Mempersiapkan

1091 Kata
Wijaya tertawa lalu kembali fokus dengan melanjutkan perkataannya. “Mama jangan marah-marah, takut nanti lekas tua,” ledeknya dengan sebuah lagu yang sedang banyak digemari di salah satu aplikasi sosial media. Ratih hanya tersenyum tak mengucapkan sepatah kata saja. Tatapannya lurus ke depan. Melihat ke arah foto dirinya bersama Wijaya. Terlintas di kepalanya jika harus kehilangan sosok putranya. Radanya tidak akan sanggup. Wijaya mengambil ponselnya. Membuka pesan dari dosennya. Di sana, tertuliskan bahwa ada perpanjangan waktu lagi. Diberi tenggat waktu selama satu bulan, asal dikerjakan dengan sebaik mungkin. Dengan begitu, memudahkan Wijaya untuk melakukan riset. “Ma, nanti mau mencari tempat untuk riset sejarah. Tapi, juga belum menemukan topik yang bakal dibahas.” Wijaya menyalakan rokoknya lagi. “Rokoknya,” jawab Ratih, “Kenapa tidak mengambil sejarah dari kerajaan saja,” sambungnya membuka ponselnya juga. “Kerajaan?” lirih Wijaya sembari menutup ponselnya. Mata tertuju ke arah Ratih yang sedang sibuk dengan ponsel. Jangan salah, Ratih salah satu ibu-ibu yang tidak bisa ketinggalan dengan kemajuan teknologi. “Ma, untuk riset tentang kerajaan, kan, tetap saja harus ke tempat langsung. Mencari sumber informasi dari orang yang tepat, kan?” sambungnya setelah menyesap rokoknya. “Ya, iya. Kalau memang mau, ya, segera cari jalannya. Bukan malah nongkrong yang hanya membuang waktu saja,” jawab Ratih. Wijaya membuka internet. Mencari beberapa informasi tentang salah satu kerajaan yang turut memberikan sejarah pada Negara Indonesia. Wijaya memutuskan untuk pergi ke salah satu kerajaan yang berasal di pulau lain. Salah satu faktor yang akan memudahkan akses untuk liburan ke luar pulau. Tambah lagi, kerajaan itu salah satu kerajaan yang menarik untuk dikupas lebih dalam. “Ma, lusa gas naik pesawat jalur udara,” celetuknya. “Mau melawak kamu? Namanya pesawat itu jalur udara, ya kali jalur darat atau air. Memang kamu mau ke mana buat riset?” tanya Ratih yang sedang mengupil. “Jorok, Ma,” jawab Wijaya sembari memberikan ponselnya. Sebuah layar yang berisikan nama pulau dari asal kerajaan yang dimaksud oleh Wijaya. Dia yakin, Ratih tidak akan memberikan izin kepadanya. Tapi, ya, sudahlah. Coba saja dulu. Setidaknya, itu yang ada di dalam pikirannya. “Ya, benaran mau pergi ke Sumatera?” tanya Ratih dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Matanya terlihat tidak rela jika harus berpisah dengan anaknya dalam beberapa waktu. Wijaya hanya menganggukkan kepala sembari membuang asap rokok yang baru saja dihisapnya. “Wijaya, satu bulan itu tidak sebentar. Mama di sini sendiri?” sambungnya. “Satu bulan itu hanya tiga puluh hari, kok, bukan seratus hari,” jawab Wijaya dengan entengnya. “Hm, ya, sudah. Kalau begitu, kamu harus mempersiapkan semua yang dibutuhkan. Cari tiket dan lainnya,” jawabnya beranjak dari sofa ke arah kamarnya. “Tapi, Ya, jangan deh. Kaki kamu masih luka,” sambungnya menatap ke arah kaki yang masih tertutup kain putih itu. “Ini tidak kenapa-kenapa. Tinggal menunggu kering saja,” jawab Wijaya beranjak pergi ke kamarnya. Mengambil koper yang ada di atas almari. Membersihkannya dengan air dan sikat pakaian agar debu dan kotoran bisa hilang dengan menyeluruh. Beberapa waktu kemudian, koper telah kering dengan sendirinya. Meletakkan koper di atas ranjang sembari mengemas pakaian yang akan dibawanya. Wijaya telah mempersiapkan barang-barang yang sekiranya akan dibutuhkan. Setelah itu, kembali ke lantai satu. Menemui Ratih yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dasar, ibu-ibu tidak sadar usia. “Ma, jangan kebanyakan main sosial media. Bahaya,” kata Wijaya sembari duduk di sebelah kanan ibunya. “Ma, kalau Jaya pergi, Mama tidak apa-apa, di rumah sendiri?” tanyanya dengan suara yang seakan menahan tangis. “Ga apa. Terpenting, kamu bisa mengerjakan tugasmu dan selalu membanggakan Mama,” jawabnya dengan tersenyum manis. “Tapi, ada syaratnya. Jangan aneh-aneh, terus jangan sembarangan kalau berucap atau bertindak,” katanya. “Tenang saja,” jawab Wijaya. Tidak terasa waktu telah berganti. Sinar matahari telah muncul di pagi hari. Memberikan seberkas sinar yang membuat kulit sehat. Sayangnya, hari ini Wijaya harus mencari keperluan lain untuk pergi ke Sumatera. Mencari tiket dan beberapa peralatan yang mungkin akan digunakan di kota orang, nantinya. “Mama ikut pergi untuk mencari keperluan kamu, ya,” katanya beranjak ke kamar untuk bersiap. Tentu saja, berdandan dengan cantiknya. Selayaknya anak mudi yang baru beranjak dewasa. Wijaya pergi dengan mengendarai mobilnya. Berjalan ke arah supermarket besar yang mendukung semua keperluannya. Tapi, dia malah terjebak macet di salah satu lampu merah yang ada. Rasanya, ingin menerjang jalanan yang dipenuhi dengan roda empat dan roda dua. “Jaya, pokoknya apa pun itu harus hati-hati. Jangan gegabah,” kata Ratih yang mengerti perasaan Wijaya yang telah tidak nyaman di jalanan. “Iya, Mama. Panas saja,” jawabnya dengan mata yang tertuju ke depan. Beberapa waktu terjebak dalam kemacetan, akhirnya dia bisa sampai di tempat tujuan. Menghentikan mobil di tempat parkir dengan rapi, kemudian bergegas pergi ke supermarket. Berkeliling untuk mencari barang-barang yang dibutuhkan. Tapi, belum juga menghasilkan, sebab Ratih lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan sosial medianya. “Astaga, mau malu, tapi itu Emak sendiri. Tidak malu, tapi membuat malu,” lirihnya sembari menyeret lengan Ratih agar segera kembali mengelilingi supermarket. “Jaya, Mama masih mau foto dulu,” katanya berusaha melepaskan gandengan tangan Wijaya. “Alay, Ma. Malu-maluin,” celetuk Wijaya pergi meninggalkan Ratih yang masih sibuk dengan ponsel. Sampailah, Wijaya di depan sebuah toko yang menjual berbagai jenis pakaian. Kakinya melangkah ke sana. Mengelilingi sebuah ruko yang tidak terlalu luas itu. Melihat barang-barang yang terpasang di manekin ataupun digantung. Hatinya terpikat dengan sebuah kaos berwarna hitam polos yang digantung paling depan. “Mas, ini berapa?” tanya Wijaya sembari mengambil satu gantungan itu untuk dibayar. “Seratus lima puluh ribu saja,” jawabnya yang disusul dengan Wijaya memberikan sejumlah uang yang sesuai dengan harga kaos. Kakinya baru saja melangkah ke luar, tiba-tiba ada Ratih yang tengah kesal dengan wajah yang tidak beraturan lagi. Bedak yang semula masih rapi di wajahnya, kini luntur akibat keringat yang masih menetes di hidungnya. “Habis balap karung di mana?” tanya Wijaya menahan tawa. “Enak saja, habis kena marah satpam. Makanya Mama tinggal pergi, memutar untuk mencari kamu. Tapi, belum juga ketemu. Jadilah, ada air keringat ini. Kamu beli apa?” “Beli kaos. Turun sekarang,” ujarnya menggandeng ibunya agar menurut dengan perkataannya. Benar-benar, seperti yang dikatakan orang-orang, ibunya seakan sedang memasuki pubertas kedua. “Ma, bisa enggak sih, hp disimpan,” lanjut Wijaya yang menyadari ponsel milik ibunya masih menyala dengan kamera yang telah siap diajak kerja sama guna mengambil gambar seseorang. “Mama itu lagi buat video, tapi hp disengaja begitu, biar enggak ketahuan lagi,” jawabnya. Wijaya hanya bisa menepuk jidat, pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN