Prolog
Gadis berambut ombre hitam dan pink itu menyunggingkan senyumnya. Ia puas dengan apa yang telah dilakukannya, menyingkirkan satu-satunya gadis yang menghambat perkembangan hubungannya dengan pacarnya.
Gadis berambut coklat terang itu hanya bisa menahan tangisnya dengan tangan yang menggenggam strip testpack yang bergaris dua, menandakan ada sebuah nyawa yang hidup di dalam rahimnya. Calon manusia, calon anaknya dengan suaminya sendiri. Sayangnya suaminya begitu keras, dia malah lebih mempercayai wanita ular yang selalu berusaha untuk merusak hubungan pernikahan mereka.
Satu-satunya kesalahan yang gadis berambut coklat terang itu lakukan adalah menikahi seseorang yang sampai saat ini tak pernah mencintainya. Bahkan ia tak yakin apa pria yang telah setahun lebih menjadi suaminya itu punya hati atau tidak untuk mencintai. Pernikahan yang diidam-idamkan semua wanita apalagi menikah dengan pria tampan yang juga pengusaha kaya, siapa yang bisa menolak? Tapi bukan karena alasan itu ia mau menikah dengannya, demi mengabulkan permintaan Ayahnya agar bisa menyelamatkan perusahaannya, Luisa mengorbankan dirinya untuk menikahi Faazil. Menyerahkan jiwa dan raganya untuk pria dingin itu yang bahkan tak pernah memperlakukannya dengan baik.
Selama satu tahun pernikahannya, Luisa selalu berusaha menerima Faazil sebagai suaminya. Berharap pernikahan yang tak Faazil inginkan ini kelak dapat pria itu terima. Sayangnya, dia terlalu keras. Dia masih terus berhubungan dengan pacarnya bahkan secara terang-terangan didepan Luisa. Hanya Luisa selalu menutupi dari keluarga suaminya demi menjaga kehormatannya. Walau Faazil sama sekali tak pernah menjaganya apalagi menghormatinya.
Malam yang dingin ini, terasa semakin dingin dengan sikap Faazil. Dengan tatapan tajamnya, pria itu menunjuk ke pintu rumah. Menyuruh Luisa untuk segera angkat kaki dari rumah keluarganya.
Tidak ada yang berani menentang Faazil, bahkan Ayahnya sekalipun. Pria yang telah berumur lima puluh lima tahun itu terlanjur kecewa dengan apa yang dibicarakan Ayuning pada Faazil saat bersamanya. Yang tak ditentang oleh Luisa seakan ia membenarkan ucapan Ayuning. Gadis yang gagal menikah dengan Faazil karena perjanjian antara Ayah Luisa dan Ayah Faazil.
"Seharusnya dari dulu Ayahku tau kalo menikahkan aku dengan jalang sepertimu sama sekali tak menguntungkan kami. Semata-mata hanya karena Ayah kasian dengan perusahaan Ayahmu yang hampir bangkrut! Sama sekali tak pantas dengan keluarga Reonald!" Ucap Faazil dengan nada tajam. "Kalian memang pantasnya jadi gembel!"
"Cukup!" Luisa sudah tak tahan lagi. Sejak semalam semua kata-k********r dari pria yang menjadi suaminya itu selalu ia terima dengan setengah hati. Tapi kata-katanya yang terlalu menusuk bahkan menghina Ayahnya yang mati-matian membesarkannya. Ia jelas tak terima." Kamu boleh menghinaku. Apapun itu. Tapi jangan pernah menghina Ayahku!"
Faazil tersenyum sinis." Maka enyahlah! Jangan pernah tunjukan wajahmu lagi dihadapanku! Bawa calon anak harammu itu dari sini! Aku tak sudi memelihara jalang dirumah ini!"
Luisa menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Sungguh ia telah tau betapa dinginnya sikap Faazil selama ini, tapi dihina secara langsung seperti ini membuat harga diri Luisa seakan tak lagi ada. Dengan yakin, ia menarik koper besarnya. Koper yang sama seperti yang ia bawa pertama kali kerumah ini. Bahkan isinya pun sama.
"Tunggu!" Sahut Ayuning yang langsung menghampiri Luisa dengan langkah angkuhnya." Kita harus cek kopernya. Jangan-jangan dia bawa sesuatu berharga dari rumah ini." Ucapnya dengan yakin, membuat Luisa melotot tajam karena tak terima dituduh lagi. Jelas-jelas semua isi kopernya sama seperti waktu pertama kali ia bawa. Sehelai baju baru yang sering dibelikan Faazil pun tak ia bawa.
"Tidak perlu. Aku yakin dia sedikit tau diri dengan posisinya." Ucap Faazil yang tak mau repot. Ia ingin Luisa segera pergi dari hadapannya.
"Baiklah."
Luisa kembali menyeret kopernya keluar dari rumah mewah itu. Dengan langkah lemas dan perutnya yang sedikit keram. Ia menguatkan dirinya untuk pergi malam itu. Entah kemana, ia sama sekali tak punya tujuan. Pulang ke rumah pun hanya akan membuat Ayahnya khawatir. Ia takut dirinya malah menjadi beban bagi Ayahnya.
"Tuhan. Aku harus kemana sekarang?"