Bab 7. Mengunci Kebenaran

1218 Kata
Dalam perjalanan pulang, Luna hanya diam saja. Dia tidak berujar apa pun pada Arsenio yang sedang menyetir selain hanya terus memilin jemarinya dengan gelisah di pangkuan. Arsenio yang melihat tingkah aneh Ibunya lantas menegur. "Mama gak apa? Kok kayaknya Mama kayak takut," tanya Arsenio pada Luna. Luna terkesiap lantas menoleh pada Arsenio dan menggelengkan kepalanya. "Gak kok. Mama baik-baik aja. Gak ada yang terjadi," jawab Luna dengan suara lembut pada putranya. Arsenio meliriknya lagi dan ia masih cemas. Firasatnya mengatakan jika ada yang sedang disembunyikan sang Ibu darinya. "Terus yang tadi siapa? Teman Mama ya?" Arsenio masih mempertanyakan hal yang sama dari rasa penasarannya yang belum tuntas atas kejadian di toko. Luna menoleh pada Arsenio yang sedang menatap ke depan dan menggeleng lagi. "Bukan. Dia bukan teman, cuma kenalan biasa," gumam Luna. "Lalu kenapa Mama malah melamun? Pasti ada sesuatu yang dia bilang ke Mama tadi kan? Laki-laki yang tadi itu bilang apa, Ma? Mama bisa kasih tahu aku. Apa dia ngancem Mama? Atau dia bicara gak sopan?" Arsenio makin memberondong ibunya dengan pertanyaan yang membuat Luna tercekat. Luna hanya bisa diam sambil berusaha menarik napas dari dadanya yang sesak. Dia tidak bisa menceritakan tentang Keenan pada Arsenio, tetapi ia tahu jika Arsenio pasti penasaran sekaligus curiga. Dia pasti akan mencoba mencari tahu hal yang mencurigakan terutama terkait dengan hidup dan keluarganya. "Beneran, Arsen, dia hanya seorang kenalan. Mama gak bohong, kok," ujar Luna mengulang lagi. Meski Luna berusaha agar bisa memperlihatkan ketegasan dari kalimatnya, Arsenio merasakan sesuatu yang aneh pada Ibunya. Tapi dia tidak ingin membuatnya lebih stres. Arsenio pun mengangguk lalu tersenyum mengalihkan topik pembicaraan. "Apa Mama punya gaun untuk malam ini?" tanya Arsenio menoleh dengan senyuman. Luna ikut menoleh dan tersenyum manis. “Ada. Memangnya kenapa?” balas Luna tersenyum. Arsenio menaikkan senyumannya lagi lalu menggeleng. “Hhm, aku pengen beliin Mama kado tapi aku gak tahu Mama sukanya model gimana. Aku pikir, aku mau ngajak Mama shopping sekarang.” “Kado apa?” “Aku kan menang turnamen, Ma. Jadi ada hadiah uang yang dibagi sama klub juga.” Luna makin tersenyum lalu ia mengusap rambut Arsenio yang masih menyetir. “Anak Mama baik banget mikirin Mama terus. Makasih ya, Sayang.” Arsenio pun mengangguk cepat dengan cengiran lebar. “Oh iya, Ma. Kalau seandainya aku minta tolong sama Mama buat minta sama Papa, Mama mau gak?” tanya Arsenio lagi dengan sikap ragu-ragu. “Soal apa?” “Kalau aku ngajak Evan juga, boleh gak?” Luna tertegun mendengar permintaan Arsenio. Rasa sakit sekaligus bersalah langsung muncul di dalam benak Luna jika ia mengingat Evan. Tidak ada yang mengetahui jika Evander Satria adalah anak kandung Luna yang disingkirkan Alex. Entah takdir apa yang dijalani oleh Luna. Anak kandungnya malah bersahabat dengan Arsenio. “Boleh kan, Ma?” Arsenio kembali bertanya. Luna tersenyum lalu mengangguk. Arsenio langsung semringah begitu bahagia. Luna harus menyembunyikan rasa pilunya di balik matanya yang berkaca-kaca. Ia membuang muka sejenak dengan cepat menyeka air mata yang hampir jatuh lalu menoleh pada Arsenio yang melirik pada jam tangannya sedang menghitung waktu. “Kita masih punya waktu buat shoping, terus aku jemput Evan buat makan malam, gimana, Ma?” “Nanti kita terlambat. Mama bisa pakai gaun yang lama kok. Kamu kan harus jemput Evan.” Luna menolak dengan halus dan tutur katanya yang lembut. Arsenio sedikit berdecap lalu menggeleng. “Ga apa. Gak lama kok, cuma beli gaun doang terus aku anterin Mama pulang. Oke?” Arsenio kembali memaksa dan Luna hanya tersenyum saja. Sekali lagi, Arsenio adalah penghibur lara di hati Luna sejak dulu. Ia tidak bisa menolak saat sang putra membelikan gaun yang indah untuknya dari sebuah butik pakaian terkenal. Meski hanya untuk makan malam, tapi untuk pertama kalinya Arsenio membawa ibunya pergi bersama. Setelah membelikan gaun bagi Luna, keduanya kemudian pulang dengan sisa kebahagiaan usai jalan bersama. Luna adalah wanita dewasa yang cantik yang membuat Arsenio sangat percaya diri dengan membawanya. Banyak yang salah menduga dan mengira mereka adalah sepasang kekasih dan itu sempat membuat Arsenio tergelak beberapa kali. Terlebih Arsenio berpakaian kasual dan sudah melepaskan seragamnya. “Mama gak liat sih mukanya mbak-mbak tadi, dia sampe mau periksa KTP.” Arsenio tergelak berjalan keluar dari mobil bersama Luna yang ikut terkekeh kecil. Keduanya berjalan bersama ke ruang tamu, membawa beberapa tas dengan gaun makan malam yang indah untuk Luna serta kemeja formal untuk Arsenio. Mereka tidak menyadari bahwa Alex sudah menunggu keduanya sejak satu jam yang lalu. Saat Alex pulang, dia tidak dapat menemukan Arsenio maupun Luna di rumah. Jadi dengan kesal, Alex meneriaki setiap pelayan rumah karena tidak tahu di mana Luna dan Arsenio berada. Alex bahkan masih mengenakan kemeja yang sama meskipun telah melepaskan jasnya. Rasa kesal membuatnya gerah di rumahnya yang selalu adem. Alex langsung berkacak pinggang menyambangi Arsenio yang masih terkekeh berjalan bersama Luna. "Dari mana saja kamu?" hardik Alex dengan raut kesal. Arsenio malah menyengir lebar seakan tidak bersalah. "Oh hai, Pa. Aku baru aja jemput Mama dari tokonya terus kami shopping sebentar. Biasa, buat beli gaun Mama dan kemejaku. Papa uda pulang ya?" balas Arsenio dengan sorot wajah sok polos pada ayahnya. Bukannya lega, Alex masih memberikan ekspresi dan pandangan tajam yang sama pada Arsenio. Dia sendiri tidak mau melirik pada Luna yang juga pulang bersama Arsenio. "Jika kamu ingin keluar rumah atau pulang terlambat, seharusnya kamu kasih tahu pelayan rumah lebih hulu. Kalau gak, Papa gak perlu memarahi semua orang hanya untuk cari tahu kamu di mana!" Alex sesungguhnya bermaksud mengamuk pada Luna, tetapi dia menumpahkan kekesalannya pada Arsenio. Arsenio hanya menyengir kuda tanpa rasa bersalah sedangkan Luna yang tidak mengerti maksud Alex balik membela putranya. Ia mengambil posisi dengan berdiri di depan Arsenio berhadapan dengan Alex. "Aku yang salah, Mas. Bukan Arsen. Aku yang meminta Arsen untuk ikut denganku membeli gaun makan malam untuk malam ini. Arsenio bilang jika kita akan makan malam di rumah teman kamu," ujar Luna menyela dengan polos kepada suaminya sementara Alex terus menatapnya nyaris tidak berkedip. Alex tercekat menelan kata-kata yang ingin dia ucapkan pada Luna. Jantungnya berdebar kencang saat melihat mata indah Luna dengan bulu mata lentik alami dan yang membuat mata itu sendu serta seksi. Alex tersadar dan tak sadar menggeleng cepat. Ia menoleh pada Arsenio daripada terus melihat Luna yang sudah membuatnya susah bicara belakangan tanpa alasan yang jelas. Alex kembali memelototi Arsenio yang tidak bisa membaca apa-apa. "Kita punya waktu satu jam untuk bersiap-siap. Papa gak mau kita terlambat!" tukas Alex memberikan perintah dengan suara rendah dan dominan tanpa ekspresi atau senyum sama sekali. Ia segera berbalik dan berjalan ke tangga untuk naik ke kamarnya. Kini Arsenio mengernyitkan kening melihat sikap Ayahnya, tetapi dia mengabaikannya ketika Luna menyentuh lengan kirinya. “Ma?” Arsenio mengingatkan Luna untuk bicara pada Alex soal mengundang Evander Satria ikut bersama mereka. Luna tersenyum lalu mengangguk mengiyakan. "Mama akan bicara sama Papa kamu. Terima kasih ya Sayang atas pemberian kamu. Mama mau ke kamar dulu untuk bersiap-siap ya!" ujar Luna tersenyum lembut. Arsenio ikut tersenyum padanya dan mengangguk. Luna pun naik melewati tangga yang sama untuk segera bertukar pakaian. Setelah satu jam, Alex sedang menunggu anggota keluarganya turun. Arsenio sudah pergi untuk menjemput Evander. “Mas?” panggil Luna membuat Alex menoleh padanya lalu berbalik. Matanya seakan berhenti berkedip saat menatap Luna turun melalui tangga menghampirinya. Bunga itu terlalu indah untuk diabaikan, Lunardewi Magnolia Henrick.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN