“Eh besok katanya anak sefakultas ngajak piknik bareng ya? Nggak boleh ada yang nggak ikut. Kalian udah baca pengumuman kan?” tanya Rama duduk di sebelah Jatmika. Ia memilih ikut gabung dengan mereka berempat dari pada sendirian di lantai atas. Gendhis mengerutkan dahinya lalu membuka ponselnya untuk memastikan berita yang sedang dibawa Rama adalah benar nyatanya dan tidak ada unsur pembohongan publik. Ia menghembuskan napasnya perlahan setelah mengetahui kenyataannya, mereka semua wajib ikut tidak ada terkecuali.
“Padahal gue pengen rebahan seharian di rumah. Kenapa sih harus banget ikut? Kenapa juga harus satu fakultas? Sejurusan aja emang nggak bisa? Ish…, males banget! Gue nggak ikut alasan sakit gitu dicari nggak ya? Eh, tapi pasti suruh foto obat sama surat keterangan dokter. Ribet. Jadi malesnya double kalau kek gini.” Gendhis memberengut sambil memutar matanya malas. Dan yang lain memilih diam, semua sudah merancang hari libur dengan acara masing-masing. Tapi semua gagal karena acara dadakan tersebut. Ekspresi Kinan datar hampir sama dengan Gendhis, ia ingin rebahan dan menghabiskan waktu seharian di rumah.
“Gue kira besok tuh udah jadi hari bebas karena Pak Kumis ada jadwal dinas di luar kota, jadi kita besok bisa menikmati libur di rumah. Eh malah ada acara tak terduga seperti ini. Ini mereka seneng banget menyiksa orang lain, ibaratnya bahagia di atas penderitaan orang lain. Emang nggak bisa dibiarin nih orang modelan kek gini. Nggak pernah suka lihat orang lain tuh enak-enak rebahan di rumah.” Rama berdecak kesal sambil mengacak-acak rambutnya pelan. Ia tak suka dengan kegiatan yang tidak memiliki rencana terlebih dahulu seperti ini, apalagi dalam bentu pemaksaan.
Rama menghela napasnya lalu melanjutkan ucapannya yang sempat terjeda. “Siapa sih yang bikin acara? Kenapa nggak kordinasi dulu sama yang lain, main sah aja. Di pikir kita nggak capekk apa, butuh istirahat. Apalagi ini tuh kelas Pak Kumis yang pas hari biasanya nggak pernah ada libur sama sekali. Dan untuk pertama kalinya setelah berpuluh-puluh purnama akhirnya Pak Kumis ada agenda ke luar kota. Padahal dari dulu gue tuh udah ngarep banget di kelas Pak Kumis ada yang libur dan pas terkabul malah ada kegiatan kek gini. Masih nggak terima gue sama panitia, seenaknya banget bikin acara.”
Abimanyu terkekeh menengahi. “Udah, jangan pada kecewa gitu dong. Ini acaranya turun temurun dari nenek moyang kita dahulu, jadi jangan protes. Katanya sih acaranya tuh mau dilaksanakan hari senin minggu depan, pas tau besok pada libur jadi diganti besok. Biar pada ikutan semua gitu sih, katanya. Enjoy aja, ini cuma sekali selama kita kuliah kok. Nggak setiap semester ada. Semangat untuk besok teman-teman.”
“Eh kok lo tau sih, Nyu? Perasaan dari tadi lo di sini terus deh sama kita semua. Lo dapat berita dari mana deh? Jangan bilang lo punya grub ghibah satu fakultas ya? Berita yang lo punya sangat akurat sekali,” tanya Gendhis dengan menyipitkan matanya. Jarang sekali Abimanyu pisah dengan mereka bertiga, lalu dia dapat berita tersebut dari mana? Sangat mencurigakan sekali bukan? Apa mungkin Abimanyu adalah salah satu anggota panitia di sana?”
Abimanyu menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil cengar-cengir tidak jelas. “Jadi…, gue itu ketuanya. Bukan ketua asli sih. Gue itu ketua dua doang alias wakil juga bisa. Pernah ikut kumpul cuma sekali doang. Jadi gue besok bakal ngarahin kalian semua. Ahay!”
