Dipermainkan

1743 Kata
Selamat membaca! Aku berbalik dan pergi meninggalkan Arga yang hanya menatap heran tanpa berkata apa pun. Dapat aku pastikan jika pukulan tadi terasa sakit di wajahnya. Tanganku memang kecil, tapi aku memukulnya dengan seluruh tenaga. Membuat tanganku ini sempat mati rasa beberapa saat. Baru beberapa langkah menuju mobil, Tuan Firdaus sudah tepat berjalan di sampingku. Tawanya yang renyah terdengar melayang di atas kepalaku. "Jadi Arga benar-benar berani menghinamu? Padahal bukannya tadi dia sempat menunjukkan perhatian kecilnya dengan mengupas cangkang kepiting untukmu?" Mendengar perkataannya, mood-ku yang rusak malah semakin buruk. Dia benar-benar aneh, tidak bisa memposisikan diri di saat seseorang sedang merasa begitu kesal. "Kenapa Anda malah menertawakan saya? Memangnya ada yang lucu? Lagi pula saya rasa tidak salah jika saya memukulnya." Aku menjawab dengan tenang dan penuh percaya diri. Sampai akhirnya, Tuan Firdaus pun berhenti tertawa dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Menurutku sebenarnya dia tahu tentang hubunganku dengan Arga, tapi sepertinya dia sama sekali tidak ingin mengakuinya. Langkahku yang cepat telah tiba di samping mobil. Aku segera masuk dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya. Ya, walaupun kejadian tadi pastinya masih akan teringang terus dalam pikiranku. "Setidaknya sekarang aku sudah jauh dari Arga. Dia benar-benar tega telah melakukan semua ini padaku," gumamku masih tak bisa sepenuhnya menghilangkan sendu di wajahku. Di saat aku berpikir jika akan kembali ke Wijaya Grup, tiba-tiba Tuan Firdaus malah memerintahkan supir pribadinya pergi ke tempat lain sesaat setelah dirinya masuk ke mobil. "Kita ke Plaza Indonesia!" Plaza Indonesia adalah pusat perbelanjaan elite orang-orang kelas atas dan itu adalah tempat aku bertemu dengan Nona Keisha untuk pertama kalinya. "Kira-kira apa yang akan dia lakukan dengan mengajakku ke mal itu?" batinku yang sulit menebak jalan pikirannya. Bagiku dia memang sungguh aneh, bahkan bisa dikatakan pria paling aneh yang pernah aku kenal sepanjang hidupku. Setelah mendapat perintah, sang supir pun langsung mengendarai mobil ke Plaza Indonesia. Jaraknya cukup dekat dari restoran yang kami datangi tadi. Jaraknya hanya beberapa meter untuk bisa tiba di sana. Setelah menghentikan mobil tepat di pelataran lobi. Supir pun keluar dan membukakan pintu mobil untuk Tuan Firdaus. "Silahkan, Tuan." Melihatnya keluar, aku masih nyaman diam tanpa beranjak sedikit pun. Saat ini, rasa kantuk membebani kedua kelopak mataku untuk terbuka. Rasanya aku ingin menunggu saja dengan tidur di dalam mobil. Namun, saat baru menyandarkan kepala pada sandaran kursi jok, tiba-tiba dia membuka pintu dengan kasar dan menarik tanganku keluar dari mobil. "Kenapa, Tuan?" tanyaku terkejut dan masih linglung. Pertanyaanku tak dijawabnya. Dia hanya melepaskan pergelangan tanganku dan langsung berjalan ke depan lebih dulu. "Kenapa aku harus ikut masuk ke mal ini? Padahal sekarang aku benar-benar ngantuk." Aku pun hanya bisa menggerutu. Tak ada kesempatan untuk menolak. Tanpa berlama-lama, aku mulai menyusul Tuan Firdaus yang sudah beberapa langkah di depanku. Mataku terus memindai sekitar. Melihat ke mana arah tujuan pria ini membawaku. Sampai akhirnya, langkahnya mulai memasuki sebuah outlet pakaian yang pernah aku datangi kemarin. Dia tampak mempertegas pandangannya. Melihat gaun yang menghadap ke jendela, lalu mulai memanggil salah satu karyawan yang berada di belakangnya. "Ambilkan gaun itu dan berikan padanya!" katanya begitu singkat dengan ekspresi dingin. Pegawai itu pun langsung mengambil gaun yang diinginkan oleh Tuan Firdaus, padahal kemarin dia baru saja ke sini dan membelikan gaun yang sama untuk Nona Keisha. Karyawan itu membawakan gaun yang hanya tersisa satu di hadapanku dan kebetulan ukurannya sangat sesuai di tubuhku. "Apakah kamu berniat membeli gaun ini untukku?" tanyaku pada Tuan Firdaus dengan sorot mata yang berbinar bahagia. "Bukankah kartu ATM milikku masih