pupil mata Kal melirik ke arah Rua dengan sengit.
Habis semua kesabarannya hingga tanpa sadar pada detik-detik terakhir akal sehatnya, dia mengarahkan kepalan tangannya ke rahang Rua dengan sangat kuat. Tubuh kurus milik pria pucat itu nyaris terjengkang dari kursi kalau saja tidak ada tembok yang berhasil menahannya di belakang.
"Apa maksudmu, berengsek! Sepatah kata lagi kau berani menghinanya, aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke rumah sakit!"
"Kau mengancamku? Aku seniormu dan kau sedang dalam pelatihan. Apa kau lupa?" Rua mengusap pipinya dengan tenang. Tanpa peduli bahwa hal itu kembali menyulut emosi Kal lebih lanjut. Ekspresi kemarahan Kal begitu menarik bagi Rua. "Bukankah semua yang aku katakan itu benar? Kenapa kau marah?"
Awalnya Kal benar-benar berniat menghabisi Rua karena kalimat-kalimat menyebalkannya itu. Namun pada akhirnya, sisi kesabarannya kembali muncul dan dia memilih untuk mengambil langkah mundur untuk meninggalkan ruangan kerjanya. Dia tidak mau mendengar hinaan yang lebih parah dari hal ini. Sebab Kal ingin menulikan semua pendengarannya atas kebenaran yang diucapkan Rua.
Apalagi Rua adalah pembimbingnya, setelah sekian lama, Kal akhirnya mendapatkan pekerjaan ini. Kal tidak boleh mencari masalah dengan senior.
Sejujurnya yang dikatakan pria itu benar, sudah sepantasnya dia tidak mempertahankan Liu karena dia memang tak pernah mencintai pria itu.
Daripada itu, tidak ada hal yang lebih mengerikan jika saja Rua tahu bahwa kekasihnya itu sebenarnya adalah seorang laki-laki. Mungkin saja Kal akan habis dimaki-maki olehnya lebih parah dari ini.
tbc.