Semua pandangan mata tertuju pada Abimanyu, bahkan Rama dan Gendhis memelototkan matanya bersamaan. Mereka tidak percaya jika ketua yang tengah dibicarakan sedang berada di sampingnya. “Kenapa lo nggak bilang sama kita kalau bakal ada acara, Nyu? Wah…, ternyata lo sekarang nggak setia kawan ya ke kita semua. Mulai main rahasia sekarang ya.”
“Gue juga baru tau kemarin sore. Gue juga dimasukkan sebagai panitia inti tanpa ada persetujuan gue dulu, jadi semua serba mendadak gitu. Mereka juga buat panitia ini secara mendadak katanya. Nggak cuma kalian yang kaget, semua panita yang dipilih acak juga kaget bukan main. Reihan yang jadi ketua utama, dia yang paling tau tentang semua kegiatan besok sih. Lainnya cuma panitia culikan doang.” Abimanyu mencoba menjelaskan sedetail mungkin agar mereka semua tidak salah paham dengannya. Lagipula jika disuruh memilih, ia lebih pilih tidak jadi panitia. Karena hanya merepotkan saja.
Rama menghela napasnya kembali. “Emang si Reihan itu kembaran banget sama si Reina, sama-sama pembuat onar. Gue nggak tau lagi sama si awalan Rei itu, sama-sama nyebelin pakek kuadrat. Mentang-mentang nama sama aja, sifat juga sama. Beh udah klop lah mereka berdua tuh.”
“Julid banget kan lo, Ram. Tapi emang nyebelin sih mereka berdua, tanpa minta pendapat orang lain juga udah kelihatan banget wajah mereka tuh wajah nyebelin. Nggak ada tampang positif sama sekali dari wajah mereka berdua. Pas awal kita jadi mahasiswa baru tuh, gue kira si Reina sama si Reihan itu saudara kembar. Wajah mereka tuh sekilas mirip banget loh. Berasa anak kembar kalau lihat mereka, ya nggak sih?” imbuh Gendhis dengan membayangkan wajah Reina dan Reihan di kepalanya. Hanya Jatmika dan Kinan yang tidak larut dalam pembicaraan tersebut, mereka hanya menjadi tim nyimak. Tak mau ikut campur dan tak ingin terlibat dalam bentuk apa pun. Wajah datar keduanya menjadi gambaran betapa sangat tidak tertariknya mereka dengan obrolan tersebut.
“Eh besok itu ngapain aja sih, Nyu? Lo sebagai panitia pasti tau jalannya acara tuh gimana aja kan? Spill dong kali ini aja, Nyu. Lo tetap jadi best friend kita kalau lo spill tuh jadwal, Nyu. Nggak mau tau pokoknya lo harus kasih tau kita semua,” tanya Rama dengan menatap wajah Abimanyu serius. Laki-laki tersebut menghela napasnya pelan lalu menatap semua wajah temannya dengan pasrah.
“Sebenarnya gue nggak tau jadwal buat besok, di grub panitia aja nggak di share berita apa pun tentang besok. Paling ya makan-makan bersama doang sih sama bakti sosial, udah itu aja. Paling loh ya tapi. Pokoknya kalian tuh besok diajak senang-senang aja, nggak mikir tugas atau apa pun yang berhubungan dengan dunia perkuliahan. Besok waktunya kita healing,” jawab Abimanyu dengan tersenyum kecil. Ia ingin memastikan teman-temannya selalu mengikuti apa pun kegiatan dari kampus agar tidak terlalu berdampak pada nilai mereka.
“Awas aja kalau sampai besok nggak sesuai ekspetasi gue ya, Nyu. Lo adalah orang pertama yang bakalan gue cari, sampai lubang semut ya tetep gue cari. Lihat aja besok gimana,” ancam Rama dengan menatap Abimanyu tajam. Ia tidak percaya seratus persen dengan ucapan laki-laki tersebut, karena bisa saja hanya sebuah kamuflase agar mereka semua ikut kegiatan tanpa ada rasa takut yang ditimbulkan sebelum berangkat.
“Gue nggak mungkin bohong kok sama kalian semua,” jawab Abimanyu dengan tersenyum. Ia menghela napas lalu membuka ponselnya untuk mengetahui berita selanjutnya. Dan ternyata berita tersebut adalah semua panitia harus kumpul di lantai tiga sekarang. Dengan hati setengah dongkol Abimanyu menggendong tasnya kemudia berlalu meninggalkan mereka berempat. “Gue kumpul dulu.”
###
“Jadi ini kelompoknya acak? Mampus, gue ikut kelompok siapa coba. Pasti nih gue nggak satu kelompok sama Kinan atau pun Mika, udah gue tebak kalau ini sih.” Gendhis ikut masuk ke dalam kerumunan yang sedang melihat papan pengumuman. Mereka tengah mencari nama masing-masing masuk di kelompok berapa. Seperti dugaannya dari awal, Gendhis tidak satu grub dengan Kinan atau pun Mika. Memang nasibnya tidak pernah bagus, selalu saja apes.
“Lo kelompok berapa, Ndhis? Gue harap kita satu kelompok,” tanya Kinan dengan wajah berbinar. Gendhis menggelengkan kepalanya sambil memberikan kartunya ke arah Kinanti. Ia berada di kelompok tiga sedangkan Kinanti berada di kelompok dua. Meski sebelahan tapi tetap saja mereka tidak bisa satu kelompok.
“Nih si Manyu emang nggak usul buat kita jadi satu kelompok apa ya? Padahal gue males banget harus sama orang-orang dari jurusan lain. Si Mika kelompok berapa, Ndhis?” Gendhis menggelengkan kepalanya sebagai jawaban tidak tau. Mereka sepertinya bakal terpencar dan tidak ada yang satu kelompok.
Gendhis melihat Mika dengan membawa kertas lalu melambaikan tangannya memberi isyarat agar ke sana. “Tuh si Mika. Wajahnya nggak memperlihatkan suasana hatinya banget ya. Emang tuh anak nggak bisa senyum semenit aja, biar auranya tuh keluar gitu.”
“Lo nomor berapa, Mik?” tanya Kinan setelah Jatmika mendarat dengan selamat di samping Gendhis. Ia hanya menyodorkan kertas miliknya tanpa mau membuka suara sama sekali. Kedua perempuan tersebut menganggukkan kepalanya bersamaan. “Nggak satu kelompok deh kita. Takdir emang selalu berkata lain sih.”
“Dari dulu perasaan kalau ada acara kek gini, kita tuh nggak pernah satu kelompok nggak sih? Sekarang gue tiga, Kinan dua dan lo di empat. Nomor kelompok urutan sih, tapi bisa nggak sih kalau kita itu dijadikan satu kelompok aja biar enak komunikasinya.” Gendhis menatap Kinan dan Jatmika pasrah, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah. Karena percuma juga dia demo tidak terima dengan pembagian kelompok tersebut, tapi tetap saja suara mereka tidak pernah didengarkan.
“MOHON PERHATIAN SEMUANYA. KITA BARIS SESUAI KELOMPOK MASING-MASING YA. TIDAK BOLEH ADA YANG PROTES KENAPA SAYA TIDAK SATU KELOMPOK DENGAN DIA, KARENA INI SIFATNYA MURNI TANPA MELIHAT CIRCLE PERTEMANAN KALIAN SEMUA. SAYA HARAP SEMUA KAKAK-KAKAK DI SINI PAHAM DENGAN APA YANG SAYA UCAPKAN. TERIMAKASIH!” Kinan dan Gendhis berpelukan sebelum akhirnya mereka sama-sama pergi ke kelompok masing-masing. Sedangkan si wajah kulkas langsung ikut baris di belakang sendiri agar tidak menjadi pusat perhatian banyak orang. Karena dirinya pasti akan menjadi tontonan banyak orang.
Kinanti baris di depan sendiri, ia tak mau berbaur dengan yang lain di belakang. Ia memilih diam di depan sambil mengamati pergerakan panitia yang mulai gasrak-gusruk kesana kemari. Udara mulai terasa panas, matahari pun terasa sudah berada di atas kepala pas padahal belum jam dua belas tepat masih kurang dua jam lagi.