ada padamu?" Dia malah melemparkan balik pertanyaanku. Aku yang sempat melupakan ATM miliknya pun kini segera mengembalikannya pada Tuan Firdaus. "Maaf Tuan, saya benar-benar lupa tadi. Oh ya, saya baru saja setengah hari bekerja di perusahaanmu dan saya tidak mau kamu membayar gajiku dengan gaun ini." "Aku membelikannya untukmu dengan uang pribadiku, bukan memotong dari gajimu." Lalu Tuan Firdaus meletakkan lagi kartunya di telapak tanganku. "Jangan berpakaian lusuh malam ini." Aku tahu aku miskin dan sejujurnya aku juga sangat menginginkan gaun ini sejak kemarin melihatnya. Meskipun Nona Keisha juga memiliki gaun yang sama, sepertinya itu tidak masalah. Di kota ini pastinya hanya ada dua gaun dengan model sama. Tak berapa lama kemudian, pegawai yang sudah membawakan gaun itu pun kembali dan memberikannya dengan hormat. "Nona, mari saya antar ke ruang ganti dan Nona bisa langsung mencobanya." Aku pun segera menganggukkan kepala dan ikut dengannya menuju ruang ganti. Setelah mengenakan gaun indah tersebut, aku berdiri di depan sebuah cermin besar yang terdapat di depan ruang ganti. Melihat penampilanku yang tampak begitu cantik memesona seperti seorang princess. "Ya Tuhan, ternyata aku memang lebih cantik saat mengenakan gaun ini daripada Nona Keisha," gumamku masih jelas mengingat penampilan wanita itu dengan gaun yang aku kenakan ini. Untungnya aku baru hamil beberapa Minggu. Jadi perutku masih tampak rata dan belum membuncit. Lalu aku mulai merapikan rambut pendekku hingga senyum puas mulai mengembang di wajahku. Ada kesombongan yang tersirat di mataku. Memuji betapa cantik diriku dengan gaun mahal yang benar-benar membuatku tampak sempurna. Di saat aku masih berlenggok melihat cermin, sosok Tuan Firdaus tiba-tiba muncul di dalam cermin. Dia berdiri di belakangku, wajahnya berada tepat di atas kepalaku. "Tidak buruk, apakah kamu punya anting?" "Begitukah caranya memujiku yang tampak sempurna ini? Ah, dia pasti gengsi untuk mengatakan bahwa aku sangat cantik dengan gaun ini!" batinku dalam hati, lengkungan senyum tipis pun terulas singkat dari kedua sudut bibirku. Saat aku hendak mengatakan aku memilikinya, dia kembali berkata sesuatu. "Lupakan saja, beli sekarang, anting punyamu pasti murahan." "Hah, haruskah aku marah padanya, Tuhan? Seenaknya dia mengatakan antingku murahan," gumamku dengan perasaan kesal sesaat. "Sudah ayo, segera bungkus gaun ini dan ganti pakaianmu kembali!" Tuan Firdaus pergi. Meninggalkanku dengan segala pikiranku yang rumit. Menghadapinya benar-benar harus extra sabar. Namun, bukankah seharusnya aku berterima kasih karena dia akan membelikanku sepasang anting, walau sebenarnya aku tidak menginginkannya. Siang itu aku tak hanya dibelikan gaun dan sepasang anting berlian yang indah, tapi dia juga membelikan aku sepatu hak baru karena tahu aku hanya punya satu dan terakhir dia juga membelikan aku tas branded yang harganya mencapai 1 miliar. Setelah semua yang dia lakukan, aku masih belum mengucapkan terima kasih padanya. Aku lebih tertarik mendengar saat dia memaksaku untuk menerima semua pemberiannya. Entah kenapa, tapi itu seperti membuat harga diriku lebih tinggi dari wanita lain yang sering bersamanya. Sampai akhirnya, Tuan Firdaus menatapku dengan tatapan aneh. "Kamu benar-benar berbeda dari wanita-wanita yang pernah saya temui. Mereka selalu tahu caranya mengucapkan terima kasih ketika menerima hadiah dariku. Sementara kamu tidak mengatakan itu. Benar-benar tidak sopan!" Langkah kami terhenti sejenak. Aku mulai menatapnya tepat di hadapanku. "Jadi kamu ingin mendengar hal yang sama terucap dari mulut saya? Baiklah. Tuan Firdaus terima kasih banyak atas kebaikanmu hari ini, terima kasih sudah membelikan saya banyak barang yang sebelumnya tidak pernah saya miliki. Kamu benar-benar pria yang sangat baik dan royal.” Aku mengatakannya dengan penuh kelembutan karena aku tidak ingin memberinya kata terima kasih dengan pedas. Namun, lagi dan lagi dia mengacuhkanku saat aku sedang berbicara dengannya. Sungguh menyebalkan berhadapan dengan pria seperti dia. "Tadi katanya dia ingin aku terima kasih, tapi saat aku mengatakan itu, dia malah cuek dan pergi begitu saja. Dasar aneh!" gerutuku hanya menatap langkahnya yang semakin menjauh dariku. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celananya, dia benar-benar terlihat tampan dengan gaya jalannya seperti itu. Bahkan walau hanya dilihat dari belakang. "Nak, kamu benar-benar beruntung memiliki ayah seperti dia," gumamku sambil mengusap perut dengan tanganku. *** Hari mulai beranjak semakin sore. Tuan Firdaus akhirnya memberikanku izin untuk pulang dan bersiap-siap sebelum dia kembali akan menjemputku malam nanti. Namun, bukannya melakukan hal itu, sesampainya di rumah aku malah ketiduran. Beruntungnya, satu jam kemudian aku terbangun karena bunyi suara ponsel yang berdering. Sejak terbangun, aku langsung mandi, lalu mulai merias wajahku. Tak butuh waktu lama, aku sudah menyelesaikannya dan mengenakan gaun yang dibelikan Tuan Firdaus tadi siang. Sebelum akhirnya, dia datang menjemputku dan kami pun langsung pergi menuju lokasi makan malam. Setibanya di sebuah hotel mewah yang memiliki restoran bintang 5 terbaik di Jakarta, aku melangkah di samping Tuan Firdaus. Malam ini aku akan menjadi kekasihnya dan kami tampak serasi saat ini karena dia mengenakan setelan krem ​​muda yang cocok dengan gaunku. Tuan Firdaus memberi isyarat agar aku memeluk lengannya, tapi aku malah meraih jemarinya untuk digenggam erat-erat. Ada banyak pejabat di restoran ini yang aku temui. Jika dulu aku selalu menggali berita saat bertemu dengan mereka, tapi malam ini aku datang ke sini hanya untuk menikmati makan malam seperti siang tadi. Hanya makan dan makan yang memenuhi isi pikiranku saat ini, lalu tidak ada lagi yang penting setelah perut kenyang. Begitu memasuki ballroom yang super mewah, Tuan Firdaus langsung berbaur dan dikelilingi oleh sekelompok orang yang menurutku rekan bisnisnya. Sementara aku, kini sudah sibuk memindai meja-meja yang menyajikan banyak makanan lezat di atasnya. Di sana menunya tampak lengkap, aku bisa melihat jelas beberapa menu kesukaanku, seperti makanan laut. Di saat aku melepaskan genggamanku dari tangan Tuan Firdaus, aku pun melangkah menuju meja prasmanan untuk mencicipi udang yang sungguh menggoda. Namun, saat aku sedang mengambil beberapa ekor udang dan diletakkan di atas piring, seketika suara keras datang dari belakangku. "Dasar pelakor!" Suara yang sangat familiar di telingaku, membuatku langsung berbalik dan melihat ternyata sosok Nona Keisha sedang berdiri tepat di depanku saat ini. Aku semakin tercengang ketika melihat apa yang dia kenakan. "Ya Tuhan, ini tidak mungkin. Bagaimana bisa semua terlihat sama?" batinku masih tak dapat berpikir dengan logika. Aku masih melihatnya dengan gaun yang sama persis denganku, anting yang tersemat di telinganya pun tidak ada bedanya dengan aku kenakan. Bahkan sepatu hak dan juga tas miliknya sama seperti milikku. Di saat aku masih mencerna semua hal yang aku lihat, wanita itu sudah mendaratkan sebuah tamparan. Aku tidak sempat untuk menghindar hingga tamparan itu pun tepat mengenai wajahku dengan keras. Kuku kelingkingnya yang sangat panjang dan tajam itu menggores permukaan kulit wajahku yang seketika membuatku merasa perih dan kesakitan. Namun saat dia ingin menamparku untuk kedua kalinya, aku segera mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat. Wajahku memang sangat sakit, tapi aku tidak sempat mempedulikannya sekarang. "Nona Keisha, apa yang kamu lakukan?" Aku bertanya padanya sambil menahan rasa sakit itu. "Dasar w************n tidak tahu malu!" Nona Keisha berteriak seperti orang gila. "Bahkan di acara makan malam hari ini kamu diundang oleh Firdaus. Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di sini mengenakan pakaian yang sama persis denganku?" "Apa yang terjadi? Jangan-jangan dia sengaja mengundangnya juga untuk datang?" batinku dengan segera berbalik. Melihat seisi ruangan untuk mencari Tuan Firdaus. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN