“Gue nggak terima nih sama kelompok kali ini, nggak adil banget. Masa gue nggak satu kelompok sama kalian bertiga sih? Ini si Pak Kumis sengaja banget pengen pisahin gue dari kalian nih. Punya dendam apaan sih Pak Kumis sama gue sampai tega buat pisahin kita berempat? Ish … gue nggak mau satu kelompok sama Asep. Gue pindah aja ya ke kelompok lo, Nyu, lempar aja si Fani ke sana sebagai gantinya. Demi abu dan jelaga, Gendhis nggak mau satu kelompok sama Asep. Mimpi apa sih gue semalam sampai harus satu kelompok sama si Asep, curang. Kumis nih minta pelajaran dari gue,” gerutu Gendhis. Ia sudah tak bisa menahan amarahnya yang membuncah sejak di kelas tadi.
Rencana mereka berempat akan satu kelompok bersama di mata kuliah apa pun, demi menjaga persahabatan mereka. Tapi untuk pertama kalinya kelompok mereka dipisah dengan alasan agar bisa sosialisasi dengan anak kelompok lain. Si Gendhis menjadi tumbalnya. Dia terpaksa dipindah ke kelompok Asep agar bisa mengenal lebih jauh lagi teman satu kelasnya, karena memang mereka berempat setiap mata kuliah apa pun selalu bersama. Bahkan banyak dosen yang sudah menandai wajah-wajah mereka yang tidak mau pisah dari kelompok tersebut.
Abimanyu memiliki posisi sebagai ketua kelompok, wajar saja jika tidak ada yang mau pisah dari kelompok tersebut sampai mengharuskan dipisah secara paksa. Peraturan dalam kelas pun berubah, jadi setiap anggotanya harus ganti satu bulan sekali minimal. Tapi peraturan itu mendapatkan pertentangan dari Gendhis dan teman lainnya yang tidak mau pisah dari kawan kawakan.
“Udah terima aja kali, Ndhis. Kita juga minggu depan udah ganti anggota, jadi percuma buat bertahan. Bisa aja malah nanti lo ketemu sama gue di kelompok lain kan? Nggak usah ngambek dong, ini juga terbaik buat kita semua. Kalau nggak gantian kek gini bakalan menimbulkan cirle dalam pertemanan di dalam kelas ini. Jadi kalau kita berbaur sama yang lain kan semua merasa jadi teman kita, merasa jadi sahabat, dan circle pertemanan kita menjadi satu kelas. Lagian hal seperti ini malah buat kita semakin solid. Udah jangan nangis, Asep nggak bakalan nerkam lo kok. Bukannya mantan lo ya, Ndhis? Jadi tenang aja pasti lo nanti bakalan dibantu sama si Asep, malah jadi prioritas. Nanti gue akal ngobrol sama si Asep buat jaga lo kok,” jawab Abimanyu sambil memperlihatkan wajah tanpa dosa.
“Enak kali mulutmu kalau bicara ya, Nyu. Kau mana bisa merasakan apa yang sedang ku rasakan, hah? Sudah aku nyaman dengan kalian semuanya, tapi malah dipindah seperti ini.” Gendhis menatap Abimanyu tajam, tangannya pun sudah pindah posisi menjadi berkacak pinggang. Ngeri sedap memang jika si Gendhis sudah tersulut emosinya, dia bakal jadi macan habis melahirkan anaknya. Senggol dikit bisa dibacok.
Kinanthi merangkul bahu Gendhis sambil mengusap lengan perempuan tersebut pelan. “Udah, Ndhis, jangan dimasukin ke hati ya omongan si Manyu. Lo bisa kok sama mereka, lagian kita kan satu kelas semuanya nggak mungkin kalau sampai saling menjatuhkan. Ini udah jadi keputusan final, nggak bisa protes lagi. Kalau ada apa-apa nanti tinggal bilang aja sama kita, pasti bakal kita bantu kok. Kesempatan putaran minggu depan semoga aja lo bisa keluar dari kelompok sana ya. Udah jangan sedih.”
