Hari ini, lelaki biasa yang dikenal mudah bergaul itu resmi menjadi santri di pondok pesantren Al-Hasan Akmad. Ketika Sinar dan Gofur berjalan menuju asrama, Sinar melihat dua pria dewasa yang sedang melangkah beriringan.
"Kang, kalau dua lelaki itu, teh, siapa?" tanya Sinar.
"Oh, ya itu kiai kita, teh. Abah Jaelani sama Abah Jaenudin. Mereka pengasuh pesantren ini, anaknya almarhum Abah Kiai Haji Gozali, pemilik pesantren ini," ujar Gofur.
Sinar mengangguk-angguk, merasa paham. "Oh, iya, iya."
Setelah Gofur mengenalkan setiap sudut ruang asrama yang akan menjadi tempat tinggal Sinar dalam menuntut ilmu. Pemuda asal Subang itu ingin lanjut berkeliling pesantren untuk mengenal setiap sudut ruang lainnya yang belum ia temui.
Sinar dan Gofur jalan beriringan, seperti kawan yang sudah berteman sejak lama.
"Kang, kalau ruang-ruang eta, ruangan naon?" tanya Sinar menunjukan beberapa bangunan lain yang tak jauh dari hadapannya.
"Itu tempat belajar untuk santri Ibtidaiah. Sebagian ada santri kalong, soalnya mereka sekolah di luar. Biasanya, para santri yang sudah dewasa seperti kita ini, akan mendapat tugas mengabdi untuk mengajar mereka," ujar Gofur.
"Mata pelajaran apa saja yang harus kita sampaikan kepada mereka?" tanya Sinar.
"Banyak, atuh. Ada fiqih, nahwu, sorof dan hampir semuanya," ungkap Gofur.
"Lanjut aja yuk, ke sana," pinta Sinar.
Ketika dua pemuda itu melintas di depan kelas Madrasa Diniah. Sinar melihat ke dalam kelas, ia mendapati pemandangan yang menarik.
"Itu anak-anak kelas berapa?" tanya Sinar.
"Campur, dari kelas empat sampai kelas enam. Mereka kan sekolah, jadi kalau di pesantren ya dicampur. Kamu nanya anak yang mana, A?" tanya Gofur.
"Itu tuh yang duduk paling depan. Wajahnya bersinar gitu, beda sama yang lain," ungkap Sinar.
"Iya, atuh bersinar, itu mah anaknya Abah Jaelani. Namanya Nur Adibah Khanza Azzahra," ujar Gofur.
"Masya Allah, namanya Nur?" tanya Sinar dan Gofur pun mengangguk. "Pantesan aja wajahnya bersinar, ternyata dia memang cahaya, hehe," ujar Sinar.
Mereka pun melanjutkan berkeliling pesantren, melihat apa saja yang ada di setiap sudut Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad. Setelah semuanya selesai ditelusuri, Sinar dan Gofur akhirnya kembali ke asrama, tetapi kali ini mereka memasuki kamar untuk istirahat sejenak dan mengakrabkan diri dengan teman-teman seasrama.
Gofur menarik gagang pintu berwarna keemasan, dengan cepat, penutup kamar asrama Muhammad Al-Fatih itu terbuka lebar. Sinar mendapati banyak pemuda seusianya yang sedang duduk bergerombol di bawah ranjang.
Kening Sinar mengkerut mendapati pemandangan di hadapannya. Seorang pemuda merasa terkejut dengan kehadiran Sinar dan Gofur.
"Aya Gofur, bangun-bangun," ujar salah satu santri dan berlalu ke kamar kecil.
"Ayo masuk, A," ucap Gofur mengajak Sinar.
Pemuda yang sejak tadi membawa ransel hitam tersebut pun melangkahkan kaki untuk kali pertamanya memasuki kamar asrama yang akan ia tinggali selama belajar di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad.
Gofur yang melihat teman-temannya melakukan kebiasaan buruk tersebut pun berkata.
"Akang... Akang. Kita kedatangan santri baru di sini. Insya Allah, akan jadi teman sekamar kita juga, namanya Sinar Abizar," ungkap Gofur. "Udah atuh jangan ngelakuin itu lagi!" imbuh Gofur.
Seorang pemuda dengan perawakan tinggi besar itu bangun, meletakan sebatang benda mati dan mematikan api yang sejak tadi menyala di ujungnya.
"Naha pada ngerokok? Emang boleh?" tanya Sinar merasa terkejut.
"Boleh-boleh aja, banyak di luar sana para kiai yang ngerokok, kok," ungkap pemuda tersebut. "Oh iya, kenalkeun atuh, urang Sadi dari Linggarjati, Kuningan. Asalnya dari mana, A?" tanya santri yang baru saja mematikan gulungan tembakau yang dibungkus kertas.
"Abdi mah asli Subang, A." Sinar mengulurkan tangan dan menyalami Sadi.
Sinar masih terheran dengan Sadi yang berani merokok di dalam asrama pesantren.
Santri asrama Muhammad Al-Fatih pun satu per satu bersalaman dengan Sinar dan menyambut kedatangan pemuda asal Subang itu dengan baik.
Datanglah pemuda dari kamar mandi. Gofur pun mengajaknya berbicara. "Lan, kenalkeun atuh, ieu A Sinar. Maneh tadi ikutan ngarokok?" tanya Gofur.
"Henteu, Fur!" sahut pemuda yang sebelumnya terkejut saat melihat kedatangan Sinar dan Gofur.
Sinar mengulurkan tangannya pada pemuda berambut lurus berwajah kalem yang berdiri di hadapan Gofur. "Abdi Sinar, ari Akang namina saha?"
"Nami abdi Herlan, teu usah manggil Akang. Sebut wae Herlan, A," sahutnya.
"Oh, enya atuh. Herlan dari mana? Abdi mah Subang," ungkap Sinar.
"Abdi mah Cikampek, A," sahut Herlan.
"Cikampekna ti mana? Abdi geh pernah ulin ka Cikampek, tapi dulu waktu kelas dua MAN," ungkap Sinar.
"Abdi mah di Jatisari, Dawuan Tengah. Apal teu?" tanya Herlan.
"Sedikitlah, hehe. Ini sekamar teh berapa orang?" tanya Sinar.
"Tadina mah tigaan, mun kieu aya A Sinar yah jadi opat," Sahut Herlan.
"Ges atuh, Lan, ngobrolna. Bisi A Sinar rek istirahat," ujar Sadi.
"Teu nanaon atuh, Kang. Mengakrabkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru kan wajib. Hehe," ungkap Sinar.
***BER SAM BUNG......