Prologue
Malam setelah meninggalkan temannya dengan si pacar di dalam kamar kosnya, Kirana terjebak berduaan dengan Dinar. Alasannya karena tas beserta kunci mobil cowok itu tertinggal di kamarnya. Tentu saja Kirana yang perhatian tak akan mengganggu acara interogasi Elard.
Dia hanya bisa memasang muka jutek digombali Dinar tanpa henti. Mereka tidak pergi ke minimarket sesuai kebohongan di awal. Perginya ke warung kopi dekat tempat kost. Alasannya karena dekat dan buka 24 jam.
“Mukanya kecut mulu dari tadi. Om, kan jadi sedih.” Ini yang bikin Kirana geli sama Dinar. Cara bicaranya dibuat-buat biar terdengar lucu. Nggak gagah sama sekali. Padahal tampangnya sudah oke.
Dinar itu tinggi, badan tegap dan ganteng. Muka bening tanpa noda sama sekali, tak terlihat seperti om-om seperti pengakuan Seira si teman menyusahkan. Di mata Kirana, Dinar terlihat seperti cowok akhir dua puluhan yang kalem. Yah ... itu hanya kesan kalau Dinar diam. Sekali bicara semua pesona itu lenyap, kalah sama sikapnya yang menjengkelkan.
“Belum bosan panggil diri sendiri om apa? Duduk sama kamu, aku berasa jadi simpanan om-om tahu, nggak!?”
“Yah ... kan Kirana yang panggil om duluan.”
“Yang kemarin itu bercanda doang tahu!”
“Oh, jadi Kirana inginnya panggil Dinar biar akrab? Atau mau panggil Mas aja?”
Kirana pelototi Dinar. Setiap balasannya membuatnya tambah darah tinggi. Sedangkan yang dipelototi malah cengengesan terlalu percaya diri. Cubit pipi Kirana tanpa permisi.
“Kalau marah gitu tambah cantik deh!”
“Percuma kamu goda-goda gitu. Nggak mempan!”
Kirana tepis tangan Dinar, pindah duduk ke kursi sebelah biar nggak perlu berhadap-hadapan dengan Dinar. Akhirnya Dinar ikut pindah sih. Cowok itu bertopang dagu. Dicueki juga dia masih senyum-senyum cari kesempatan mau pegang tangan Kirana.
“Kirana, manis sedikit dong. Kayak Seira, kan asyik. Bergaul sama siapa aja welcome banget.”
“Kalau suka yang kayak Seira ya cari cewek kayak gitu. Maaf aja, aku orangnya jutek.”
Kirana buang muka. Merasa seperti dijadikan gantinya Seira. Dia kira Dinar kalah saing sama Elard, jadi mundur teratur ganti target jadi dia. Padahal sejak awal Dinar tak tertarik pada Seira. Yang menarik minatnya ya Kirana, si cantik jutek yang perhatian sama teman.
“Tipeku cewek dewasa kok,” balas Dinar.
Mata mereka bertemu secara tak sengaja. Cara tatap Dinar yang langsung tertuju padanya membuat alur waktu di sekitar Kirana terasa lambat. Kalau suaranya tak sengaja dibuat genit, sebenarnya suara Dinar begitu seksi. Tipe kesukaan Kirana. Makanya sekarang cewek itu mengendurkan pertahanannya sedikit, hingga tak sempat menarik tangannya ketika Dinar menggenggamnya.
“Kayak kamu,” sambung Dinar serius.
Bicaranya sengaja dia beri jeda lama agar bisa menyentuh hati Kirana. Setelah berhasil membuat Kirana tersipu sedikit, Dinar mempererat genggaman tangannya. Ia menarik tangan Kirana mendekat, mencium punggung tangan cewek itu mau sok-sokan romantis.
“Ehem ... Neng Kirana pandai cari pacar nih. Perhatian amat.” Suara deham Pak Salem si pemilik warung kopi itu menyadarkan mereka kembali ke kenyataan. Tempat yang sepi itu hanya dihuni oleh Dinar dan Kirana, jadi semua omongan dan tingkah laku mereka terlihat jelas bagai layar tancap bagi Pak Salem.
Kirana malu setengah mati. Refleks dia menarik tangannya dari Dinar, lari ke meja kasir mau memberi penjelasan. Bukannya kenapa-kenapa, soalnya itu bapak-bapak merupakan teman bapaknya Kirana. Takutnya lapor, habisnya Kirana belum kasih tahu bapaknya sudah putus sama pacar lama yang pacaran empat tahun, kandas diselingkuhi dengan janda itu.
“Bukan pacar kok, Pak.”
“Sekarang dijadikan pacar juga aku mau kok.” Kirana mendengus pada Dinar. Orang sedang bicara serius, dia malah menyahut dari kejauhan cari perhatian.
“Bisa diam nggak kamu!”
“Kalau diam nggak ganteng lagi dong.”
Kirana marahi, Dinar malah makin menjadi. Malah Pak Salem tertawa tertahan-tahan pula, seakan kekesalan Kirana merupakan sebuah komedi berjalan.
“Udah, Neng ... terima aja. Ganteng tuh katanya,” sahut Pak Salem.
Iya ganteng, tapi kalau sifat menjengkelkan begitu mana Kirana tahan.
“Tahu ah! Aku mau pulang!”
Akhirnya dia jalan balik ke kost. Kebetulan Seira sudah lapor, kalau si cewek b**o diangkut Elard pulang ke rumah si pacar. Emang teman tak tahu diri, dibantu malah main pulang saja jadikan dia alibi untuk menginap di tempat Elard.