“Tapi, Ndhis, lo di sana tuh malah aman. Ada Asep di sana, dia pasti jagain lo. Nggak mungkin sama tega lihat lo kesusahan. Dia itu duplikat gue, Ndhis. Yang namanya masih sayang pasti bakalan tetep menjaga kok, lo tenang aja. Syukur-syukur lo bisa balikan lagi sama dia, Ndhis. Jadi jiwa jomblo lo itu semakin terkikis,” ucap Abimanyu dengan terkekeh pelan. Gendhis yang sudah tidak tahan langsung menyerang Abimanyu, ia memukul lengan laki-laki tersebut sampai si empu mengadu kesakitan. Karena bisa dibilang Gendhis hanya fisik dan rupa saja seorang perempuan aslinya adalah seorang laki-laki.
“Manyu … udah dong. Kasihan tuh si Gendhis wajahnya memerah banget, suka banget sih gangguin dia.” Kinanthi menatap Abimanyu dengan melototkan matanya. Tangannya masih setia mengelus lengan Gendhis. “Udah, Ndhis. Lo hari ini ada jadwal kumpul sama kelompok lo kan? Nanti gue tunggu di sini deh, kita pulang bareng nanti. Kita juga kumpul bentar nanti kok. Udah tenang aja. Lo nggak usah risau.”
Gendhis menghela napasnya perlahan. “Oke, lo tungguin gue kalau mau pulang ya. Gue nggak mungkin pulang sendirian, Nan. Pokoknya nanti jangan pulang duluan ya. Tungguin gue dulu.” Kinanti tersenyum lau menganggukan kepalanya.
Gendhis menghembuskan napasnya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan mereka bertiga, kemungkinan ia sudah ditunggu oleh rekan satu kelompoknya. Sebenarnya ia tak begitu masalah dengan pergantian anggota kelompok seperti ini, hanya saja Gendhis tidak terima mendapatkan kelompok bersama Asep. Seperti yang diucapkan Abimanyu, Asep adalah mantan sekaligus cinta pertamanya. Bukan masalah ia belum bisa melupakan Asep, tapi selain masa lalu yang berada di dalam kelompok tersebut masih ada Keyra – pacar Asep yang sekarang – ini menjadi alasan kuat Gendhis menolak masuk kelompok Asep. Ia tak ingin satu kelompok dengan seorang pelakor dan juga seorang pengkhianat.
Bagaimana pun juga luka beberapa tahun silam tersebut masih membekas di hatinya sampai kini, membuatnya menjadi susah membuka hati kembali pada siapa pun. Keyra datang sebagai sahabat masa kecil Asep, pelakor dengan gaya. Benalu itu semakin lama semakin memperlihatkan aura sebenarya, aura ingin merebut Asep dari Gendhis. Karena sudah tidak kuat bertahan akhirnya Gendhis memilih melepas dan merelakan mereka berdua bersatu.
“Gue jadi penasaran deh, nanti nasibnya si Gendhis gimana ya? Itu padahal kelompok isinya Asep, Key, Gina, Joe, Jhon, sama Brigitha, semua itu circle Key loh. Gue yakin si Gendhis lagi merasakan simulasi di neraka deh. Sukses deh buat kelompokannya, Ndhis. Gue cuma bisa berdoa yang terbaik buat lo,” ucap Abimanyu, tatapannya masih terpaku pada punggung Gendhis yang sudah jauh dari tempat mereka.
Jatmika bersedekap, arah matanya pun mengikuti arah pandangan Abimanyu. “Kasihan loh dia. Satu kelompok sama masa lalu dan perusak hubungannya. Gue rasa dia pengen nangis dari tadi. Tapi kenapa harus si Gendhis yang pindah ke sana ya? Kebetulan yang sangat menyakitkan.”
“Tapi yang jelas dia kesiksa banget di kelompok itu, udah pengen pulang aja padahal baru sampai di sana. Kok pas gitu ya, satu kelompok sama Key terus ada Asep.” Kinanthi menggelengkan kepalanya perlahan, mereka bertiga kompak menatap punggung Gendhis yang sudah duduk di samping Joe.
“Eh udah lama ya kalian di sini?” Mereka bertiga kompak menoleh bersama ke sumber suara, lalu menggelengkan kepala bersamaan. Semua terpana dengan wajah bersinar yang tengah tersenyum manis ke arah mereka.
Reina namanya, mendapatkan julukan perempuan tercantik satu angkatan. Dan sekarang mereka menjadi satu kelompok tanpa mereka sadari, perempuan itu lalu duduk di samping Abimanyu. “Nggak papa kan aku duduk di sini, Manyu?”
Abimanyu hanya menganggukan kepalanya lalu berdehem pelan. “Nggak papa kok, Rei. By the way, yang lain mana? Nggak diajak bareng sekalian tadi ya?”
“Aku nggak tau siapa aja kelompok ini, yang aku tau cuma masuk kelompok kamu aja. Nggak nyangka banget deh bisa satu kelompok sama kamu, Nyu, mimpi apa yang semalam aku. Kalau aku nggak bisa tolong bimbing aku ya, Nyu. Soalnya aku masih susah banget memahami materi,” jawab Reina dengan tersenyum manis ke arah Abimanyu. Kedua sahabatnya – Kinan dan Mika – menatap Reina tak suka. Bau-bau penjilatan sudah tercium di hidung mereka. Kinan berdehem pelan sambil bersedekap.
“Oh iya, kenalin gue Kinanthi dan dia Jatmika. Lo bisa panggil gue Kinan dan dia Mika.” Kinan menatap datar Reina sambil menunjuk ke arah Jatmika yang juga memasang wajah datarnya, mereka sudah dapat menebak kemana alur jalan cerita ini. Reina tersenyum lalu menganggukan kepalanya perlahan, pandangannya tidak lepas pada wajah serius Abimanyu yang sedang membaca materi dipangkuannya.
“Bakal ada yang caper nih, Mik,” bisik Kinanthi. Jatmika hanya menolah sekilas lalu kembali berwajah datar tanpa menjawab apa pun yang diucapkan Kinanthi. Kedua sejoli yang baru saja dipasangkan tersebut terlihat mulai akrab, bahkan seperti sudah kenal beberapa puluh tahun lalu sebelum jaman purba. Cih, si Reina cari muka banget. Awas aja kalau sampai perhatian Manyu teralihkan ke lo semua ya, Rei, lo bakal berhadapan langsung sama gue. Nggak boleh ada yang deket sama Manyu selain gue.
“Kita satu kelompok sama siapa aja sih, Nan? Lo sekretaris kan di sini?” Abimanyu menoleh ke arah Kinanthi yang memasang wajah datar tersebut. Ia mengerutkan dahinya melihat perubahan raut wajah perempuan tersebut yang begitu signifikan, seperti ada hal aneh yang sedang terjadi padanya.
“Setau aku tadi di grub kelas itu ada kamu, Kinan, Mika, aku, Rama, Ghani, dan Fani. Kurang Rama, Ghani dan Fani aja kok. Kita ini kerja kelompoknya di sini? Nggak cari tempat lain? Cari yuk tempat lain yang sejuk gitu, Nyu, di sini panas banget loh.” Bibir Kinanthi yang sudah terbuka kembali menutup mendengar si Reina terlebih dahulu menjawab pertanyaan Abimanyu. Perempuan itu seenak jidatnya menyerobot ucapannya. Memang minta dikasih pelajaran. Jatmika melirik ke arah Kinan yang sudah menahan amarahnya sampai ubun-ubun kepala, ia mengelus puncak kepala perempuan tersebut perlahan.
Astaga, Mika, ngelus kepala gue demi apa pun! Ini sih kesempatan yang nggak bakal datang dua kali, dia tau aja kalau hati gue rasanya lagi kebakar gara-gara si Rei ini. Makasih ya, Mika, lo udah pengertian banget sama gue. Kinanthi menghela napasnya perlahan, emosinya meredam setelah kepalanya dielus oleh Jatmika. Sejauh ini ia masih bisa mengontrol emosinya yang hampir saja meledak.
“Nggak, Rei, kita di sini. Gue udah bilang sama anak-anak buat kumpul di sini, nggak enak kalau batalin perjajian. Menurut gue di sini itu udah paling sejuk di antara yang lain, Rei, lagian kita juga sambil mantau si Gendhis kok.” Abimanyu menjawab dengan senyuman lebar di bibirnya, sedangkan perempuan tersebut malah memajukan bibirnya layaknya anak kecil sedang merajuk minta dibelikan es krim.
“Tapi beneran, Nyu, di sini panas banget. Di kulit aku ini udah panas banget, bisa nggak kuat aku. Emangnya Kinan nggak ngerasain panas ya?” tanya Reina sambil menoleh ke arah Kinanthi. Perempuan tersebut mengerutkan dahinya sambil menujuk dirinya sendiri lalu dijawab anggukan kepala oleh Reina.
“Lo salah tanya kek gitu ke gue, Reina. Gue bukan anak yang suka lama-lama di bawah suhu dingin, habitat gue itu udah kelamaan di suhu panas. Jadi don’t worry. Gue kuat! Gue nggak takut hitam!” jawab Kinanthi lantang. Abimanyu tersenyum kecil melihat raut wajah Kinanthi yang sudah tidak enak dipandang, ia jelas mengerti perasaan sahabatnya tersebut. Keberadaan Reina di tengah-tengah mereka membuat mood Kinanthi menjadi anjlok.
“Kamu kuat ya, Nan, nggak kayak aku. Kulit aku sensitif banget sama panas matahari, jadi takut kadang kalau keluar ruangan pas siang hari kayak sekarang.” Kinanthi memutar matanya jengah, ia tak menyukai sama sekali dengan sifat Reina. Lama-lama dia bisa darah tinggi jika disatukan dengan Reina.
“TBL TBL TBL, TACKUT BANGET LOCH!” teriak Kinanthi. Kedua pipinya sudah memerah padam, emosinya sudah berada di ambang wajar. Sewaktu-waktu bisa saja meledak. Si pendiam itu jika sudah marah atau pun tidak suka dengan seseorang maka raut wajahnya tidak mungkin bisa berbohong sama sekali. Semua pandangan mata tertuju pada Kinan, tapi dia tidak peduli sama sekali. Sedangkan Abimanyu menggelengkan kepalanya perlahan melihat tingkah laku temannya. Abimanyu menghela napasnya lalu memilih berdiri dan pura-pura membuang sobekan kertas di tempat sampah yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Setelah berbalik, ia memilih duduk di samping Kinanthi. Tangannya pun merangkul bahu perempuan tersebut mesra.
“Jangan marah gitu dong, Nan, nggak enak dilihatin orang. Nanti gue traktir es krim deh,” bisik Abimanyu sambil menoel pipi Kinan perlahan. Reina menoleh sekilas lalu memalingkan wajahnya ke depan, ia merasa kalah saing sekarang dengan Kinan.
Siapa bilang gue kalah? Gue bakalan menang kalau masalah Abimanyu, Rei. Lo nggak bakalan bisa ambil hati dia dari gue, kalau gue nggak ridho sama lo jangan harap lo bisa ambil hati Manyu. Ridho gue adalah ridhonya Bunda Ifa juga, jangan main-main! Anda jangan harap menang dari saya, Reina. Kinan tersenyum miring sambil bersandar di bahu Abimanyu. Siapa pun yang melihat ini pasti akan mengira mereka memiliki hubungan lebih dari seorang sahabat. Bahkan Jatmika yang sudah hapal dengan mereka berdua hanya menggelengkan kepalanya perlahan.
“Pacaran terus aja, bos ku! Katanya mau kerja kelompok, malah uwuw di sini. Haduh. Kita mah ngontrak di bumi, beneran deh.” Ketiga laki-laki yang mereka tunggu akhirnya sampai juga. Mereka mengerutkan dahinya melihat Reina yang memasang wajah datar saat ketiganya datang, tidak seperti saat berjumpa dengan Abimanyu atau pun Jatmika.
“Lo ngapain di sini, Rei? Emangnya lo ya yang dipindah ke kelompok ini? Gue kira bukan,” celetuk Fani dengan membenarkan jambul khatulistiwanya. Jangan kira Fani cewek ya, Faniardi – namanya – jadi tak mungkin dia adalah perempuan bukan?
“Aku dipindah ke kelompoknya Abimanyu, mungkin jadi teman perempuannya si Kinan. Kasihan kalau dia sendiri yang perempuan di sini,” jawab Reina menggunakan nada sehalus dan selembut mungkin. Kinanthi nyengir dengan menatap punggung Reina tak suka. Rama, Ghani dan Fani dapat merasakan hawa peperangan akan terjadi di antara kedua kubu. Si ngeyel, Reina, pasti tidak mau kalah dengan kedekatan Abimanyu dan Kinan yang begitu intim sekali.
“Sok manis banget,” desis Kinan dengan memutar matanya malas. Abimanyu tersenyum lalu mengeratkan rangkulannya di bahu Kinan, ia gemas melihat sahabatnya yang tidak mau kehilangan perhatian darinya. Bahkan dengan Gendhis pun si Kinan juga tidak mau kalah, karena sudah klaim bahwa Abimanyu adalah abangnya dan hanya miliknya.
Rama duduk di bawah Abimanyu, Ghani di samping Rama sedangkan Fani memilih duduk di bawah Rama. Tangga yang menjadi tempat mereka nongkrong santai tersebut jarang sekali dilewati orang, jadi aman untuk dibuat tempat duduk seperti ini. Reina merasa diacuhkan, bahkan jarak duduknya dengan Ghani terlampau sangat jauh sekali. Jatmika juga memilih berdempet dengan Kinanthi dan menjauh dari atas Reina.
“Tempat yang lo pilih enak juga ya, Nyu. Adem banget hawanya. Jadi betah nih kalau semisal kita kelompokan di sini, ya sekali-kali di kafe. Tapi di sini udah bagus sih,” celetuk Rama sambil melihat pepohonan di sekitar mereka duduk. Ia sedikit tak menyangka jika di kampus mereka masih ada tempat sesejuk dan serindang ini.
“Halah, tadi aja ada yang protes katanya tempat ini panas kok, Ram. Takut hitam! Aw, TBL TBL TBL TACKUT BANGET LOCH!” jawab Kinan dengan suara lantang. Bahkan sampai Reina pun menoleh ke arah Kinan. Para laki-laki di sana memilih diam daripada salah, karena bagimana pun gerak mereka akan selalu salah di mata perempuan yang sedang labil seperti Kinan.
“Ini ada apa sih? Berasa baru keluar dari gua deh,” bisik Ghani pada Rama. Rama hanya mengerutkan dahinya sambil tersenyum kecil.
“Ini pasti si Rei lagi cari muka, lo tau sendiri kan si Rei itu nggak mau tersaingin oleh perempuan mana pun. Pasti dia lagi cari muka sama si Abi, tapi si Kinan kayaknya nggak suka gitu sama kelakuan Rei. Wajarlah, Kinan kan sahabat dan udah dianggap adik sendiri sama Abi. Kena mental tuh pasti si Rei,” jawab Rama dengan berbisik bahkan menggunakan nada biacara paling pelan sekali.
“Ya udah, langsung kita mulai aja ya. Buka materi yang baru aja di bahas sama Pak Kumis,” ucap Abimanyu menengahi. Mereka tidak mungkin cepat mulai jika terus bersitegang seperti sekarang.