Rencana Berantakan

1524 Kata
Selamat membaca! Setibanya di dalam mal, outlet pertama yang aku tuju adalah tempat Tuan Firdaus membelikan gaun untukku. Karyawan yang berjaga di sana masih sama seperti kemarin. Melihat kedatanganku, dia tampak antusias dan segera menghampiriku. "Selamat datang kembali di toko kami, Nona. Kebetulan sekali Nona datang, kami baru saja kedatangan model gaun keluaran terbaru hari ini. Apa Anda tertarik untuk mencobanya? Sebentar saya ambilkan ya." Baru beberapa langkah karyawan itu pergi, aku langsung menghentikannya karena kedatanganku bukan untuk berbelanja. "Tidak perlu." Aku pun mulai mengeluarkan gaun dari dalam paper bag. Dia menatapku dengan heran. "Apa ini maksudnya, Nona?" tanyanya yang tidak mengerti mengapa aku membawa gaun itu kembali. "Saya ingin meminta uangku kembali!" jawabku dengan santai. Karyawan itu sangat terkejut. Dia seperti merasa ada yang salah dengan pendengarnya. Makanya, dia kembali bertanya untuk memastikan lagi. "Apa yang Nona katakan?" Tanpa basa-basi aku segera mengeluarkan sertifikat pembelian dari dalam paper bag dan menunjukkan itu padanya. Di sana tertulis dengan jelas bahwa barang yang tidak rusak atau kotor dapat dikembalikan dalam waktu seminggu. Karyawan itu menatapku dengan ekspresi kesal, lalu dia mengambil gaun tersebut dari tanganku dan mulai memeriksanya dengan teliti. "Silakan periksa dulu! Ya, walau saya sudah memeriksa sebelumnya dan saya dapat pastikan jika kau tidak akan bisa menemukan kekurangan apa pun pada gaun itu. Ini saya kembalikan juga sertifikat dan faktur pembelian kemarin." Beberapa karyawan toko memperhatikanku dalam waktu yang cukup lama dan aku hanya menatap mereka semua dengan dingin. "Karena Anda sudah memakai gaun ini, maka dana yang dikembalikan akan dipotong!" ucap salah seorang karyawan dengan ketus memberitahuku. "Kalau sampai dipotong, berarti aku tidak akan bisa mendapatkan uang 45 juta dari gaun itu. Tidak bisa, aku harus mendapatkan semuanya. Biaya menggugurkan kandunganku itu kan sangat mahal," gumamku sejenak berpikir. "Saya hanya memakainya saat mencoba gaun itu waktu di sini. Saya tidak mau dikurang-kurangi atau saya akan membuat postingan di sosial media kalau Anda mencoba berlaku curang pada saya. Apa Anda mau citra outlet Anda ini jadi jelek?" tukasku dengan penuh penekanan. Karyawan itu pun terdiam. Dia terlihat pasrah sambil menghela napasnya. Walaupun tampak malas. Namun, karyawan itu tetap memulai prosedur pengembalian dan langsung memintaku untuk pergi ke bagian kasir, tempat di mana aku membayar gaun ini kemarin. "Baiklah, Nona. Sekarang sebutkan nomor kartu Anda!" Kedua alisku saling bertaut, coba mencerna pertanyaannya dengan sinyal buruk yang mulai menyala di pikiranku. "Nomor kartu apa?" "Nomor kartu bank yang Anda gunakan untuk membayar gaun ini kemarin!" jawabnya dengan ekspresi datar. "Tidak ada, berikan saja aku uang cash." "Itu tidak bisa, Nona. Gaun ini Anda beli dengan transaksi melalui debit. Jadi pengembaliannya pun harus ke nomor rekening yang sama. Itu sudah prosedur kami di sini. Kecuali, kemarin Anda melakukan p********n secara cash, maka sekarang kami bisa mengembalikan uang dari pembelian gaun ini secara cash juga." "Apa? Jadi pengembalian hanya bisa dilakukan jika aku memberikan nomor kartu milik Tuan Firdaus? Berarti aku tidak bisa mendapatkan uang itu langsung selain meminta padanya! Ya Tuhan!" Aku benar-benar kesal saat ini. Seketika semua rencanaku sirna. Tadinya aku begitu semangat menyambut pagi dengan segala