“Kirana mau ke mana? Udahan mojok-nya nih?” Dinar langsung mengejar. Sampai sekarang masih mengira Kirana mengajaknya keluar biar bisa berduaan. Padahal tujuan Kirana murni hanya ingin memberi Seira dan Elard waktu berdua membicarakan masalah mereka.
“Siapa yang mojok bareng kamu. Sana pulang! Udah malam!” Kirana masuk ke kamarnya, tutup pintu, lalu dikunci dengan cepat.
“Tas sama kunci mobilku masih di dalam, Kirana.” Dia tepuk jidat setelah itu. Gara-gara kesal jadi lupa soal ini. Akhirnya Kirana buka lagi pintunya, persilakan Dinar masuk.
“Habis ambil langsung pulang,” kata Kirana serius.
Tadinya Dinar mau berlama-lama, tapi setelah tak melihat sosok Seira dan Elard, dia rasa Kirana bakal mencurigainya yang tidak-tidak kalau memaksa untuk tinggal. Karena Dinar pintar, dia bertingkah sok gentleman. Nanti kalau sudah agak dekat baru sifat aslinya ditunjukkan.
“Iya, Kirana.” Dinar langsung ambil barang-barangnya, pulang baik-baik sampai membuat Kirana terheran-heran. Kok Dinar bisa perhatian begini ya? Atau dia yang terlalu berpikiran buruk soal Dinar?
***
Kirana begitu kesal. Pulang kerja sambil menggerutu di jalan. Ban mobilnya dikempiskan dan hak sepatunya dipatahkan. Nama lainnya, dia di-bully oleh anak didiknya sendiri. Soalnya Kirana jadi guru terlalu galak padahal masih baru. Yang diajar anak-anak cowok SMP pula.
Dobel sial namanya. Pas lamar kerja katanya dikasih kelas umum, bisa ambil jam kerja pagi. Tak tahunya pas sudah mulai kerja malah dapat kelas siang dan sore, khusus anak SMP dan SMA pula. Mana Kirana tak kesal mampus. Waktu kuliah berpikir udah kerja enak, ini baru kerja sebulan dia sudah berharap kembali jadi anak kuliahan.
“Kirana, kok jalannya ngeker? Mobilmu ke mana?” Si tukang buat emosi datang lagi kayak kesialan ketiga. Si Dinar yang baru pulang kerja, sengaja lewat jalan dekat tempat kerja Kirana dengan harapan adanya pertemuan kebetulan yang direncanakan.
“Nggak usah banyak omong. Sana pergi!” Kirana masih lanjut jalan. Biar dilihati orang dia jalan ngeker, bawa sepatu yang haknya patah daripada masuk ke mobil Dinar.
“Haknya kok patah? Kepeleset ya? Naik sini, aku antarkan kamu pulang. Halte masih jauh lho!” Dinar diusir masih lanjut usaha. Jalankan mobilnya pelan-pelan mengikuti Kirana, menambah macet di jalan.
“Kamu kira aku cewek ceroboh apa! Sana cepat jalan!” Kirana makin emosi. Pasalnya kendaraan di belakang Dinar klakson tak henti-henti. Ada yang kepalanya keluar dari jendela, teriak-teriak suruh mereka jangan berantem di jalan. Berasa dirinya dan Dinar itu pasangan alay yang sukanya bertengkar di depan publik buat cari sensasi.
“Ehehe, ya nggak. Dan aku nggak mau jalan sebelum kamu masuk. Cepat Kirana, orang di belakang ada yang ngancam mau panggil polisi tuh.” Dinar mah masih santai. Dia yang buat hal, Kirana pula yang tertekan oleh keadaan.
“Cih! Iya, puas kamu!” Akhirnya Kirana masuk sambil berdecak kesal.
“Ehehe, puas banget!” Baru sekarang Dinar menyetir yang benar. Pastinya masih sambil senyum-senyum berharap suasana di antara mereka mencair. Setelah beberapa menit, Dinar baru peka. Mood Kirana lebih buruk dari biasanya. Kerutan di kening cewek itu begitu kentara, tanpa ada niat menyembunyikan emosinya sama sekali.
“Ada yang buat kamu kesal? Boleh cerita sama aku kok.” Dinar mencoba untuk perhatian, sambil berharap Kirana bisa melihat sisi baiknya.
“Nggak! Nanti kamu tertawakan aku!” Kirana gengsi. Tak mau dianggap cewek manja yang sedikit-sedikit mengeluh minta dihibur. Dia ingin menjadi mandiri, ingin bisa mengatasi masalahnya sendiri tanpa bergantung pada siapa pun.
Dinar menghela napas panjang. “Nggaklah, Kirana. Mana mungkin aku tertawakan kamu.” Rasanya agak sedih dengan segala perlakuan Kirana padanya.
“Kalau nggak mau cerita nggak apa-apa, tapi seenaknya biarkan aku mengubah suasana hatimu.” Dinar tulus soal niat yang satu ini. Dia suka wajah jutek Kirana, tapi lebih suka lagi kalau bisa membuat Kirana tersenyum padanya.
“Memangnya kamu bisa?” Kirana malah merasa tertantang. Dia menoleh ke arah Dinar, mengangkat alisnya merasa tertarik.
“Serahkan pada Om Dinar!” Dinar bawa Kirana pulang dulu, tunggu Kirana dandan dan ganti baju barulah dia bawa ke tempat favoritnya.