“Loh Kinan, kita satu kelompok ya? Asik,” ucap Reina yang tiba-tiba menepuk bahunya. Ia tersenyum terpaksa lalu menganggukan kepala perlahan. Reina berdiri tepat di belakang Kinanti. Gue semalam mimpi apaan sih? Kok bisa satu kelompok sama si Reina? Gue padahal ogah banget berurusan dengan manusia ini. Emang nggak ada ya orang lain buat jadi satu kelompok sama gue, kudu banget si Reina. Dimana-mana ada terus perasaan gue.
Gendhis yang berada di barisan sebelah Kinanti merasa iba pada sahabatnya tersebut, tapi dia juga tak kalah miris dari Kinanti. Ia berada satu kelompok dengan Keyra, perempuan yang selalu ia hindari dalam hal apa pun. Tapi entah dari mana asalnya, ia bisa satu kelompok dengan perempuan itu kembali. Ini kenapa sih gue harus satu kelompok sama si nenek lampir? Lebih baik gue ikut kelompoknya Asep aja, nggak papa anggotanya cowok semua. Gue lebih dihargai di sana dari pada satu kelompok sama si nenek lampir ini. Menyebalkan banget sih.
“Ya ampun panas banget sih di sini,” keluh Keyra yang berdiri di depan Gendhis. Perempuan itu rempong sampai membawa kipas genggam untuk mengurangi panas yang menyerang tubuhnya. Gendhis tersenyum miring dengan bersedekap di belakang Keyra. Lebay banget lo, Key, emang lo tuh sebelas dua belas sama si Rei. Adik kakak lo berdua keknya. Satunya ribet bin rempong banget, satunya lagi cari muka parah. Sukses deh buat kalian berdua ya.
“Kalau pengen dingin sono masuk kulkas, Key. Semua di sini juga ngerasain panas kali, nggak cuma lo doang.” Abimanyu berdiri di depan barisan mereka sambil menatap wajah Keyra datar. Ia akan mendampingi kelompok satu sampai empat, jadi itu masalahnya ia memasukan ketiga sahabatnya di rentang kelompok satu sampai empat agar bisa tetap bersama.
“Jadi di sini gue yang bakal mendampingi kalian semua dari kelompok satu sampai empat. Nggak cuma gue, tapi sama Syifa. Kalau ada apa-apa langsung ngomong sama kita berdua. Jangan ada yang ngeluh. Semua di sini sama,” ucap Abimanyu dengan suara lantang. Ia menatap semuanya sambil mengangkat alisnya sebelah.
Untung aja Manyu yang jadi pendamping, enak dikit. Emang strategi dia nggak ada yang pernah gaga. Pinter juga ya lo, Nyu. Batin Gendhis dengan tersenyum kecil.
“Di sini kita semua teman, nggak pakai bahasa formal juga nggak papa kalau ke gue. Kalau ke panitia yang lain tetap harus formal ya. Ini hanya berlaku ke gue dan Syifa aja.” Abimanyu tersenyum sambil membenarkan posisi topinya yang sedikit melenceng dari jalurnya.
“Manyu tuh kalau dilihat cakep juga ya, mana hidungnya mancung banget gitu. Senyumnya juga nggak kalah manis,” bisik teman satu kelompok Kinanti yang berjejeran dengan Gendhis. Gendhis hanya tersenyum miring sambil mengamati Abimanyu yang tengah berbicara dengan Syifa.
Reina yang mendengar itu langsung menoleh sambil tersenyum kecil. “Iya, Manyu emang ganteng banget. Nggak kalah beda kok sama anak yang lain.”
“JANGAN BERISIK!” ucap Kinanti dengan wajah datarnya. Ia tak suka jika ada orang lain membicarakan Abimanyu secara terang-terangan seperti sekarang. Abimanyu menoleh, menatap teduh Kinanti yang tengah terbakar api di tengah teriknya matahari.
“Acara akan segera mulai, tolong kalian semua jangan ada yang berbicara dulu ya. Nanti aja kalau udah selesai acara pembukaan,” tambah Syifa dengan tersenyum.