rencana yang sudah aku susun semalaman. Namun, penjelasan dari karyawan ini benar-benar menghancurkan semuanya. "Itu berarti perhiasan, tas, dan sepatu hak yang aku beli kemarin jika dikembalikan, maka uangnya akan masuk ke rekening Tuan Firdaus? Oh Tuhan, kenapa jalannya harus sesulit ini hanya untuk mendapatkan uang?" Kini aku terlalu sibuk dengan pergolakan batinku sendiri. Aku pun duduk di sofa. Mencoba berpikir dengan hati-hati apa yang harus dilakukan. Sementara itu, para karyawan kini tengah membicarakanku dengan suara yang cukup keras hingga terdengar jelas sampai ke telingaku. "Kemarin dia mendapatkan gaun ini karena dibelikan oleh seseorang dan hari ini dia malah mengembalikannya? Apakah begitu cara orang miskin seperti dia mencari uang?" "Ya, sepertinya sih begitu. Atau mungkin saja, dia merasa tidak pantas memakai gaun mahal bermerek ini!" Percakapan mereka membuatku geram. Entah apa mereka bodoh atau malah sengaja agar aku mendengarkan apa yang mereka bicarakan tentangku. Namun, itu sudah berhasil membuatku sedikit kesal saat ini. "Aku benar-benar tidak mengerti. Mereka semua hanyalah karyawan biasa di outlet terkenal ini. Bahkan kehidupan mereka belum tentu jauh lebih baik daripada kehidupanku saat ini, tapi bagaimana mereka bisa memandang rendah orang lain seperti itu ya?" batinku mulai kembali berdiri dan berjalan ke arah mereka yang langsung mundur beberapa langkah dengan raut bingung. Aku tidak berniat untuk menegur mereka karena telah membicarakanku. Bagiku yang jauh lebih penting adalah menyelesaikan semua masalah ini, maka itu aku ingin bernegosiasi dengan mereka. "Saya punya penawaran untuk kalian. Harga gaun itu kan 45 juta. Jadi kalian cukup mengembalikan 35 juta padaku dengan uang cash dan sisanya anggap sebagai tip untuk kalian." "Tidak bisa! Jangan coba-coba melakukan negosiasi yang menyalahi prosedur karena kami bisa dipecat oleh atasan!" Salah satu karyawan menolak dengan tegas. Aku memang sudah menduga jika mereka pasti akan menolak untuk menyalahi peraturan yang dibuat oleh perusahaan. Akhirnya aku pun pasrah. Pikirku ini adalah jalan yang terbaik. Setidaknya aku masih punya cara lain untuk mendapatkan uang itu dengan meminta langsung pada Tuan Firdaus. Bukankah jika barang pemberian itu sepenuhnya adalah milikku. Berarti uang pengembaliannya pun akan menjadi hak yang harus aku dapatkan. "Kalau begitu kembalikan saja uangnya ke kartu bank!" "Apa Anda yakin?" tanya mereka menatapku. Memastikan kembali apa yang aku katakan. "Sangat yakin." Mendengar jawabanku, mereka segera memproses pengembalian uang yang aku inginkan. Setelah menyelesaikan urusan di outlet tempat aku membeli gaun, aku pun segera beralih ke outlet berikutnya dengan mengembalikan tas, sepatu, dan perhiasan secara berurutan. Semua uangnya dikembalikan ke kartu bank Tuan Firdaus. Hal yang membuat hari-hariku terasa semakin berat saat ini. Selesai menghitung seluruh nominal uang dari hasil pengembalian barang-barang itu, rencanaku selanjutnya adalah menemui Tuan Firdaus untuk meminta uang tersebut. Namun, tentu saja aku tidak bisa pergi ke kantornya karena pasti penjaga keamanan tidak akan membiarkan aku masuk setelah mendengar dari Tuan Firdaus jika aku sudah tak lagi bekerja di perusahaannya. Aku tidak sebodoh Nona Keisha, berdebat dengan penjaga keamanan yang pada akhirnya hanya akan membuat Tuan Firdaus semakin membencinya. Di saat aku masih berpikir keras untuk menemuinya, tiba-tiba aku teringat dengan jadwal Tuan Firdaus hari ini setelah mempelajarinya kemarin di kantor dan aku tahu, dia punya janji siang ini dengan seorang klien di sebuah restoran. Aku pun pergi ke restoran itu. Setibanya di sana tidak ada yang bisa aku minum, kecuali air putih yang pagi tadi aku bawa dari rumah karena aku benar-benar tidak punya uang sama sekali. Aku hanya bisa duduk sambil menunggu Tuan Firdaus menyelesaikan urusannya dengan seorang wanita yang pasti itu adalah kliennya. Tapi lama kelamaan, perutku terasa sangat lapar. "Andai aku punya uang, aku pasti sudah pesan makanan dan minuman dari tadi. Mana tidak enak menunggu di sini dilihatin pelayan terus. Mungkin mereka menungguku memanggilnya untuk memesan sesuatu," batinku sambil mengusap perut yang mulai keroncongan. Aku berusaha mengalihkan rasa laparku dengan melihat wanita cantik yang duduk di hadapan Tuan Firdaus. Aku seakan dapat menebak dari tatapan wanita itu saat melihat pria yang ada di depannya, tatapan yang menunjukkan rasa suka. Tidak heran Tuan Firdaus selalu menampilkan sikap yang dingin karena semua wanita yang melihatnya bisa langsung menyukainya. Tak lama kemudian aku melihat Tuan Firdaus mulai meninggalkan kursi yang didudukinya, dia sepertinya akan pergi ke toilet. Aku segera membuang pandanganku ke arah lainnya sambil pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku. Setelah beberapa saat, dari sudut mataku, aku dapat melihat seseorang berdiri di depan meja yang aku tempati sambil berdeham. Aku pun mulai mengangkat kepalaku dan melihatnya. "Kebetulan sekali kamu ada di sini." Aku menyapanya dengan menampilkan sedikit keterkejutan agar pertemuan ini terkesan kebetulan. "Dinda, kamu di sini juga? Kebetulan sekali ya, saat ini saya sedang ada jadwal makan siang bersama klien. Lalu, apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu datang hanya untuk minum air putih dan bermain game?" tanyanya yang jelas mencibirku. "Restoran ini bukan milik keluarga Anda. Jadi bebas siapa pun boleh datang dan memesan apa pun yang diinginkan!" Dia tampak berpikir. Tuan Firdaus bukanlah orang bodoh yang begitu saja percaya jika pertemuanku dengannya saat ini hanya suatu kebetulan. “Kamu sudah melihat jadwal kerja saya ya?” Seketika aku tersenyum singkat. Aku akui dia memang sangat cerdas. Sulit menipunya, walau sandiwara yang aku lakukan sudah benar-benar sempurna menurutku. Tak punya pilihan lain, akhirnya aku pun mengatakan yang sebenarnya. "Iya, saya sudah melihatnya dan semuanya terekam di sini." Aku menjawab seraya menunjuk kepalaku. "Tuan Firdaus yang tampan, aku memang sengaja mengikutimu hari ini." Alih-alih marah, dia malah tersenyum. "Membosankan ya menjadi wanita muda yang menganggur? Bukankah kamu sudah tidak ingin bekerja denganku lagi?" Aku mengabaikan pertanyaannya sejenak dan melihat ke meja lain, tempat dia duduk bersama kliennya. Aku dapat melihat dia memesan makanan yang sangat menggugah seleraku. Ada lobster, steak, dan puyuh panggang, tapi Tuan Firdaus sama sekali belum memakannya. Melihat semua makanan itu, cacing dalam perutku semakin bergejolak. "Kamu sudah selesai makan?" Aku menunjuk ke mejanya. "Apa maksudmu?" Tuan Firdaus terlihat bingung dengan maksud pertanyaanku. “Tidak perlu memberiku pekerjaan saat ini, setidaknya beri aku sesuatu untuk dimakan.” Tanpa menunggu jawaban darinya aku segera berdiri dan berjalan ke mejanya. Mengambil piring besar yang terhidang steak di atasnya dan kembali ke mejaku, lalu memberinya senyuman tidak tahu malu dan langsung melahap steak tersebut. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN